Ada yang beku: bibir
Ada yang tertahan: nafas
Ada yang tak berkedip: kelopak mata
Ada yang berdegub kencang: jantung
Ada yang berdesir deras: darah
Ada yang tertawan: hati
Ada yang berhenti berputar: bumi
Ada yang berhembus pelan: angin
Ada yang hening berbisik: rerumputan
Ada yang jatuh cinta padamu: aku
Setelah lima tahun. Rijal Rafsanjani, ia tak pernah
tahu tentang apa-apa yang telah digoreskan Tuhan, untuknya. Ada tabir yang tak
mudah disingkap, persimpangan yang likunya rumit ‘tuk dilewat. Ketaktertebakan
mengejutkan yang seringkali menjerat.
Annisa Larasaty agaknya serupa.
Saat gebu rasa yang menyesakkan dadanya menjelma menjadi luka. Setelah lima
tahun. Penantian panjang yang membuat dua hati, di dua benua yang berbeda,
menjadi pegal. Saat jarak, menjadi tabir dari segala gelora rasa. Saat
kenangan, menjadi bayang dalam setiap angan.
♥
Teater Daun, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, menyajikan gadis senja dengan jilbab
merah muda yang labuh hingga dada. Rijal bertanya-tanya, tentang sesosok gadis
dengan papar cahaya di wajahnya, yang sedang membacakan puisi indah Sapardi
Joko Darmono, Hujan di Bulan Juni.
Takdir memang selalu tak terduga.
Tibanya, jalannya. Seperti tak terduganya Rijal, saat suatu kejadian kembali
mempertemukan mereka. Namanya Kak Laras, seseorang yang menawannya di pandangan
pertama. Gadis yang menangkupkan telapak tangannya ketika akan diajak
bersalaman oleh sahabatnya, Syevi. Seseorang yang membawa nama fakultas menjadi
juara pada petang puisi, tahun lalu. Perempuan yang berbeda… perempuan senja
dengan senyum manisnya.
Rijal, detik itu, hatinya resmi
tertawan. Ada rasa kagum yang begitu membuncah dalam dada, gelora dan
bunga-bunga yang tak tergambarkan. Tapi ia masih terlalu takut untuk
menyebutnya, cinta.
Mencintai itu, bukan cuma soal rasa suka, atau ketertarikan. Bukan cuma soal kekaguman. Lebih dari itu, mencintai itu sebuah keputusan. Keputusan besar.
Rijal gelisah. Rasa tersebut,
memang indah. Namun salah. Menyesakkan, dan mengilukan iman. Ia berbenah.
Kepada Laras, ia menjauh. Sosok yang terus membayanginya itu, meski tak pernah
sekalipun membuatnya jengah, dan bahkan terus mencipta percik-percik yang
indah, harus dijauhinya. Pasti, ia akan meminangnya, di hari kelulusan. Hatinya
bertekad teguh. Tapi sekali lagi, tak ada yang bisa menyingkap Takdir-Nya.
Ketika akhirnya di hari kelulusan, tiba-tiba saja Laras menghilang. Dan
menyisakan lima tahun panjang yang menyakitkan.
♥
Setelah lima tahun.
Barangkali karena sebagian kebahagiaan tak bisa
diulang, kita menjadi pecinta rekaman-rekaman—menjadi pengagum
kenangan-kenangan.
Barangkali karena kita tak punya kuasa untuk memaku waktu, kita mengenang keindahan yang kita jumpai dalam gambar-gambar, dalam kata-kata—rentetan aksara yang bisa kapan saja kita baca.
Barangkali karena kita tak punya kuasa untuk memaku waktu, kita mengenang keindahan yang kita jumpai dalam gambar-gambar, dalam kata-kata—rentetan aksara yang bisa kapan saja kita baca.
Maka jangan salahkan siapa-siapa, bila diam-diam aku
menyimpan banyak gambarmu.
Maka jangan salahkan siapa-siapa, bila terlalu
banyak sirat namamu dalam puisi-puisiku.
Pupus. Setelah lima tahun.
Penantian yang menyesakkan. Cincin telah melingkar, saat kedai kopi Kahveh,
kembali menjadi saksi pertemuan Rijal dan Laras.
Setelah lima tahun yang
panjang.
Aira, nama baru yang dipaksanya
untuk memenuhi hatinya dan berharap dapat membuatnya kembali mengembang, malah
membuat Rijal bimbang. Cintanya dipertaruhkan. Bapak, yang telah pergi jauh,
dan menyisakan Pak Wawan, sahabat terbaik Bapak. Juga, ayah Aira—gadis yang
dengan sadar, dipinangnya sendiri saat hatinya sudah terlalu lelah menanti yang
tidak pasti. Ibu, perempuan dengan ritual senja, di usia senja. Aira, dengan
segala keelokan tutur dan santunnya. Juga Laras, gadis yang mengenalkannya pada
sebuah kata, yang ditakdirkan hanya menjadi kata, dan tanpa benda. Gadis yang
setelah lima tahun kepergiannya, kembali dan tak lupa mengingatkan akan rasa
yang selama ini begitu menyesakkan dada. Cinta.
Seminggu menjelang pernikahan,
setelah lima tahun penantian.
Rijal menyerah. Ia mendekatkan
diri, dan bermusyawarah pada Tuhan. Berharap segera diputuskan, tanpa ada
hati-hati yang terluka.
Tapi, lagi, dan lagi… Tuhan selalu
berkuasa atas setiap keping episode hidup kita. Atas setiap gundah, dan indah.
Atas setiap jatuh, dan cercah.
Ketika udara jadi teman bicara
Dan indahnya bulan purnama tak lagi bisa kita lihat,dari sudut yang sama
Barangkali, memang itulah yang terbaik bagi kita
Meski perih
Meski sepi
Sebab apa-apa yang baik menurut kita
Tak selamanya baik menurut Tuhan
Begitu sebaliknya
Ia yang Maha Tahu
Dan kita bodoh.
Jadi tersenyumlah,
Dan resapi segala keromantisannya-Nya
--------------------------------------
Ini tulisan yang ana buat untuk keperluan seminar
kit acara dari Komunitas Islam Menulis (KIM) LIPIA, Talkshow dan Bedah Buku
Tuhan Maha Romantis, Ahad lalu.
*Telat post :D
0 komentar