Sepenggal Episode

By Zulfa Rahmatina - 10:59 AM

Satu-satunya orang yang membuatku tidak menutup hidung dan mual saat berbicara dengan perokok adalah kakekku. Dari bibir cokelat dan kepulan asap itu, terlalu banyak kata-kata yang mengalir memenuhi paru-paruku. Darinya pula—meski tetap membenci bau asap rokok yang membuat kepalaku berputar—aku suka menghirup ujung rokok dengan aroma tembakau yang manis dan menjadikanku seperti ingin menyesapnya kuat-kuat.

Aku juga selalu suka menemaninya menghitung keping-keping logam dan meracik tembakau kering dengan bunga cengkeh cokelat yang dicincang kemudian disatukan dalam lititan kertas sigaret putih panjang tipis sepuluh senti.

Kakekku berpostur tinggi, kurus. Tulang-tulangnya yang menonjol begitu memuaskan mataku. Sebuah jejak dari perjalanan hidup yang hebat. Ia serupa beringin di pelataran balai desa kami. Kokoh dan disegani. Kulit mulanya kuning langsat, mirip buah pir yang ranum dan menyegarkan. Tetapi matahari membakarnya dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana rupa pir panggang.
Jika nenekku yang sering menyanyikan lagu-lagu Jepang—tetapi lebih suka dengan tembang Jawa—yang dipelajarinya dari penjajah berhidung khas pribumi, hidung kakekku lebih seperti Kompeni. Begitu congkak dan menyenangkan.   

Aku tidak tahu bagaimana persisnya kisah hidup kakek sebelum ia bertemu denganku. Apakah penuh darah dan airmata? Apakah dia mengangkat senjata? Apakah kakekku meruncingkan bambu? Atau malah bersembunyi di lubang yang gelap dengan genangan air yang bau. Aku tidak tahu.

Aku tidak tahu bagaimana hidup menempanya. Perjalanan hidupnya yang kutahu dan kunobatkan sebagai kisah hidupnya yang penuh perjuangan hanya sepenggal saja. Tentang ketika kakekku di usia yang masih sangat muda, pergi bersama-sama dengan keluarganya ke tanah suci, melalui jalur laut yang membuatnya terombang-ambing di kapal selama berbulan-bulan. Hanya itu yang kuketahui. Itu pun tidak langsung dari mulutnya, tetapi melalui kisah ummiku di suatu malam yang gulita. Dan hal lain yang kuketahui adalah jika hatiku mengukir sosoknya sebagai pahlawan sejati.

Selama bertemu dengannya, kakek lebih suka membuatku merasa bahagia. Seperti saat di malam buta, bersamanya aku menahan kantuk demi melihat burung hantu yang biasa bertengger di pohon mangga atau pohon petai tinggi di depan rumahnya, juga dengan tebu yang dikupaskannya untukku, misalnya. Atau, saat aku diboncengnya dengan sepeda onta meski pantatku terasa sangat sakit saat kerikil mencacah roda yang berputar, dan kakiku pernah masuk jeruji dan membuatnya berdarah meski telah dibalut sepatu karet.

Kakekku bukan model orang bersetelan jas atau berbaju safari. Saat di rumah, ia suka menggunakan kaos tipis putih dipadu celana kolor atau sarung. Aku suka dengan hal itu. Aku bisa mendekapnya lama, hingga tubuhku seakan menempel langsung dengan kulitnya. Mengendus keringatnya kuat-kuat membuat dadaku seperti disesaki ribuan bunga. Dan kakek akan tertawa. Dengan tawa yang begitu khas.

Kakek mengenakan jas ketika akan pergi ke masjid pada hari Jum’at. Ia memadukan jas hijau lumutnya dengan sorban hijau daun tua yang dililitkan pada kepala. Aku curiga kakekku menumpahkan satu botol parfum tiap kali ia akan ke masjid di hari Jum’at. Aku tidak suka bau parfum yang menyengat. Itu bisa membuat kepalaku berputar. Tapi, lagi-lagi, padanya, aku suka bau menyengat. Bau misknya, bau menyengat kakekku.

Kakekku memang istimewa. Ia menyukai bola sepak dan sepertinya aku merasa mewarisi gen ini darinya. Di masa SMA, aku begitu menggemari sebuah kesebelasan. Rasanya mendebarkan ketika dengan mata terpejam dan menggigit bibir bawah kuat-kuat, aku berharap dengan syahdu pada menit-menit tendangan bebas, juga pinalti—atau sesuatu seperti itu. Aku juga sangat menikmati saat bola masuk ke gawang dan bersorak riuh hingga membuat pangkal hidung Abi membentuk tiga ukiran memanjang vertikal.

Bagaimana bisa anak perempuannya menyukai bola? Sedangkan ia sama sekali tidak pernah sudi melirik kumpulan lelaki berkeringat yang bermenit-menit lamanya memperebutkan sebuah bola bundar yang menggelinding tidak jelas—begitu konyol, komentar Abi suatu ketika—di lapangan hijau dan lebih memilih mengikuti siaran langsung tinju.

Jika dulu, aku dengan komitmen menjunjung loyalitas tinggi mengidolakan sebuah kesebelasan berlambang singa, sepertinya tidak begitu dengan kakekku. Kadang di malam buta, ia hanya akan terus bersorak jika ada bola yang masuk gawang—bola dari tim mana pun—dengan emosi kegembiraan yang memuncak. Kadang, rasa-rasanya aku ingin hidup dengan perasaan sesederhana itu.

Selain bola, kakekku—seperti wajarnya orang-orang tua—juga suka menonton siaran wayang. Demi bakti sebagai cucu yang baik, aku hanya berada di sampingnya dan menguap lebar. Kakekku rupanya sangat peka. Ia mengambil nasi yang menggunung di piring, meletakkan potongan telur dadar, menaburkan ikan asin berukuran kecil—terkadang remahan tepung ikan asin yang gagal saat fase penggorengan—lalu menyiramnya dengan kecap hitam kental berpola pada nasi putih dan memberikannya padaku—persis seperti apa yang dilakukannya terhadap kucing-kucing liar yang kemudian diangkatnya menjadi anggota keluarga dan diberi nama.

Saat ia menikmati wayang, kakekku juga ingin agar aku menikmati hidup. Aku suka sensasi asin dari ikan kering yang membuat mata kecilku menyipit. Tetapi aku tidak suka kecap. Menurutku, rasa manis kecap tidak cocok dikombinasikan dengan karbohidrat dari nasi yang rasanya sudah manis. Meski begitu, aku suka dengan caranya membuatku merasa istimewa. Aku tidak pernah bertanya padanya kenapa ia menyukai wayang. Maka dewasa ini, aku mempelajari apa yang telah dilakukan wayang-wayang kerempeng itu hingga bisa begitu menyihirnya.

Tidak terlalu banyak yang kuingat tentang kakek. Aku hanya diberi kesempatan yang sangat singkat bertemu dengannya. Jika tahu akan begitu, aku pasti akan lebih lama mengendus keringatnya yang bersih, menghirup tembakau manis dan melihatnya membuat rokok linting tanpa busa sebagai filter, menemaninya menonton wayang, bahkan aku akan rela jika ia menyiram kecap lengket itu pada piring nasiku hingga membuat seluruh permukaannya menghitam.

Kakekku adalah tipe lelaki penyayang. Kami tidak tinggal seatap, tetapi aku lebih suka pergi dari rumah dan tidur di kamarnya, bersamanya. Ia menyayangi semuanya. Semua, termasuk kucing-kucing liar yang salah satunya dipanggilnya dengan ‘Manis’—hal yang tidak pernah dilakukannya padaku meski aku selalu mengira memiliki wajah yang lebih manis daripada kucing hitam-putih itu—atau monyet bernama Jambul yang ketika aku mengunjungi kakek suatu hari dengan mengayuh sepeda, ia langsung menyambutku dengan gigitan yang sakit sekali di pergelangan kakiku—hanya karena aku mendekati kakekku—hingga berujung pada tangisan keras dan sepedaku yang lalu kulemparkan begitu saja karena aku terlalu terkejut dan kesakitan, lalu menghambur pada pelukan kakek dan mendekapnya kuat-kuat, berniat membuat iri Jambul. Seandainya saat itu aku tidak menangis, aku yakin akan meleletkan lidah pada monyet itu.

Jambul tidak terima kakekku lebih memperhatikanku daripadanya. Dan aku masih terlalu kecil untuk mengerti jika monyet juga punya perasaan cemburu. Sejak saat itu, aku menabuh genderang perang pada Jambul dan berdoa agar aku tidak terkena rabies karena membencinya sepenuh hati. Hei, tapi, bukankah ini keren? Maksudku, jarang kan, aku bisa membuat seekor monyet tersulut cemburu?

Tentang rasa kasihnya, aku ingat apa yang kakek lakukan pada kakak sepupu seusiaku dari luar kota yang saat lebaran berkunjung ke rumahnya. Kakakku mengeluhkan gatal di tubuhnya. Dan betapa aku ingat, aku melihat kakek memandikan sepupuku dan menggosok badannya sungguh-sungguh serius dengan harapan agar kalau bisa, gatal-gatal itu pindah saja ke tubuhnya. Setelahnya, ia menyuruh paman mengantar kami bersama-sama ke laut. Dengan harapan yang sama. Semoga air asin itu bisa menjadi penawar dan menghilangkan gatal-gatal di kulit kakakku. Betapa aku tidak akan pernah melupakan kejadian itu.

Di malam raya, saat takbir bertalu, aku mengayuh sepeda menuju rumahnya. Kakek menyambutku dan aku memberikan tebakan. Apa warna baju baruku? Apakah berhias renda? Atau pita? Berapa setelan baju yang kudapat tahun ini? Begitu menyenangkan, saat ia menyemangatiku untuk kembali berpuasa penuh Ramadhan yang akan datang.
Pada pagi raya, suara khasnya menguar di udara. Pada telinga-telinga manusia yang berbondong-bondong ke lapangan untuk sholat ied. Siapa yang tidak mengenal sosoknya? Kakek ramah pada semua orang. Ia tidak pernah meninggalkan jamaah. Ia menjadi imam tarawih di masjid selama tiga puluh hari penuh untuk orang-orang yang ingin menjalankan tarawih pada sepertiga malam—hal yang membuatku tidak mendapatkannya di sisiku ketika aku bangun di pagi hari.

Dan saat-saat waktu bergulir kembali pada ambang Ramadhan, perasaan rindu membuatku tersengat. Aku gadis yang tidak pandai mengolah perasaan. Dan rindu kepadanya membuatku seperti orang linglung. Apa yang akan kulakukan? Menyadari bahwa aku merasa doa yang kulangitkan untuknya saja tidak akan cukup untuk mengobati rindu yang menyepuh hatiku ini, aku merasa bahwa aku adalah pribadi yang begitu menyedihkan dan menjadi tidak pantas telah diberi kesempatan bertemu dengannya.

Sayup-sayup Ramadhan mulai bergaung, aroma semerbaknya mulai tercium. Aku berharap bisa lagi mendengar suara takbirnya, tilawahnya, renyah tawa dan senyum yang begitu melegakanku. Dan di antara timbunan harap itu, rindu ini semakin mengakar. Kokoh, menancap hingga acapkali membuat ngilu. Ya Allah, aku merindunya.

Rindu yang terus tumbuh, gelisah yang menyapa, letih yang mendera, inikah tanda aku belum mengikhlaskan kepergiannya? Perasaan ini sungguh-sungguh membuatku gugup.


I miss you, Mbah Zaenal. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar