Hi, apa pun yang terjadi—dan telah kau lakukan—semoga sehat
selalu. Aku kembali menuntaskan menonton petualangan detektif Sherlock Holmes
dalam beberapa pekan. Pekan liburan panjang dari rutinitas tahunan. Tapi tetap,
pelan-pelan, tentu saja. Ada 4 season panjang dan waktuku tidak hanya tersedia
untuk itu. Entahlah, mungkin kerinduan akan kegilaan—apa ini—menuntunku untuk
membuka kembali folder Sherlock Holmes versi BBC, versi Bennedict Cumberbatch,
versi dr. John H Watson yang kembali kubaca-baca blognya. Entah kapan terakhir
kali aku melihat serial ini, tapi beberapa kasus tidak begitu kuingat
penyelesaiannya. Jadi, cukup menyenangkan ketika aku tidak harus mengetahui
spoiler dari diriku sendiri.
Ada yang
menarik di sini. Rupanya, aku tidak pernah membicarakan Sherlock di blog ini—kurasa,
dan memang sepertinya iya. Kupikir, aku hanya membicarakan kegemaranku menonton
dan membaca genre thriller dan kriminal pada orang-orang tertentu. See,
orang-orang hanya akan menunjukkan apa yang ingin orang lain ketahui tentang
diri mereka. Artinya, kau tidak bisa dengan percaya diri berkata bahwa telah
mengenalku—misalnya, hanya karena kita pernah berbincang beberapa percakapan
dalam aplikasi WhatsApp, atau hanya dengan sebab kau telah membaca
tulisan-tulisanku. Aku pun, padamu, begitu. Ternyata, banyak sekali hal yang
tidak kuketahui. Contohnya, aku tentu saja tidak tahu ketika misalnya kau
sedang mengirim pesan padaku, rupanya, kau juga mengirim pesan pada yang lain.
Bagaimana mungkin aku tahu, kan? Aku bukan tipe perempuan ingin tahu yang
memeriksa pesan masuk orang lain, lalu memintamu menghapus salah satu kontak
kalau aku menemukan pesan—atau orang—yang tidak kusuka. Oh, c’mon. It’s
not my style.
Well, kita tidak bisa dengan mudah menilai apa yang ‘ditampilkan’
seseorang. Pun, jangan pula men-judge dengan seenaknya. Orang-orang yang
rajin mengunjungi lingkaran kajian-kajian, orang-orang yang kau saksikan
menghabiskan harinya untuk menghapal lembar-lembar Qur’an, orang-orang yang
terlihat begitu menentramkan, siapa tahu sisi lain dari mereka? Apa tidak
mungkin mereka juga melakukan hal-hal yang melalaikan? Pun, jangan pula serta
merta menuduh orang-orang, yang, barangkali, belum Allaah beri petunjuk. Bucin,
budun—apa begitu cara menyebut budak dunia? Yang hari-hari mereka habis hanya
untuk mengobral perhatian pada yang belum berhak, harta, cinta, tahta—apa saja.
Siapa tahu, jika ternyata, ada satu waktu dalam harinya yang mereka gunakan untuk
memohon petunjuk pada Allaah, untuk memohon dibukakan pintu maaf—dan Allaah
menerimanya.
Inilah
mengapa sebaiknya, kita perlu melakukan kebaikan demi kebaikan. Sekecil apapun
keberpengaruhannya—menurutmu. Jangan berhenti, itu poinnya. Lakukanlah kebaikan
secara konsisten. Karena kita tidak tahu. Kita tidak pernah tahu kebaikan mana
yang akan mengantar kita menunju keridhaan-Nya. Begitu juga, kita tidak tahu. Keburukan,
juga dosa-dosa mana saja—seringan apapun menurut kita—yang menyeret kita menuju
neraka. Menuju siksa yang menyala-nyala. Menuju kemurkaan Allaah. Kita tidak
pernah tahu dan kurasa itu baik. Ketidaktahuan menuntun kita untuk berupaya
yang terbaik. Caranya, dengan tidak harus mengetahui semuanya saat ini. Ada alur
cerita yang tidak selalu harus kita ketahui. Sebab pasti, akan tersembunyi
suatu hikmah di balik nanti yang kita pahami.
Di
luar itu yang sama-sama kita ketahui adalah, ada hal yang tidak bisa kita dustai. Selain Tuhan, yakni, perasaan kita
sendiri. Kau pernah mendengar sesuatu tentang psikosomatis? Jika tidak,
mengenai neurosains, neuropsychology—dan semacamnya? Oh baiklah. Di serial Sherlock
Holmes season 2 pada episode A Scandal in Belgravia, Sherlock menyelesaikan sebuah
kasus password ponsel ‘The Woman’ dengan cara yang mengesankan. “Aku meraba
denyutmu, meningkat. Pupilmu melebar. Aku membayangkan John Watson berpikir
cinta adalah misteri bagiku. Tapi kimia ini sangat sederhana dan sangat
merusak. Ini adalah—tentang—hati dan kau tidak pernah membiarkan hal itu
pengaruhi kepalamu,” Di akhir, dan setelah Sherlock berkata bahwa ia selalu
menganggap cinta adalah kerugian yang berbahaya, kita tahu jika Irene Adler rupanya memakai nama Sherlock untuk kata sandi ponselnya. Di episode
selanjutnya dalam The Hounds of Baskerville yang menceritakan kasus seekor
anjing raksasa, ada hal yang serupa. Sherlock berkata kepada John Watson, “Aku
melihatnya, John, seekor anjing raksasa,” dan meski John memintanya untuk
rasional dan tetap berpegang pada fakta, toh, ternyata, ada yang tidak bisa
disembunyikan Sherlock, “Lihatlah, aku takut. Aku selalu bersikap
tenang. Tak terbawa perasaan. Tapi lihat,
kau lihat. Tubuhku mengkhianatiku,” tangan Sherlock bergetar ketika memegang
gelas kaca. Menarik ya, emosi. Perasaan-perasaan itu, rupanya, tidak untuk kita sangkal. Tetapi untuk kita maknai.
Ketika
kita memutuskan untuk terikat dengan sesuatu, sejatinya, ada konsekuensi yang
menyertai. Konsekuensi untuk menyayangi, dan disayangi. Konsekuensi untuk suatu
waktu barangkali, mengecewakan—dan dikecewakan. Tidak apa-apa. Terima saja semuanya.
Asal kita selalu berupaya untuk memperbaiki. Segala yang sudah terjadi, berilah
penghargaan. Semenyakitkan apa pun. Sedalam apa pun ia mengenalkan kita pada
luka-luka yang baru. Sebab kiranya, bukan waktu yang benar-benar menyembuhkan. Tetapi
luka-luka yang membawa kita pada proses pendewasaan. Saat ini, kita mungkin
belum tahu. Tapi sembari berbenah, berterima kasihlah! Semoga setelah ini, kau semakin
tumbuh dengan pikiran, hati, dan attitude yang baik :)
0 komentar