Pers Sehat, Mungkinkah?

By Zulfa Rahmatina - 12:55 PM

"Masih adakah pers yang benar-benar sehat?" Itulah pertanyaan yang dilontarkan seorang sahabat beberapa menit setelah saya mengganti display picture BBM dengan gambar yang dikirim PU LPM Pabelan bertuliskan 'Pers sehat, bangsa hebat' di hari pers nasional kemarin.

Saya tertegun, bertanya dalam hati, pers sehat seperti apakah yang dimaksud dan diinginkan teman saya tersebut, mengingat saya yang hanya sedang berkecimpung di lingkup pers kampus. Pers yang ada untuk mengawal kritisme mahasiswa, menyoroti kebijakan kampus, mengabarkan kejadian-kejadian yang ada di kalangan mahasiswa. Pers sehat seperti apa yang diinginkannya?

Saya kembali pada beberapa masa lalu di mana di suatu akhir pekan yang tenang, saya lebih memilih berjalan kaki, melewati gedung kampus biru, menatap bangunan kokoh khas Belanda yang berfungsi sebagai kantor media nasional Republika, menaiki metromini sendirian tanpa tahu sama sekali di mana tepatnya tempat tujuan yang akan saya datangi, daripada mengeksplore resep-resep masakan bersama beberapa teman kos, atau ikut bermalas-malasan menonton sisa drama semalam. 

Saya lebih memilih berhati-hati menanyakan tempat tujuan yang saya catat di secarik kertas pada seorang kondektur dan seorang yang bersebelahan bangku dengan saya daripada ikut berbelanja memenuhi kebutuhan dapur seminggu ke depan, atau mengurusi pakaian kotor yang menumpuk. Saya lebih memilih mengamati jalanan ramai Jakarta, daripada hanya duduk di atap kos, merapalkan beberapa ayat yang dihafalkan sambil membiarkan angin semilir menyela celah-celah rambut. Saya lebih memilih meninggalkan itu semua dan menghadiri sebuah pelatihan jurnalistik bersama teman-teman dari KAMMI yang tidak pernah saya kenal sebelumnya di sebuah media nasional Inilah.com.

Saya lalu mengingat bagaimana perkenalan saya dengan dunia jurnalistik berlanjut. Betapa saat itu saya terperangah melihat satu data yang dipaparkan Ust. Pizzaro sekjen Jurnalis Islam Bersatu (JITU), yang menjadi berita yang benar-benar berbeda dan sangat bertolak belakang oleh beberapa media nasional terkemuka yang mengolahnya menurut sudut pandang dan kepentingan masing-masing.

Saya masih menyimak beliau yang melakukan reportase dengan preman yang berkonflik dengan FPI di Kendal, atau bersama tokoh syiah di Malaysia. Memperhatikan kisah Ust. Toni yang pernah berkunjung ke daerah konflik Pattani, Thailand. Lalu teringat kisah wartawan Hidayatullah dan sahabat al-Aqsha yang ikut dalam kapal Mavi Marmara, mempertaruhkan seluruh tenaga bahkan nyawa. Kemudian terkenang ketika saya berusaha memahami perasaan Ami Huda yang bertugas meliput kasus bom Bali dan menemukan sahabatnya masuk dalam salah satu daftar tersangka yang dirilis kepolisian.

Mengingat semua kisah para jurnalis muslim dalam melakukan liputan berita itu membuat saya sesak. Masih terngiang dalam benak saya saat saya memutar rekaman wawancara berdurasi panjang oleh ikhwan-ikhwan jurnalis yang bertugas di Papua dengan tokoh muslim dan tokoh Gereja Injili (GIDI) untuk mengonfirmasi konflik pembakaran masjid. Saat itu, dengan bermurah hati Ust Toni memberi saya yang masih amatir ini kesempatan dan kepercayaan untuk mentranskrip rekaman tersebut ke dalam bentuk tulisan yang kemudian akan segera dibuat berita untuk memberi sejelas dan sebenar-benarnya kabar kepada ummat.

Di saat orang-orang kehilangan kepercayaan dengan media, di saat banyak penguasa yang menyetir media sesuai kepentingannya, di saat yang sama, banyak pejuang-pejuang muslim yang juga mulai menguasai medan pers, banyak yang masih teguh memperjuangkan kebenaran, banyak yang berusaha mengaplikasikan ayat al-Qur'an untuk selalu tabayyun setiap kali mendapat berita. Dan tanpa saya sadari kapan mulanya, dengan sangat pelan dunia ini menjadi dunia yang kini begitu saya cintai. Dunia yang mempertemukan saya dengan banyak realita kehidupan. Dunia yang memperkenalkan saya dengan lebih banyak lagi orang. Dunia yang dengan lugu menyingkap topeng-topeng yang bertebar. Dunia yang mengubah banyak kepribadian.

Dan sebagai seorang muslim di saat yang sama, ada satu hal yang terus saya ingat. Betapa Allah telah mengatur dunia yang mulai saya akrabi ini, lebih daripada kode etik jurnalistik itu sendiri. "Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." (49:6)

Masih adakah pers yang benar-benar sehat? Keresahan yang memunculkan pertanyaan itu memang bukan tanpa alasan. Tapi agaknya, kalimat pembuka yang terdapat dalam buku yang berjudul “Kezaliman Media Massa terhadap Umat Islam” yang ditulis oleh Mohamad Fadhilah Zein berikut dapat membuat kita mendapat sedikit angin segar, bahwa ada orang-orang yang masih memperjuangkan sebenar-benarnya kebenaran.

 “Revolusi media tidak akan pernah terjadi di media arus utama. Mereka lebih sibuk dengan popularitas, rating dan uang. Revolusi media lahir dari pinggir, dan dilakukan oleh sekelompok orang yang dianggap tidak ada. Siapakah mereka? Mereka adalah jurnalis Muslim yang senantiasa membela Agama Kebenaran, penuh dedikasi dan keikhlasan meski dihadapkan pada banyak keterbatasan ...”

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar