Hujan yang Lembut

By Zulfa Rahmatina - 11:24 AM

Aku kira musim ini sudah terhenti. Ketika kicau kutilang di pucuk cemara menyapaku lewat siulan angin yang hembus di samping badan sepeda yang kukayuh pelan. Tapi langit lalu menghitam, membawa arak awan kelam. Menyelipkan mentari dalam sebuah kitab tebal, sebagai pembatas sejenak perjalanan panjang.   

Dan rintik-rintiknya mulai menyentuh bulu mataku, turun hingga ke ujung kain panjang biru yang menutup kepalaku, luruh hingga pada hiasan pita di sepatuku. Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Kau sudah lama tidak menyapaku. Tidak mengirim pesan untuk sekadar menanyakan kabarku. Tidak berpura-pura mencemaskan tugas-tugas yang barangkali saja tidak kukerjakan dengan baik dan sempurna seperti harapmu. Tidak memintaku membersamaimu dalam suatu waktu yang sama. Tidak …

Ah, barangkali aku terlalu naif. Sebelumnya, kau tentu saja melakukan itu semua hanya karena kau adalah laki-laki yang baik. Aku saja yang sibuk sekali merangkai-rangkai cerita. Rusuh mengingatmu saat hujan turun dengan lembut. Menyisipkan harap agar kau hadir membersamaiku dalam perjalanan, bersama membuat kecipak berpayung lebar daun pisang yang kau petik di persimpangan. Seperti malam itu, saat kita beriring pelan. Saat kau bercanda memintaku menatap kedalaman bola matamu dan aku lebih memilih menunduk daripada hanyut dan takluk. Saat kau menceritakan perihal masa lalu-masa lalu yang lugu. Saat kau tertawa, saat kau marah, saat kau memaparkan apa-apa saja yang kau sukai, saat kau bertanya apakah aku benar-benar mempercayaimu, saat …

Saat itu kau tidak ada. Saat hujan lagi-lagi turun dengan begitu lembut. Saat itu … saat bebatuan tajam yang kupijak membuat telapakku berdenyut. Saat hujan yang menderas membasahi sekujur tubuhku yang mulai kaku. Aku tahu, hujan tidak akan pernah melukaiku. Tetapi saat itu hatiku begitu ngilu. Apakah benar kau mencintaiku? Tiba-tiba saja hujan membuatku melontarkan tanya itu.

Pada suatu maghrib bulan Ramadhan, dengan pipi yang semu disambut riuh sorakan adik-adikku yang baru saja menandaskan bergelas-gelas jus jambu, pernah kukatakan kepada Ummi, “Bantu mohonkan, agar Allah membersamakanku dengan orang yang kucintai, dan yang mencintaiku karena-Nya,”

Karena bagaimanapun, bersama orang yang tidak kucintai tetapi mencintaiku membuatku khawatir jika aku banyak menyakiti, banyak melukai. Aku tidak seperti perempuan lain yang lebih memilih pada kondisi itu. Karena jika pada akhirnya seperti yang dikatakan banyak orang bahwa cinta sama-sama akan tumbuh seiring waktu, aku lebih memilih menunggu daripada harus ditunggu. Tidak mengapa, bukankah selama ini aku sudah menunggu begitu lama? Tapi benarkah aku sanggup, mencintai orang yang tidak mencintaiku? Jika benar ternyata aku begitu rapuh, aku berharap semoga aku memiliki cinta yang dapat menguatkanku.

Aku bertanya-tanya, apakah aku kini terlalu mencintaimu? Atau hanya mencintai perhatian-perhatianmu. Aku tidak tahu apakah kau memberikan juga perhatianmu kepada banyak perempuan lain yang kautemui dalam perjalanan panjangmu. Aku juga tidak tahu, apakah aku akan berhenti mencintaimu jika ternyata kau memang benar begitu. Yang aku tahu, kau adalah laki-laki yang baik. Meski untuk menjadi laki-laki yang baik, kau tidak harus berbuat baik kepada setiap perempuan yang kau kenali.

Aku bertanya-tanya apakah aku mencintaimu dan kau tidak mencintaiku, atau kau mencintaiku dan aku tidak mencintaimu. Semua ini rupanya begitu ambigu. Rindu ini, harap ini … aku tidak pernah benar-benar mengerti. Dan, ingin sekali aku bertanya, “Apakah kau akan menjadikanku sebagai tujuanmu atau hanya tempat teduh saat hujan membasahi lensa kacamatamu?” Karena jika kau hanya menjadikanku sebagai tempat teduh, aku akan berpikir ulang untuk memberikan separuhku untuk dirimu. Separuh yang membuatku genap. Separuh yang membuat pengorbanan, perjuangan, hingga pengabdianku lengkap.

“Ayo semangat,” teriakan seorang lelaki membuyarkan lamunanku. “Apaan kalian cuma segitu doang,” Apaan katanya? Aku berdecak. Teriakannya dan deru motor di belakangku membuatku melangkah lebih cepat. Tapi bebatuan ini, rintik hujan ini, dua helm yang kutenteng dan tas ransel di punggung yang begitu berat ini …

Bersamaku ada dua lelaki. Empat perempuan. Kami baru saja dari sebuah pantai pasir putih yang tersembunyi di balik hutan yang berbukit-bukit. Motor yang kami kendarai seperti menyentuh langit yang kadang begitu biru, lalu kelam kelabu saat jalanan menanjak. Bebatuan tajam dan terjal memaksa separuh kami untuk turun dari motor dan menapakinya, berpeluh-peluh. Deburan ombak yang deru menampar karang-karang besar yang berbaris rapi seperti iringan prajurit. Kami melangitkan tasbih melihat hamparan laut membentang dan menyatu di kaki-kaki langit. Bebutir pasir yang lembut, desau angin yang hembus dalam celah pori-pori jilbabku. Aku melihat ke sekeliling. Bersamaku ada dua laki-laki yang sepanjang perjalanan sibuk melacak lokasi ini melalui smartphone. Dengan empat perempuan yang kuharap diberi kesabaran yang luas dan ketangguhan yang besar.  

Hujan masih turun dengan lembut saat aku kembali memperhatikan orang-orang di sekelilingku. Melihat mereka, segera aku mengubah doaku. Semoga Allah selalu membersamakanku dengan orang-orang yang menyebut namaku dalam doa-doa yang dilangitkannya. Setidaknya ketika ia mencintaiku, aku tahu ia tidak pernah melupakan-Nya. Aku tahu jika itu cinta yang karena-Nya. Hujan kali itu begitu lembut, dan aku merasa ada yang diam-diam berdenyut. Begitu pelan … hampir-hampir tak terdengar …


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar