Meneladani Matahari

By Zulfa Rahmatina - 10:24 AM

source: 51mtw.com
Kita hidup di dunia yang bergelimang prasangka seperti curah sinar sang surya. Kita hidup di dunia dengan tabur laku yang berupa-rupa.

Kamu pernah diabaikan? Saya pernah. Sebab itu saya ingin selalu berusaha untuk tidak mengabaikan orang lain. Diabaikan, bagaimanapun bentuknya, tidak pernah menyenangkan.

Kamu pernah ditolak? Dalam banyak hal, saya sering sekali mendapat penolakan. Suatu ketika, misalnya, seorang narasumber yang terlalu saya harapkan sebagai pembuka jalan bagi yang lain, menolak saya di atas seluruh ketidakmengertian. Dengan tak acuh, dengan kata-kata ricuh. Meski bukan pertama kali mengalami penolakan, rasanya tetap saja sakit kan? Betapa banyak pelajaran patah hati, lebih-lebih pelajaran yang datang dari diri sendiri.

Penolakan kita agaknya memang jauh dari penolakan yang dirasa Nuh karena kaumnya, Salman Al Farisi terhadap gadis yang dipinangnya, tetapi lebih memilih pengantar sekaligus saudaranya Abu Darda’, Ayyub dengan sakit yang membuatnya kehilangan seluruh yang berharga kecuali iman, Ibrahim tersebab ayahnya, bahkan Muhammad, lelaki penggenggam hujan yang liku hidupnya sesak dengan gores penolakan di setiap gulir peristiwa yang menimpanya. Sujudnya, disiram isi perut unta oleh kafir durjana. Rukuknya pun tak lepas dari leher yang dijerat mencekik. Hari-harinya ramai oleh makian dan umpatan. Tukang sihir, dukun, hingga penyair gila.

Dan kita tahu, para pahlawan yang meraksasa di langit sejarah itu tidak berfikir sebagaimana kita menalar. Sebab jika mereka berfikir sebagaimana kita menalar, bukankah Nuh, Ayyub, bahkan Muhammad punya banyak saat yang pantas dan dimaklumi untuk memilih berhenti? Tapi mereka mengerti, ridha-Nya, memang hanya terletak pada bagaimana kita mampu menaati dan menyikapi, bukan dari berat dan sulit yang menghinggapi.

Kita tidak pernah bisa memaksa orang lain menyukai kita, begitu pun kita tidak pernah bisa membuat orang lain menghentikan prasangkanya terhadap kita. Barangkali, memang akan tiba saatnya untuk kita berhenti. Bukan untuk menyerah, lalu kalah. Hanya untuk sejenak mengurai tutur, menyimak kata. Pelan-pelan saja, kita hanya perlu melihat dari sudut yang berbeda. Apakah laku kita benar-benar lurus ujung dan pangkalnya, atau justru bertabur duri-duri cela yang menyakiti sesama.

Dengannya kita lantas belajar bahwa setiap ikhlas dan ukurannya, tak selalunya dinilai dan tumbuh dari keringanan hati dalam mengeja amal dan menadah takdir. Ini sulit. Sebaik apa pun kita mengusahakan laku yang rupawan, akan selalu ada yang mencari cacat dan cela.

Hatta agaknya kita perlu tahu, tugas kita hanya agar memiliki keyakinan yang utuh dan selalu mengikhtiari kebaikan-kebaikan, apa pun rupanya. Lalu sebab keyakinan utuh dan ikhtiar yang selalu kita sentuh, kita pantas menerima curah hikmah yang bertabur-tabur.

Mainkan saja peranmu. Tetap berbuat baik, kurangi prasangka, dan biarlah akhlak berbicara lebih banyak dari kata-kata. Setiap kita adalah pelita bagi hati masing-masing. Mungkin akan ada saat bagi kita untuk diam dalam redup gulita. Tapi esok, kita harus mengangkasa dengan pendar pelita. Setiap kita adalah pelita, bahkan untuk masing-masingnya yang bahkan paling menyakiti kita. Setiap kita adalah pelita, yang dapat menerangi jalan mereka. Seperti matahari, yang meski terik, ia tak henti menawarkan kehangatan yang sama untuk semesta.

----
Sometimes, you just have to change the angle.

Surakarta, 5 April 2018

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar