source: 51mtw.com |
Kita
hidup di dunia yang bergelimang prasangka seperti curah sinar sang surya. Kita hidup
di dunia dengan tabur laku yang berupa-rupa.
Kamu
pernah diabaikan? Saya pernah. Sebab itu saya ingin selalu berusaha untuk tidak
mengabaikan orang lain. Diabaikan, bagaimanapun bentuknya, tidak pernah
menyenangkan.
Kamu pernah ditolak? Dalam banyak hal, saya sering sekali mendapat penolakan. Suatu ketika, misalnya, seorang narasumber yang terlalu saya harapkan sebagai pembuka jalan bagi yang lain, menolak saya di atas seluruh ketidakmengertian. Dengan tak acuh, dengan kata-kata ricuh. Meski bukan pertama kali mengalami penolakan, rasanya tetap saja sakit kan? Betapa banyak pelajaran patah hati, lebih-lebih pelajaran yang datang dari diri sendiri.
Kamu pernah ditolak? Dalam banyak hal, saya sering sekali mendapat penolakan. Suatu ketika, misalnya, seorang narasumber yang terlalu saya harapkan sebagai pembuka jalan bagi yang lain, menolak saya di atas seluruh ketidakmengertian. Dengan tak acuh, dengan kata-kata ricuh. Meski bukan pertama kali mengalami penolakan, rasanya tetap saja sakit kan? Betapa banyak pelajaran patah hati, lebih-lebih pelajaran yang datang dari diri sendiri.
Penolakan
kita agaknya memang jauh dari penolakan yang dirasa Nuh karena kaumnya, Salman
Al Farisi terhadap gadis yang dipinangnya, tetapi lebih memilih pengantar sekaligus saudaranya Abu Darda’, Ayyub dengan sakit yang membuatnya kehilangan seluruh
yang berharga kecuali iman, Ibrahim tersebab ayahnya, bahkan Muhammad, lelaki
penggenggam hujan yang liku hidupnya sesak dengan gores penolakan di setiap
gulir peristiwa yang menimpanya. Sujudnya, disiram isi perut unta oleh kafir
durjana. Rukuknya pun tak lepas dari leher yang dijerat mencekik. Hari-harinya
ramai oleh makian dan umpatan. Tukang sihir, dukun, hingga penyair gila.
Dan
kita tahu, para pahlawan yang meraksasa di langit sejarah itu tidak berfikir
sebagaimana kita menalar. Sebab jika mereka berfikir sebagaimana kita menalar, bukankah Nuh, Ayyub, bahkan
Muhammad punya banyak saat yang pantas dan dimaklumi untuk memilih berhenti? Tapi mereka mengerti, ridha-Nya, memang hanya terletak pada bagaimana kita mampu
menaati dan menyikapi, bukan dari berat dan sulit yang menghinggapi.
Kita
tidak pernah bisa memaksa orang lain menyukai kita, begitu pun kita tidak
pernah bisa membuat orang lain menghentikan prasangkanya terhadap kita. Barangkali,
memang akan tiba saatnya untuk kita berhenti. Bukan untuk menyerah, lalu kalah. Hanya untuk
sejenak mengurai tutur, menyimak kata. Pelan-pelan saja, kita hanya perlu melihat
dari sudut yang berbeda. Apakah laku kita benar-benar lurus ujung dan
pangkalnya, atau justru bertabur duri-duri cela yang menyakiti sesama.
Dengannya
kita lantas belajar bahwa setiap ikhlas dan ukurannya, tak selalunya dinilai dan
tumbuh dari keringanan hati dalam mengeja amal dan menadah takdir. Ini sulit. Sebaik
apa pun kita mengusahakan laku yang rupawan, akan selalu ada yang mencari cacat
dan cela.
Hatta
agaknya kita perlu tahu, tugas kita hanya agar memiliki keyakinan yang utuh dan
selalu mengikhtiari kebaikan-kebaikan, apa pun rupanya. Lalu sebab keyakinan
utuh dan ikhtiar yang selalu kita sentuh, kita pantas menerima curah hikmah
yang bertabur-tabur.
Mainkan
saja peranmu. Tetap berbuat baik, kurangi prasangka, dan biarlah akhlak
berbicara lebih banyak dari kata-kata. Setiap kita adalah pelita bagi hati
masing-masing. Mungkin akan ada saat bagi kita untuk diam dalam redup gulita. Tapi esok, kita harus mengangkasa dengan pendar
pelita. Setiap kita adalah pelita, bahkan untuk masing-masingnya yang bahkan paling
menyakiti kita. Setiap kita adalah pelita, yang dapat menerangi jalan mereka. Seperti
matahari, yang meski terik, ia tak henti menawarkan kehangatan yang sama untuk
semesta.
----
Sometimes, you just have to change
the angle.
Surakarta,
5 April 2018
0 komentar