Kini kau sudah sampai di
tujuan.
Dengan tenang, bukan?
Sedang aku, masih harus terus
berlayar. Entah... sampai kapan. Menguatkan genggaman saat hembusan mulai
mengguncang. Bertahan dalam terpa ombak. Meneguhkan pijakan kala air mulai
beriak.
Andai... andai aku
diperkenankan memilih. Mungkin aku lebih memilih untuk tidak pernah mengenalmu.
Dengan begitu, bukankah
kenangan yang kita ukir, tidak akan menjadi nyata? Dan benar-benar ada?
Saat kau, dengan senyum yang
selalu sama... menggamitku untuk menghadapi dunia. Menghujaniku dengan cinta.
Melimpahiku dengan semangat dan asa.
Saat aku... saat aku berulang
membuatmu terluka. Dan selalu menjadi pemantik air mata.
Bukankah seharusnya, aku tak
mengenalmu saja?
Meski bersamamu adalah rasa
yang indah. Meski hadirmu, tentu saja sebuah anugerah.
Tapi ini terlalu menyakitkan.
Saat kau meninggalkanku tanpa
sapa. Dan kecup, seperti biasanya.
Juga bisik pelan yang
melangitkan do'a.
Menyesakkan. Ketika bayang
akan wajahmu, dengan senyum di senja saat berdua kita beriring jalan ke masjid
desa, kembali datang.
Bukankah kau pernah
mengatakannya?
Selalu menyebut namaku dalam
doa...
Memintaku untuk terus
berusaha.
Kau bahkan belum melihatku di
puncak.
Kumohon... kembalilah, dan
tatap aku sejenak.
Juga, dengar dan terimalah
maafku yang masih saja belajar merangkak.
Mari kembali berusaha untuk
penuhi janji masing-masing kita.
Kau mengingatnya, kan?
Saat di jalan kecil itu,
dengan tangis yang kau gigit, dan hati yang ditabah-tabahkan, kau bertanya
padaku, apakah bidadari-bidadari surga itu, akan menggantikan posisimu?
Ketika, kekasihmu, tak lagi
mampu kau tatap wajahnya dengan syahdu.
Sebab hanya karena, kulihat
papar cahaya berpendar di wajahmu.
Aku menjawab, tidak. Tidak
akan.
Dan meyakinkanmu jika,
baginya, kaulah satu-satunya bidadari itu.
Sekarang, kata-kataku dulu,
berbalik menikamku. Dengan belati yang tepat menghunjam pada ulu.
Perih sekali...
Dulu aku memintamu bersabar.
Mengikhlaskan sebuah kepergian. Lalu kembali mengulang panjangnya penantian.
Tak lupa, mengisahkan tentang
indahnya pertemuan.
Nyatanya, kini hatiku
disesakkan oleh perpisahan.
Perpisahan denganmu...
Bukankah seharusnya, kita
lebih baik untuk tidak saling mengenal?
Barangkali dengan itu, tak akan
ada cacat dan luka dalam bingkai hatimu.
Barangkali dengan itu, di
keping episodemu yang berharga, kau tak harus merenda air mata yang terbuang
percuma untukku.
Barangkali dengan itu, aku tak
harus merasakan sesak ini. Dan ngilu saat kurasa, entah itu apa, dengan
bengisnya sedang mencabik dan menguliti hatiku.
Barangkali dengan itu, aku
tidak harus mempedulikan kabar kematianmu...
Tapi Tuhan, dengan kasih-Nya,
mengirimmu untuk mengenalkanku tentang apa itu cinta.
Bagaimana rasanya menoreh
luka, lalu memendam gumpal sesal.
Bagaimana bakti, juga setia.
Dan sekarang, aku berharap
untuk terus mengenalmu.
Mengenangmu dalam setiap desah
di sisa detikku.
Hanya
untuk kembali mengingatkan pada hati dan diri, bahwa sungguh, tidak ada yang
sia-sia.
Tidak
ada yang sia-sia dari pertemuan kita.
Semoga Allah menyayangimu.
Mengampuni dan menerima amalmu. Semoga Allah menempatkanmu pada tempat yang
terbaik.
Semoga kelak, Allah akan kembali
mempertemukanku denganmu.
1 komentar
Tulisan yang sangat indah.
ReplyDeleteMembuat air mata ini seakan ingin jatuh.
I like it