MAN 10 dan Sarjana Hukum yang Duduk di Belakang

By Zulfa Rahmatina - 12:43 PM

Relaksasi pengambilan data penelitian hari kedua.

Hari ini sekolah yang kukunjungi adalah SMP 4, sebuah sekolah swasta ramah anak di Surakarta. Ada yang berbeda di hari kedua ini karena posisiku tidak lagi sebagai penanggung jawab alat tes seperti yang kulakukan di SMP 10, tetapi sebagai observer. Bersiap mulai shubuh kami lakukan karena hari ini ada 5 kelas yang sudah terjadwal untuk pengambilan data, yang masing-masingnya memakai jam kelas bimbingan konseling.

Berkesempatan menjadi observer, bagi mahasiswa Psikologi yang belum mendapat materi OBI dan/atau PPTP tentu pengalaman yang menyenangkan. Kelas pertama sedikit membuatku gugup karena tentu saja ini adalah pengalaman pertamaku. Aku mengkondisikan diriku ketika tester menyebutkan bahwa kelas kedua yang akan kumasuki adalah kelas khusus. Khusus? Tepatnya khusus seperti apa?

Dan pertanyaanku tertelan saat kelas khusus itu menyambut kami dengan ramah dan menyenangkan. Tester mulai memandu proses pengambilan data dan aku mulai menjalankan tugasku sebagai observer, sesekali berkeliling. Seorang siswa putra yang duduk di deretan belakang menahanku untuk tidak pergi dan memintaku untuk membantunya.
"Aku tidak tahu pendidikan Ayahku, bagaimana?"
"Tidak tahu?" Masa tidak tahu? Aku membatin.
Dia mengangguk, lalu mengacuhkanku dan sibuk dengan poin-poin lain.
"Kak jangan pergi! Nama Ayahku KW, gelarnya SH. Kalau Sarjana Hukum itu harus kutulis apa?"
Whoaa, apakah aku sedang berbicara dengan anak advokat?

Memasuki bagian kedua, tester yang kubersamai mengalami masalah tenggorokan dan memintaku menggantikannya. Tapi ... benarkah? Bolehkah? Aku mengerjap, membayangkan semua baris-baris yang tertulis di buku kecil Kode Etik. Hari ini luar biasa.

Aku mulai memandu, sampai poin tentang, "Apa yang akan aku lakukan setelah SMP?" dan kelas pun mulai riuh.

"Tentu saja melanjutkan!"
"Iya, MAN 10, MAN 10! Hahaha," siswa putri semakin tidak terkondisi.
Wah, apakah itu salah satu sekolah favorit di kota ini? Aku bertanya-tanya dalam hati, hingga mulai memahami sesuatu. MAN 10 yang mereka maksud bukanlah sebuah nama sekolah, tetapi lebih tepat dibaca seperti ini; MAN(TEN). Daebak! Ternyata tidak hanya anak-anak sepuh KBBI dan Sianida saja yang baperan.

Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku saat beralih pada poin berikutnya.
"Aku merasa masa depanku akan ..."
"Bahagia! Cerah!" Banyak yang bersahutan menyebutkan kata itu.
Aku mengangguk. "Tulis saja. Masa depan kalian bahagia karena ..."
"Ada kamuuu ..." siswa putra di bagian belakang berteriak, disambut riuh tawa.

Ada apa dengan kelas ini? Tentu saja kalimat itu akan membuatku bahagia jika bukan siswa SMP yang mengatakannya. *kode macam apa ini*

Dan, ini waktu istirahat. Alunan murottal yang diputar pihak sekolah, dilantunkan ulang oleh seorang anak laki-laki di bagian belakang yang sudah menyelesaikan tes psikologi-nya. Aku mengemasi instrumen, melihat sekali lagi anak-anak di kelas 9A ini.

"Lanjutkan sekolah, jangan MAN Sepuluh dulu," ucapku yang disambut tawa.

----------
----------

Tulisan ini ditulis di ruang BK saat menunggu jam kelas terakhir. Setelah ini harus segera ke Yayasan Sahabat Kapas untuk membincangkan outbond di Lapas Anak Kutoarjo Sabtu besok, insyaa Allah. Begitulah, karena bisa ikut berkontribusi dan dipercaya dosen dalam penelitian adalah juga sebagian rezeki dari Allah. Juga, sebab rezeki, tidak selalunya hanya IP bagus saja. Alhamdulillah 'ala kulli haal. 😊

#Penelitian #MumpungMahasiswa 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar