Tidak ada niatan untuk pulang. Sama sekali.
Sebelum UTS, aku sudah membayangkan akan pergi ke sebuah pantai pasir putih di
Jogja bersama teman-teman baruku. Melepas penat, menikmati sepoi angin. Dan agaknya
harap itu memang terlalu muluk. Seberapapun kuat kuyakinkan mereka, teman-temanku
mengeluhkan satu hal yang sama; medan yang berat. Uh! Padahal aku tahu mereka
akhwat yang tangguh. Padahal dia belajar karate—yah, memang tidak ada
hubungannya. Tapi aku tetap kecewa sih. Dan kecewaku melahirkan sebuah
doa, beberapa semoga.
Aku lalu memutuskan mencari kegiatan
yang lain. Tapi apa? Kampus ini tidak seperti di Jakarta, rupanya. Aku kesulitan
mencari kegiatan yang sesuai dengan yang kubutuhkan—aku bahkan kesulitan untuk
hanya sekadar dapat berdiri beberapa menit di tengah flyover, menikmati
pemandangan jalananan. Setiap hari libur tiba, sepertinya kampus ini menjadi
mati. Atau, hanya aku saja yang merasa seperti itu hanya gara-gara segalanya
berjalan tidak sesuai harapanku?
Dan itu jugalah yang membuat pesma—tempat
tinggalku sekarang—sepi. Bahkan teman-teman dekatku juga pulang ke rumah
masing-masing. Bosan di pesma, katanya. Sepi. Ini libur panjang! Maka jadilah
aku berkonsultasi dengan ummi apa yang harus kulakukan dan seperti biasa, ummi
memintaku melakukan apa yang kuinginkan. Keputusan akhir; akhirnya aku pulang.
Ricuh sekali pagi itu. Aku masih
terkantuk-kantuk. Meracaukan law of responden conditioning-extinction-nya
Pavlov. Merapalkan postulat-postulat Hull. Menggumamkan social learning Bandura.
Dan mengingat-ingat teori belajar instrumental conditioning Thorndike, Pelaziman
Klasik Watson, Operant Conditioning Skinner dan para tokoh-tokoh behavioristik
lain. Singkatnya, aku masih mabuk mempelajari Psikologi Belajar dan tersadar
aku belum packing!
Maka aku memasukkan barang-barang
yang tidak perlu. Melipat selimut dan seprai untuk kumasukkan ke laundry bag.
Menyortir baju-baju kotor yang tidak sempat kucuci selama UTS mana saja yang
harus ku-laundry dan mana yang harus ikut pulang bersamaku. Hingga saat
aku sadar apa saja yang baru kulakukan, tasku sudah membengkak. Ditambah satu
handbag. Berisi hal-hal yang tidak penting. Bersiap mendapat omelan dari ummi; Repot!
Bawaannya pasti banyak. Nggak penting. Capek sendiri, ngeluh sendiri. Ah,
peduli amat! Aku sedang tidak bisa berpikir jernih.
Hingga bus jurusan Solo - Semarang mengikutsertakanku
dalam perjalanan mereka. Melarutkan banyak pertanyaanku untuk apa kepulanganku
kali ini. Aku pasti masih bisa melakukan banyak hal lain. Seperti melihat
keponakan baruku, misalnya. Yusuf … siapa namanya? Reyhan Yusuf … ah, ingatanku
buruk sekali! Tapi mengingat keponakan baru itu saja sudah bisa membuatku
tersenyum puas dan dadaku mekar. Aku jadi teringat saat aku mengeluhkan pada
seorang teman, apa yang harus kuberikan pada keponakan baruku itu. Dia menjawab
sesuatu yang mainstream dan aku selalu menyelanya. Harus sesuatu yang
spesial! Akhirnya, dia memutuskan agar aku memberi keponakan baruku seorang
teman. BAM! Apa artinya aku harus memungut bayi kucing? Atau bagaimana?
Di jalan, aku berpikir aku masih
bisa menghabiskan libur ini di pantai. Atau pergi ke sebuah air terjun terdekat
dengan daerahku. Rasa-rasanya aku tidak tahan dan ingin sekali menghubungi
teman-teman SMA. Tapi akhirnya aku mengurungkan niat itu. Mereka pasti sedang
sibuk. Sibuk bekerja. Sibuk menyelesaikan semester akhir kuliahnya. Dan tidak
sempat mengurusi hal remeh sepertiku. Maka aku membiarkan bus terus melaju. Membawaku
pada skenario hidup yang lain.
Perjalanan Solo – Semarang tidak
begitu membosankan. Yang membuatku gemas dan ingin mengumpat adalah perjalanan
dari terminal menuju rumahku. Lama sekali! Bus tidak jalan-jalan. Panas. Sesak oleh
keringat anak-anak yang baru pulang sekolah. Kepalaku bahkan berputar karena
asap rokok dan aroma ikan mentah belanjaan seorang ibu paruh baya yang aku
tidak tahu sudah berapa lama berada di pasar. Ya Tuhan, ternyata sudah lama
sekali aku tidak berada di dalam situasi seperti itu. Dan yang akhirnya
kupikirkan, aku hanya ingin cepat-cepat sampai rumah. Pulang.
Ketika sampai di rumah, rasa
penat itu berganti sergapan haru saat Firda dan Maira bergantian memelukku. Belepotan berceloteh
tentang rindu. Tapi setelahnya Firda lalu segera merebut ponselku, Maira memintaku memutar video Syaamil dan Nadia. Aku berdecak kesal. Jadi,
apa dan siapa sebenarnya yang mereka rindukan?
0 komentar