Citizen Journalism: Perkara Mengabadikan Peristiwa Lewat Aksara
By Zulfa Rahmatina - 5:12 AM
Oleh: Zulfa Rahmatina
(Ditulis untuk diklat madya LPM Pabelan)
“Malam ini rumah kami sudah
lenyap. Bom menghancurkannya, dan aku sempat terjebak reruntuhan. Aku melihat
orang tewas, aku melihat kematian dan aku sendiripun hampir mati,” tulis
seorang gadis berusia tujuh tahun yang hidup dalam bombardir bom di Aleppo,
Bana Alabed, dalam akun twitter terverifikasi @alabedbana.
Di lain waktu, Bana menulis, “Kami tidak punya rumah sekarang. Saya mendapat sedikit luka. Saya tidak dapat tidur sejak kemarin dan saya lapar. Saya ingin hidup, saya tidak ingin mati.” Sesekali Bana dan Fatemah ibunya, mengunggah foto-foto reruntuhan bangunan penuh debu yang menyisakan banyak puing-puing kenangan, video saat bom berdentum dan mereka hanya bisa meringkuk di balik lemari, atau foto-foto teman baik yang syahid dengan caption yang sungguh memilukan hati, “Ini kawanku, yang terbunuh karena bom. Aku tidak berhenti menangis semalaman.”
Twitter menjadi media bagi ibu dan anak di Aleppo tersebut untuk mengabarkan kondisi perang Suriah kepada dunia. Melalui media sosial tersebut, Bana dan Fatemah rutin merilis efek perang yang mereka dan orang-orang terdekatnya rasakan secara bertahap, di tengah gempur bom, di bawah kecemasan dan kekhawatiran akan banyak sebab.
Begitulah, perkembangan teknologi dalam hal ini teknologi komunikasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kegiatan jurnalistik. Internet yang berperan penting dalam jenis kegiatan jurnalistik yang tergolong baru ini memungkinkan pertukaran informasi yang tidak membatasi jarak atau pun waktu. Kemunculan jaringan internet memberikan sebuah peluang besar bagi non-jurnalis (citizen journalist) untuk mempublikasikan hal apa pun secara cepat. Kondisi ini mendudukkan posisi jurnalis setara dengan audience yang bisa kapan pun menjadi seorang reporter, seperti terdapat pada slogan OhmyNews yaitu, “Every citizen is a reporter.”
Dalam pemaknaannya, citizen journalism dapat diartikan sebagai keterlibatan warga dalam memberitakan sesuatu. Seseorang tanpa memandang latar belakang pendidikan, keahlian, dapat merencanakan, menggali, mengolah, melaporkan informasi (tulisan, gambar, foto, tuturan), video kepada orang lain. Jadi setiap orang bisa menjadi wartawan (Nuruddin, 2009).
Shayne dan Chris (dalam Ibrahim, 2011) mendefinisikan citizen journalism sebagai “... the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information.” Karena pengertian yang seragam namun semakna, maka dapat disederhanakan pemahaman mengenai citizen journalism adalah sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat untuk menyebarluaskan informasi atau kejadian tertentu.
Banyak pertentangan mengenai kehadiran gaya baru dalam kegiatan jurnalistik ini. Sikap skeptis yang muncul lebih banyak berasal dari para jurnalis yang menganggap netizen journalist kurang mengerti mengenai etika-etika jurnalistik itu sendiri sehingga perlu dipertanyakan keakuratan berita, hingga pada masalah objektivitas dan semacamnya. Tetapi tidak bisa dipungkiri, citizen journalism akan menjadi konsep yang membuat frustasi mainstream media karena fungsi dan perkembangannya terus menarik perhatian warga sebab netizen journalism lebih digemari dan dipercaya sebagai suatu kebenaran berita karena faktor kedekatan geografis, independensi, kejujuran dan psikologis yang dialami oleh netizen journalist saat melaporkan suatu peristiwa. Berbeda dengan media mainstream yang terkenal memiliki kecenderungan terhadap salah satu pihak terutama untuk kepentingan kapital dan politis.
Citizen Journalism dan Eksistensinya
Di
Indonesia, perkembangan citizen journalism bisa dikatakan
menggembirakan—terlepas dari sebuah anggapan yang menyatakan bahwa ia tidak
diperlukan di Indonesia karena
negara ini adalah bangsa yang menjamin kebebasan pers. Citizen journalism
dalam perjalanannya, memberikan begitu banyak kegunaan dan terkadang seringkali
digunakan para jurnalis professional dalam riset dan sumber data untuk
tulisannya.
Dalam kasus bencana alam tsunami di Aceh, misalnya, video amatir yang direkam warga melalui ponsel dan di-upload di akun YouTube, kemudian ditayangkan di media-media nasional tersebut menjadi viral dan titik awal bagi sumber dukungan serta aliran dana bantuan untuk korban bencana menjadi begitu deras.
Hal lain yang dapat dijadikan contoh adalah peristiwa 411 dan 212 dimana konflik yang menjadi gumpalan bola salju bagi masing-masing kubu yang bertentangan ini berangkat dari sebuah video yang juga direkam oleh warga. Dalam ruang yang dibuka oleh media nasional Republika bagi citizen journalist, kolom Jurnalisme Warga melatarbelakangi lahirnya tulisan mengenai aspirasi warga terhadap kasus penistaan agama dalam tulisan berjudul, “Akhirnya, Saya Memutuskan Ikut Aksi Super Damai 212 di Jakarta.”.
