Ada yang Tidak Bisa Kita Dustai

By Zulfa Rahmatina - 9:26 AM

Hi, apa pun yang terjadi—dan telah kau lakukan—semoga sehat selalu. Aku kembali menuntaskan menonton petualangan detektif Sherlock Holmes dalam beberapa pekan. Pekan liburan panjang dari rutinitas tahunan. Tapi tetap, pelan-pelan, tentu saja. Ada 4 season panjang dan waktuku tidak hanya tersedia untuk itu. Entahlah, mungkin kerinduan akan kegilaan—apa ini—menuntunku untuk membuka kembali folder Sherlock Holmes versi BBC, versi Bennedict Cumberbatch, versi dr. John H Watson yang kembali kubaca-baca blognya. Entah kapan terakhir kali aku melihat serial ini, tapi beberapa kasus tidak begitu kuingat penyelesaiannya. Jadi, cukup menyenangkan ketika aku tidak harus mengetahui spoiler dari diriku sendiri.

Ada yang menarik di sini. Rupanya, aku tidak pernah membicarakan Sherlock di blog ini—kurasa, dan memang sepertinya iya. Kupikir, aku hanya membicarakan kegemaranku menonton dan membaca genre thriller dan kriminal pada orang-orang tertentu. See, orang-orang hanya akan menunjukkan apa yang ingin orang lain ketahui tentang diri mereka. Artinya, kau tidak bisa dengan percaya diri berkata bahwa telah mengenalku—misalnya, hanya karena kita pernah berbincang beberapa percakapan dalam aplikasi WhatsApp, atau hanya dengan sebab kau telah membaca tulisan-tulisanku. Aku pun, padamu, begitu. Ternyata, banyak sekali hal yang tidak kuketahui. Contohnya, aku tentu saja tidak tahu ketika misalnya kau sedang mengirim pesan padaku, rupanya, kau juga mengirim pesan pada yang lain. Bagaimana mungkin aku tahu, kan? Aku bukan tipe perempuan ingin tahu yang memeriksa pesan masuk orang lain, lalu memintamu menghapus salah satu kontak kalau aku menemukan pesan—atau orang—yang tidak kusuka. Oh, c’mon. It’s not my style.  

Well, kita tidak bisa dengan mudah menilai apa yang ‘ditampilkan’ seseorang. Pun, jangan pula men-judge dengan seenaknya. Orang-orang yang rajin mengunjungi lingkaran kajian-kajian, orang-orang yang kau saksikan menghabiskan harinya untuk menghapal lembar-lembar Qur’an, orang-orang yang terlihat begitu menentramkan, siapa tahu sisi lain dari mereka? Apa tidak mungkin mereka juga melakukan hal-hal yang melalaikan? Pun, jangan pula serta merta menuduh orang-orang, yang, barangkali, belum Allaah beri petunjuk. Bucin, budun—apa begitu cara menyebut budak dunia? Yang hari-hari mereka habis hanya untuk mengobral perhatian pada yang belum berhak, harta, cinta, tahta—apa saja. Siapa tahu, jika ternyata, ada satu waktu dalam harinya yang mereka gunakan untuk memohon petunjuk pada Allaah, untuk memohon dibukakan pintu maaf—dan Allaah menerimanya.

Inilah mengapa sebaiknya, kita perlu melakukan kebaikan demi kebaikan. Sekecil apapun keberpengaruhannya—menurutmu. Jangan berhenti, itu poinnya. Lakukanlah kebaikan secara konsisten. Karena kita tidak tahu. Kita tidak pernah tahu kebaikan mana yang akan mengantar kita menunju keridhaan-Nya. Begitu juga, kita tidak tahu. Keburukan, juga dosa-dosa mana saja—seringan apapun menurut kita—yang menyeret kita menuju neraka. Menuju siksa yang menyala-nyala. Menuju kemurkaan Allaah. Kita tidak pernah tahu dan kurasa itu baik. Ketidaktahuan menuntun kita untuk berupaya yang terbaik. Caranya, dengan tidak harus mengetahui semuanya saat ini. Ada alur cerita yang tidak selalu harus kita ketahui. Sebab pasti, akan tersembunyi suatu hikmah di balik nanti yang kita pahami.

Di luar itu yang sama-sama kita ketahui adalah, ada hal yang tidak bisa kita dustai. Selain Tuhan, yakni, perasaan kita sendiri. Kau pernah mendengar sesuatu tentang psikosomatis? Jika tidak, mengenai neurosains, neuropsychology—dan semacamnya? Oh baiklah. Di serial Sherlock Holmes season 2 pada episode A Scandal in Belgravia, Sherlock menyelesaikan sebuah kasus password ponsel ‘The Woman’ dengan cara yang mengesankan. “Aku meraba denyutmu, meningkat. Pupilmu melebar. Aku membayangkan John Watson berpikir cinta adalah misteri bagiku. Tapi kimia ini sangat sederhana dan sangat merusak. Ini adalah—tentang—hati dan kau tidak pernah membiarkan hal itu pengaruhi kepalamu,” Di akhir, dan setelah Sherlock berkata bahwa ia selalu menganggap cinta adalah kerugian yang berbahaya, kita tahu jika Irene Adler rupanya memakai nama Sherlock untuk kata sandi ponselnya. Di episode selanjutnya dalam The Hounds of Baskerville yang menceritakan kasus seekor anjing raksasa, ada hal yang serupa. Sherlock berkata kepada John Watson, “Aku melihatnya, John, seekor anjing raksasa,” dan meski John memintanya untuk rasional dan tetap berpegang pada fakta, toh, ternyata, ada yang tidak bisa disembunyikan Sherlock, “Lihatlah, aku takut. Aku selalu bersikap tenang. Tak terbawa perasaan. Tapi lihat, kau lihat. Tubuhku mengkhianatiku,” tangan Sherlock bergetar ketika memegang gelas kaca. Menarik ya, emosi. Perasaan-perasaan itu, rupanya, tidak untuk kita sangkal. Tetapi untuk kita maknai.

Sherlock Holmes and Irene Adler
Ketika kita memutuskan untuk terikat dengan sesuatu, sejatinya, ada konsekuensi yang menyertai. Konsekuensi untuk menyayangi, dan disayangi. Konsekuensi untuk suatu waktu barangkali, mengecewakan—dan dikecewakan. Tidak apa-apa. Terima saja semuanya. Asal kita selalu berupaya untuk memperbaiki. Segala yang sudah terjadi, berilah penghargaan. Semenyakitkan apa pun. Sedalam apa pun ia mengenalkan kita pada luka-luka yang baru. Sebab kiranya, bukan waktu yang benar-benar menyembuhkan. Tetapi luka-luka yang membawa kita pada proses pendewasaan. Saat ini, kita mungkin belum tahu. Tapi sembari berbenah, berterima kasihlah! Semoga setelah ini, kau semakin tumbuh dengan pikiran, hati, dan attitude yang baik :)

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar