Aku
kira musim ini sudah terhenti. Ketika kicau kutilang di pucuk cemara menyapaku
lewat siulan angin yang hembus di samping badan sepeda yang kukayuh pelan. Tapi
langit lalu menghitam, membawa arak awan kelam. Menyelipkan mentari dalam
sebuah kitab tebal, sebagai pembatas sejenak perjalanan panjang.
Dan
rintik-rintiknya mulai menyentuh bulu mataku, turun hingga ke ujung kain
panjang biru yang menutup kepalaku, luruh hingga pada hiasan pita di sepatuku. Tiba-tiba
saja aku teringat sesuatu. Kau sudah lama tidak menyapaku. Tidak mengirim pesan
untuk sekadar menanyakan kabarku. Tidak berpura-pura mencemaskan tugas-tugas
yang barangkali saja tidak kukerjakan dengan baik dan sempurna seperti harapmu.
Tidak memintaku membersamaimu dalam suatu waktu yang sama. Tidak …
Ah,
barangkali aku terlalu naif. Sebelumnya, kau tentu saja melakukan itu semua
hanya karena kau adalah laki-laki yang baik. Aku saja yang sibuk sekali
merangkai-rangkai cerita. Rusuh mengingatmu saat hujan turun dengan lembut. Menyisipkan
harap agar kau hadir membersamaiku dalam perjalanan, bersama membuat kecipak berpayung
lebar daun pisang yang kau petik di persimpangan. Seperti malam itu, saat kita
beriring pelan. Saat kau bercanda memintaku menatap kedalaman bola matamu dan
aku lebih memilih menunduk daripada hanyut dan takluk. Saat kau menceritakan
perihal masa lalu-masa lalu yang lugu. Saat kau tertawa, saat kau marah, saat
kau memaparkan apa-apa saja yang kau sukai, saat kau bertanya apakah aku
benar-benar mempercayaimu, saat …
Saat
itu kau tidak ada. Saat hujan lagi-lagi turun dengan begitu lembut. Saat itu …
saat bebatuan tajam yang kupijak membuat telapakku berdenyut. Saat hujan yang
menderas membasahi sekujur tubuhku yang mulai kaku. Aku tahu, hujan tidak akan
pernah melukaiku. Tetapi saat itu hatiku begitu ngilu. Apakah benar kau
mencintaiku? Tiba-tiba saja hujan membuatku melontarkan tanya itu.
Pada
suatu maghrib bulan Ramadhan, dengan pipi yang semu disambut riuh sorakan
adik-adikku yang baru saja menandaskan bergelas-gelas jus jambu, pernah
kukatakan kepada Ummi, “Bantu mohonkan, agar Allah membersamakanku dengan orang
yang kucintai, dan yang mencintaiku karena-Nya,”
Karena
bagaimanapun, bersama orang yang tidak kucintai tetapi mencintaiku membuatku khawatir
jika aku banyak menyakiti, banyak melukai. Aku tidak seperti perempuan lain
yang lebih memilih pada kondisi itu. Karena jika pada akhirnya seperti yang dikatakan
banyak orang bahwa cinta sama-sama akan tumbuh seiring waktu, aku lebih memilih
menunggu daripada harus ditunggu. Tidak mengapa, bukankah selama ini aku sudah
menunggu begitu lama? Tapi benarkah aku sanggup, mencintai orang yang tidak
mencintaiku? Jika benar ternyata aku begitu rapuh, aku berharap semoga aku
memiliki cinta yang dapat menguatkanku.
Aku
bertanya-tanya, apakah aku kini terlalu mencintaimu? Atau hanya mencintai
perhatian-perhatianmu. Aku tidak tahu apakah kau memberikan juga perhatianmu
kepada banyak perempuan lain yang kautemui dalam perjalanan panjangmu. Aku juga
tidak tahu, apakah aku akan berhenti mencintaimu jika ternyata kau memang benar
begitu. Yang aku tahu, kau adalah laki-laki yang baik. Meski untuk menjadi
laki-laki yang baik, kau tidak harus berbuat baik kepada setiap perempuan yang
kau kenali.
Aku
bertanya-tanya apakah aku mencintaimu dan kau tidak mencintaiku, atau kau
mencintaiku dan aku tidak mencintaimu. Semua ini rupanya begitu ambigu. Rindu ini,
harap ini … aku tidak pernah benar-benar mengerti. Dan, ingin sekali aku
bertanya, “Apakah kau akan menjadikanku sebagai tujuanmu atau hanya tempat
teduh saat hujan membasahi lensa kacamatamu?” Karena jika kau hanya
menjadikanku sebagai tempat teduh, aku akan berpikir ulang untuk memberikan
separuhku untuk dirimu. Separuh yang membuatku genap. Separuh yang membuat
pengorbanan, perjuangan, hingga pengabdianku lengkap.
“Ayo
semangat,” teriakan seorang lelaki membuyarkan lamunanku. “Apaan kalian cuma segitu
doang,” Apaan katanya? Aku berdecak. Teriakannya dan deru motor di
belakangku membuatku melangkah lebih cepat. Tapi bebatuan ini, rintik hujan ini,
dua helm yang kutenteng dan tas ransel di punggung yang begitu berat ini …
Bersamaku
ada dua lelaki. Empat perempuan. Kami baru saja dari sebuah pantai pasir putih
yang tersembunyi di balik hutan yang berbukit-bukit. Motor yang kami kendarai
seperti menyentuh langit yang kadang begitu biru, lalu kelam kelabu saat
jalanan menanjak. Bebatuan tajam dan terjal memaksa separuh kami untuk turun
dari motor dan menapakinya, berpeluh-peluh. Deburan ombak yang deru menampar
karang-karang besar yang berbaris rapi seperti iringan prajurit. Kami melangitkan
tasbih melihat hamparan laut membentang dan menyatu di kaki-kaki langit. Bebutir
pasir yang lembut, desau angin yang hembus dalam celah pori-pori jilbabku. Aku melihat
ke sekeliling. Bersamaku ada dua laki-laki yang sepanjang perjalanan sibuk
melacak lokasi ini melalui smartphone. Dengan empat perempuan yang kuharap diberi
kesabaran yang luas dan ketangguhan yang besar.
Hujan
masih turun dengan lembut saat aku kembali memperhatikan orang-orang di sekelilingku.
Melihat mereka, segera aku mengubah doaku. Semoga Allah selalu membersamakanku
dengan orang-orang yang menyebut namaku dalam doa-doa yang dilangitkannya. Setidaknya
ketika ia mencintaiku, aku tahu ia tidak pernah melupakan-Nya. Aku tahu jika
itu cinta yang karena-Nya. Hujan kali itu begitu lembut, dan aku merasa ada
yang diam-diam berdenyut. Begitu pelan … hampir-hampir tak terdengar …
0 komentar