Seword.com yang mengaku sebagai media tempat warga dapat menuangkan pemikirannya juga tak urung ambil bagian dalam kasus 212. Salah satu netizen journalist bernama Xhardy mempublikasikan pendapatnya melalui tulisan, “Fakta Demo 411 Ini Bisa Saja Kembali Terjadi pada 212.” Pada akhirnya, sikap dan penegasan keberpihakan pada apa yang diyakini sebagai kebenaran bagi tiap-tiap individu dewasa ini menjadi begitu mudah diumbar dan diobral.
Selain itu, masih dalam contoh kasus yang sama, media-media sosial lain seperti Facebook, Blogspot, Wordpress, Tumblr, sejenisnya hingga WhatsApp sangat berperan untuk pertukaran informasi cepat tentang para peserta aksi yang melaporkan kondisi aksi melalui sebuah artikel yang ditulis di tempat kejadian maupun voice note dan video-video yang beredar.
Fenomena ini semakin memperjelas bahwa kecanggihan teknologi menawarkan berbagai kemudahan dan kesempatan bagi orang-orang yang ingin menulis, memberikan komentar serta melakukan reportase atas peristiwa tertentu. Selain agar dapat menyampaikan sebuah pesan atau informasi kepada khalayak, keinginan untuk mengabadikan peristiwa yang dialami oleh individu atau dalam hal ini disebut netizen journalist melalui media tulisan dan sejenisnya tersebut rupanya juga memiliki dampak yang cukup besar untuk kesehatan mental.
Menulis bisa menjadi sebuah terapi yang sehat untuk merefleksikan peristiwa-peristiwa yang baru saja dialami. Menulis bahkan terbukti dapat menjadi suatu terapi penghilang trauma, depresi atau guncangan kejiwaan lainnya. Maka terlepas dari banyak poin positif yang dimiliki oleh suatu magnet baru dalam dunia jurnalistik ini, dalam perkembangannya, citizen journalism agaknya lebih baik disandingkan dan diberi penerimaan baik oleh media-media mainstream untuk dapat duduk bersama-sama dalam mencapai fungsi jurnalistik itu sendiri.
Dalam kasus bencana alam tsunami di Aceh, misalnya, video amatir yang direkam warga melalui ponsel dan di-upload di akun YouTube, kemudian ditayangkan di media-media nasional tersebut menjadi viral dan titik awal bagi sumber dukungan serta aliran dana bantuan untuk korban bencana menjadi begitu deras.
Hal lain yang dapat dijadikan contoh adalah peristiwa 411 dan 212 dimana konflik yang menjadi gumpalan bola salju bagi masing-masing kubu yang bertentangan ini berangkat dari sebuah video yang juga direkam oleh warga. Dalam ruang yang dibuka oleh media nasional Republika bagi citizen journalist, kolom Jurnalisme Warga melatarbelakangi lahirnya tulisan mengenai aspirasi warga terhadap kasus penistaan agama dalam tulisan berjudul, “Akhirnya, Saya Memutuskan Ikut Aksi Super Damai 212 di Jakarta.”.
Seword.com yang mengaku sebagai media tempat warga dapat menuangkan pemikirannya juga tak urung ambil bagian dalam kasus 212. Salah satu netizen journalist bernama Xhardy mempublikasikan pendapatnya melalui tulisan, “Fakta Demo 411 Ini Bisa Saja Kembali Terjadi pada 212.” Pada akhirnya, sikap dan penegasan keberpihakan pada apa yang diyakini sebagai kebenaran bagi tiap-tiap individu dewasa ini menjadi begitu mudah diumbar dan diobral.
Selain itu, masih dalam contoh kasus yang sama, media-media sosial lain seperti Facebook, Blogspot, Wordpress, Tumblr, sejenisnya hingga WhatsApp sangat berperan untuk pertukaran informasi cepat tentang para peserta aksi yang melaporkan kondisi aksi melalui sebuah artikel yang ditulis di tempat kejadian maupun voice note dan video-video yang beredar.
Fenomena ini semakin memperjelas bahwa kecanggihan teknologi menawarkan berbagai kemudahan dan kesempatan bagi orang-orang yang ingin menulis, memberikan komentar serta melakukan reportase atas peristiwa tertentu. Selain agar dapat menyampaikan sebuah pesan atau informasi kepada khalayak, keinginan untuk mengabadikan peristiwa yang dialami oleh individu atau dalam hal ini disebut netizen journalist melalui media tulisan dan sejenisnya tersebut rupanya juga memiliki dampak yang cukup besar untuk kesehatan mental.
Menulis bisa menjadi sebuah terapi yang sehat untuk merefleksikan peristiwa-peristiwa yang baru saja dialami. Menulis bahkan terbukti dapat menjadi suatu terapi penghilang trauma, depresi atau guncangan kejiwaan lainnya. Maka terlepas dari banyak poin positif yang dimiliki oleh suatu magnet baru dalam dunia jurnalistik ini, dalam perkembangannya, citizen journalism agaknya lebih baik disandingkan dan diberi penerimaan baik oleh media-media mainstream untuk dapat duduk bersama-sama dalam mencapai fungsi jurnalistik itu sendiri.
Daftar Pustaka
Handriatmaja. (2013). Citizen Journalism dalam
Pemberitaan Bencana di Instagram. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya.
0 komentar