Perpisahan...

By Zulfa Rahmatina - 11:20 AM



Kini kau sudah sampai di tujuan.
Dengan tenang, bukan?
Sedang aku, masih harus terus berlayar. Entah... sampai kapan. Menguatkan genggaman saat hembusan mulai mengguncang. Bertahan dalam terpa ombak. Meneguhkan pijakan kala air mulai beriak.
Andai... andai aku diperkenankan memilih. Mungkin aku lebih memilih untuk tidak pernah mengenalmu.
Dengan begitu, bukankah kenangan yang kita ukir, tidak akan menjadi nyata? Dan benar-benar ada?
Saat kau, dengan senyum yang selalu sama... menggamitku untuk menghadapi dunia. Menghujaniku dengan cinta. Melimpahiku dengan semangat dan asa.
Saat aku... saat aku berulang membuatmu terluka. Dan selalu menjadi pemantik air mata.
Bukankah seharusnya, aku tak mengenalmu saja?
Meski bersamamu adalah rasa yang indah. Meski hadirmu, tentu saja sebuah anugerah.
Tapi ini terlalu menyakitkan.
Saat kau meninggalkanku tanpa sapa. Dan kecup, seperti biasanya.
Juga bisik pelan yang melangitkan do'a.
Menyesakkan. Ketika bayang akan wajahmu, dengan senyum di senja saat berdua kita beriring jalan ke masjid desa, kembali datang.
Bukankah kau pernah mengatakannya?
Selalu menyebut namaku dalam doa...
Memintaku untuk terus berusaha.
Kau bahkan belum melihatku di puncak.
Kumohon... kembalilah, dan tatap aku sejenak.
Juga, dengar dan terimalah maafku yang masih saja belajar merangkak.
Mari kembali berusaha untuk penuhi janji masing-masing kita.

Kau mengingatnya, kan?
Saat di jalan kecil itu, dengan tangis yang kau gigit, dan hati yang ditabah-tabahkan, kau bertanya padaku, apakah bidadari-bidadari surga itu, akan menggantikan posisimu?
Ketika, kekasihmu, tak lagi mampu kau tatap wajahnya dengan syahdu.
Sebab hanya karena, kulihat papar cahaya berpendar di wajahmu.
Aku menjawab, tidak. Tidak akan.
Dan meyakinkanmu jika, baginya, kaulah satu-satunya bidadari itu.
Sekarang, kata-kataku dulu, berbalik menikamku. Dengan belati yang tepat menghunjam pada ulu.
Perih sekali...
Dulu aku memintamu bersabar. Mengikhlaskan sebuah kepergian. Lalu kembali mengulang panjangnya penantian.
Tak lupa, mengisahkan tentang indahnya pertemuan.
Nyatanya, kini hatiku disesakkan oleh perpisahan.
Perpisahan denganmu...

Bukankah seharusnya, kita lebih baik untuk tidak saling mengenal?
Barangkali dengan itu, tak akan ada cacat dan luka dalam bingkai hatimu.
Barangkali dengan itu, di keping episodemu yang berharga, kau tak harus merenda air mata yang terbuang percuma untukku.
Barangkali dengan itu, aku tak harus merasakan sesak ini. Dan ngilu saat kurasa, entah itu apa, dengan bengisnya sedang mencabik dan menguliti hatiku.
Barangkali dengan itu, aku tidak harus mempedulikan kabar kematianmu...

Tapi Tuhan, dengan kasih-Nya, mengirimmu untuk mengenalkanku tentang apa itu cinta.
Bagaimana rasanya menoreh luka, lalu memendam gumpal sesal.
Bagaimana bakti, juga setia.
Dan sekarang, aku berharap untuk terus mengenalmu.
Mengenangmu dalam setiap desah di sisa detikku.
Hanya untuk kembali mengingatkan pada hati dan diri, bahwa sungguh, tidak ada yang sia-sia.
Tidak ada yang sia-sia dari pertemuan kita.


Semoga Allah menyayangimu. Mengampuni dan menerima amalmu. Semoga Allah menempatkanmu pada tempat yang terbaik.
Semoga kelak, Allah akan kembali mempertemukanku denganmu.



  • Share:

You Might Also Like

1 komentar

  1. Tulisan yang sangat indah.
    Membuat air mata ini seakan ingin jatuh.

    I like it

    ReplyDelete