Tuhan Maha Romantis

By Zulfa Rahmatina - 5:17 PM


 Ada yang beku: bibir
Ada yang tertahan: nafas 
Ada yang tak berkedip: kelopak mata 
Ada yang berdegub kencang: jantung 
Ada yang berdesir deras: darah
Ada yang tertawan: hati 
Ada yang berhenti berputar: bumi 
Ada yang berhembus pelan: angin 
Ada yang hening berbisik: rerumputan 
Ada yang jatuh cinta padamu: aku      

Setelah lima tahun. Rijal Rafsanjani, ia tak pernah tahu tentang apa-apa yang telah digoreskan Tuhan, untuknya. Ada tabir yang tak mudah disingkap, persimpangan yang likunya rumit ‘tuk dilewat. Ketaktertebakan mengejutkan yang seringkali menjerat.

Annisa Larasaty agaknya serupa. Saat gebu rasa yang menyesakkan dadanya menjelma menjadi luka. Setelah lima tahun. Penantian panjang yang membuat dua hati, di dua benua yang berbeda, menjadi pegal. Saat jarak, menjadi tabir dari segala gelora rasa. Saat kenangan, menjadi bayang dalam setiap angan.


Teater Daun, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, menyajikan gadis senja dengan jilbab merah muda yang labuh hingga dada. Rijal bertanya-tanya, tentang sesosok gadis dengan papar cahaya di wajahnya, yang sedang membacakan puisi indah Sapardi Joko Darmono, Hujan di Bulan Juni.

Takdir memang selalu tak terduga. Tibanya, jalannya. Seperti tak terduganya Rijal, saat suatu kejadian kembali mempertemukan mereka. Namanya Kak Laras, seseorang yang menawannya di pandangan pertama. Gadis yang menangkupkan telapak tangannya ketika akan diajak bersalaman oleh sahabatnya, Syevi. Seseorang yang membawa nama fakultas menjadi juara pada petang puisi, tahun lalu. Perempuan yang berbeda… perempuan senja dengan senyum manisnya.

Rijal, detik itu, hatinya resmi tertawan. Ada rasa kagum yang begitu membuncah dalam dada, gelora dan bunga-bunga yang tak tergambarkan. Tapi ia masih terlalu takut untuk menyebutnya, cinta.
 Mencintai itu, bukan cuma soal rasa suka, atau ketertarikan. Bukan cuma soal kekaguman. Lebih dari itu, mencintai itu sebuah keputusan. Keputusan besar.
 Rijal gelisah. Rasa tersebut, memang indah. Namun salah. Menyesakkan, dan mengilukan iman. Ia berbenah. Kepada Laras, ia menjauh. Sosok yang terus membayanginya itu, meski tak pernah sekalipun membuatnya jengah, dan bahkan terus mencipta percik-percik yang indah, harus dijauhinya. Pasti, ia akan meminangnya, di hari kelulusan. Hatinya bertekad teguh. Tapi sekali lagi, tak ada yang bisa menyingkap Takdir-Nya. Ketika akhirnya di hari kelulusan, tiba-tiba saja Laras menghilang. Dan menyisakan lima tahun panjang yang menyakitkan.
Setelah lima tahun.

Barangkali karena sebagian kebahagiaan tak bisa diulang, kita menjadi pecinta rekaman-rekaman—menjadi pengagum kenangan-kenangan. 
Barangkali karena kita tak punya kuasa untuk memaku waktu, kita mengenang keindahan yang kita jumpai dalam gambar-gambar, dalam kata-kata—rentetan aksara yang bisa kapan saja kita baca.
Maka jangan salahkan siapa-siapa, bila diam-diam aku menyimpan banyak gambarmu.
Maka jangan salahkan siapa-siapa, bila terlalu banyak sirat namamu dalam puisi-puisiku.

Pupus. Setelah lima tahun. Penantian yang menyesakkan. Cincin telah melingkar, saat kedai kopi Kahveh, kembali menjadi saksi pertemuan Rijal dan Laras.

Setelah lima tahun yang panjang.

Aira, nama baru yang dipaksanya untuk memenuhi hatinya dan berharap dapat membuatnya kembali mengembang, malah membuat Rijal bimbang. Cintanya dipertaruhkan. Bapak, yang telah pergi jauh, dan menyisakan Pak Wawan, sahabat terbaik Bapak. Juga, ayah Aira—gadis yang dengan sadar, dipinangnya sendiri saat hatinya sudah terlalu lelah menanti yang tidak pasti. Ibu, perempuan dengan ritual senja, di usia senja. Aira, dengan segala keelokan tutur dan santunnya. Juga Laras, gadis yang mengenalkannya pada sebuah kata, yang ditakdirkan hanya menjadi kata, dan tanpa benda. Gadis yang setelah lima tahun kepergiannya, kembali dan tak lupa mengingatkan akan rasa yang selama ini begitu menyesakkan dada. Cinta.

Seminggu menjelang pernikahan, setelah lima tahun penantian.

Rijal menyerah. Ia mendekatkan diri, dan bermusyawarah pada Tuhan. Berharap segera diputuskan, tanpa ada hati-hati yang terluka.

Tapi, lagi, dan lagi… Tuhan selalu berkuasa atas setiap keping episode hidup kita. Atas setiap gundah, dan indah. Atas setiap jatuh, dan cercah.

 Ketika udara jadi teman bicara 
Dan indahnya bulan purnama tak lagi bisa kita lihat,dari sudut yang sama 
Barangkali, memang itulah yang terbaik bagi kita  
Meski perih 
Meski sepi 

Sebab apa-apa yang baik menurut kita 
Tak selamanya baik menurut Tuhan

Begitu sebaliknya 
Ia yang Maha Tahu 
Dan kita bodoh. 
Jadi tersenyumlah, 
Dan resapi segala keromantisannya-Nya


 --------------------------------------

Ini tulisan yang ana buat untuk keperluan seminar kit acara dari Komunitas Islam Menulis (KIM) LIPIA, Talkshow dan Bedah Buku Tuhan Maha Romantis, Ahad lalu.

*Telat post :D

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar