Pulang!

By Zulfa Rahmatina - 9:02 AM

Tidak ada niatan untuk pulang. Sama sekali. Sebelum UTS, aku sudah membayangkan akan pergi ke sebuah pantai pasir putih di Jogja bersama teman-teman baruku. Melepas penat, menikmati sepoi angin. Dan agaknya harap itu memang terlalu muluk. Seberapapun kuat kuyakinkan mereka, teman-temanku mengeluhkan satu hal yang sama; medan yang berat. Uh! Padahal aku tahu mereka akhwat yang tangguh. Padahal dia belajar karate—yah, memang tidak ada hubungannya. Tapi aku tetap kecewa sih. Dan kecewaku melahirkan sebuah doa, beberapa semoga.

Aku lalu memutuskan mencari kegiatan yang lain. Tapi apa? Kampus ini tidak seperti di Jakarta, rupanya. Aku kesulitan mencari kegiatan yang sesuai dengan yang kubutuhkan—aku bahkan kesulitan untuk hanya sekadar dapat berdiri beberapa menit di tengah flyover, menikmati pemandangan jalananan. Setiap hari libur tiba, sepertinya kampus ini menjadi mati. Atau, hanya aku saja yang merasa seperti itu hanya gara-gara segalanya berjalan tidak sesuai harapanku?

Dan itu jugalah yang membuat pesma—tempat tinggalku sekarang—sepi. Bahkan teman-teman dekatku juga pulang ke rumah masing-masing. Bosan di pesma, katanya. Sepi. Ini libur panjang! Maka jadilah aku berkonsultasi dengan ummi apa yang harus kulakukan dan seperti biasa, ummi memintaku melakukan apa yang kuinginkan. Keputusan akhir; akhirnya aku pulang.

Ricuh sekali pagi itu. Aku masih terkantuk-kantuk. Meracaukan law of responden conditioning-extinction-nya Pavlov. Merapalkan postulat-postulat Hull. Menggumamkan social learning Bandura. Dan mengingat-ingat teori belajar instrumental conditioning Thorndike, Pelaziman Klasik Watson, Operant Conditioning Skinner dan para tokoh-tokoh behavioristik lain. Singkatnya, aku masih mabuk mempelajari Psikologi Belajar dan tersadar aku belum packing!

Maka aku memasukkan barang-barang yang tidak perlu. Melipat selimut dan seprai untuk kumasukkan ke laundry bag. Menyortir baju-baju kotor yang tidak sempat kucuci selama UTS mana saja yang harus ku-laundry dan mana yang harus ikut pulang bersamaku. Hingga saat aku sadar apa saja yang baru kulakukan, tasku sudah membengkak. Ditambah satu handbag. Berisi hal-hal yang tidak penting. Bersiap mendapat omelan dari ummi; Repot! Bawaannya pasti banyak. Nggak penting. Capek sendiri, ngeluh sendiri. Ah, peduli amat! Aku sedang tidak bisa berpikir jernih.

Hingga bus jurusan Solo - Semarang mengikutsertakanku dalam perjalanan mereka. Melarutkan banyak pertanyaanku untuk apa kepulanganku kali ini. Aku pasti masih bisa melakukan banyak hal lain. Seperti melihat keponakan baruku, misalnya. Yusuf … siapa namanya? Reyhan Yusuf … ah, ingatanku buruk sekali! Tapi mengingat keponakan baru itu saja sudah bisa membuatku tersenyum puas dan dadaku mekar. Aku jadi teringat saat aku mengeluhkan pada seorang teman, apa yang harus kuberikan pada keponakan baruku itu. Dia menjawab sesuatu yang mainstream dan aku selalu menyelanya. Harus sesuatu yang spesial! Akhirnya, dia memutuskan agar aku memberi keponakan baruku seorang teman. BAM! Apa artinya aku harus memungut bayi kucing? Atau bagaimana?

Di jalan, aku berpikir aku masih bisa menghabiskan libur ini di pantai. Atau pergi ke sebuah air terjun terdekat dengan daerahku. Rasa-rasanya aku tidak tahan dan ingin sekali menghubungi teman-teman SMA. Tapi akhirnya aku mengurungkan niat itu. Mereka pasti sedang sibuk. Sibuk bekerja. Sibuk menyelesaikan semester akhir kuliahnya. Dan tidak sempat mengurusi hal remeh sepertiku. Maka aku membiarkan bus terus melaju. Membawaku pada skenario hidup yang lain.

Perjalanan Solo – Semarang tidak begitu membosankan. Yang membuatku gemas dan ingin mengumpat adalah perjalanan dari terminal menuju rumahku. Lama sekali! Bus tidak jalan-jalan. Panas. Sesak oleh keringat anak-anak yang baru pulang sekolah. Kepalaku bahkan berputar karena asap rokok dan aroma ikan mentah belanjaan seorang ibu paruh baya yang aku tidak tahu sudah berapa lama berada di pasar. Ya Tuhan, ternyata sudah lama sekali aku tidak berada di dalam situasi seperti itu. Dan yang akhirnya kupikirkan, aku hanya ingin cepat-cepat sampai rumah. Pulang.

Ketika sampai di rumah, rasa penat itu berganti sergapan haru saat Firda dan Maira bergantian memelukku. Belepotan berceloteh tentang rindu. Tapi setelahnya Firda lalu segera merebut ponselku, Maira memintaku memutar video Syaamil dan Nadia. Aku berdecak kesal. Jadi, apa dan siapa sebenarnya yang mereka rindukan?


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar