Satu-satunya orang yang membuatku tidak menutup
hidung dan mual saat berbicara dengan perokok adalah kakekku. Dari bibir
cokelat dan kepulan asap itu, terlalu banyak kata-kata yang mengalir memenuhi
paru-paruku. Darinya pula—meski tetap membenci bau asap rokok yang membuat
kepalaku berputar—aku suka menghirup ujung rokok dengan aroma tembakau yang
manis dan menjadikanku seperti ingin menyesapnya kuat-kuat.
Aku juga selalu suka menemaninya menghitung
keping-keping logam dan meracik tembakau kering dengan bunga cengkeh cokelat
yang dicincang kemudian disatukan dalam lititan kertas sigaret putih panjang tipis
sepuluh senti.
Kakekku berpostur tinggi, kurus. Tulang-tulangnya
yang menonjol begitu memuaskan mataku. Sebuah jejak dari perjalanan hidup yang
hebat. Ia serupa beringin di pelataran balai desa kami. Kokoh dan disegani.
Kulit mulanya kuning langsat, mirip buah pir yang ranum dan menyegarkan. Tetapi
matahari membakarnya dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana rupa pir
panggang.
Jika nenekku yang sering menyanyikan lagu-lagu
Jepang—tetapi lebih suka dengan tembang Jawa—yang dipelajarinya dari penjajah
berhidung khas pribumi, hidung kakekku lebih seperti Kompeni. Begitu congkak
dan menyenangkan.
Aku tidak tahu bagaimana persisnya kisah hidup kakek
sebelum ia bertemu denganku. Apakah penuh darah dan airmata? Apakah dia
mengangkat senjata? Apakah kakekku meruncingkan bambu? Atau malah bersembunyi
di lubang yang gelap dengan genangan air yang bau. Aku tidak tahu.
Aku tidak tahu bagaimana hidup menempanya. Perjalanan
hidupnya yang kutahu dan kunobatkan sebagai kisah hidupnya yang penuh
perjuangan hanya sepenggal saja. Tentang ketika kakekku di usia yang masih
sangat muda, pergi bersama-sama dengan keluarganya ke tanah suci, melalui jalur
laut yang membuatnya terombang-ambing di kapal selama berbulan-bulan. Hanya itu
yang kuketahui. Itu pun tidak langsung dari mulutnya, tetapi melalui kisah
ummiku di suatu malam yang gulita. Dan hal lain yang kuketahui adalah jika
hatiku mengukir sosoknya sebagai pahlawan sejati.
Selama bertemu dengannya, kakek lebih suka membuatku
merasa bahagia. Seperti saat di malam buta, bersamanya aku menahan kantuk demi
melihat burung hantu yang biasa bertengger di pohon mangga atau pohon petai
tinggi di depan rumahnya, juga dengan tebu yang dikupaskannya untukku,
misalnya. Atau, saat aku diboncengnya dengan sepeda onta meski pantatku terasa
sangat sakit saat kerikil mencacah roda yang berputar, dan kakiku pernah masuk jeruji
dan membuatnya berdarah meski telah dibalut sepatu karet.
Kakekku bukan model orang bersetelan jas atau
berbaju safari. Saat di rumah, ia suka menggunakan kaos tipis putih dipadu
celana kolor atau sarung. Aku suka dengan hal itu. Aku bisa mendekapnya lama,
hingga tubuhku seakan menempel langsung dengan kulitnya. Mengendus keringatnya
kuat-kuat membuat dadaku seperti disesaki ribuan bunga. Dan kakek akan tertawa.
Dengan tawa yang begitu khas.
Kakek mengenakan jas ketika akan pergi ke masjid
pada hari Jum’at. Ia memadukan jas hijau lumutnya dengan sorban hijau daun tua
yang dililitkan pada kepala. Aku curiga kakekku menumpahkan satu botol parfum
tiap kali ia akan ke masjid di hari Jum’at. Aku tidak suka bau parfum yang
menyengat. Itu bisa membuat kepalaku berputar. Tapi, lagi-lagi, padanya, aku
suka bau menyengat. Bau misknya, bau menyengat kakekku.
Kakekku memang istimewa. Ia menyukai bola sepak dan
sepertinya aku merasa mewarisi gen ini darinya. Di masa SMA, aku begitu
menggemari sebuah kesebelasan. Rasanya mendebarkan ketika dengan mata terpejam dan
menggigit bibir bawah kuat-kuat, aku berharap dengan syahdu pada menit-menit
tendangan bebas, juga pinalti—atau sesuatu seperti itu. Aku juga sangat
menikmati saat bola masuk ke gawang dan bersorak riuh hingga membuat pangkal
hidung Abi membentuk tiga ukiran memanjang vertikal.
Bagaimana bisa anak perempuannya menyukai bola?
Sedangkan ia sama sekali tidak pernah sudi melirik kumpulan lelaki berkeringat
yang bermenit-menit lamanya memperebutkan sebuah bola bundar yang menggelinding
tidak jelas—begitu konyol, komentar Abi suatu ketika—di lapangan hijau dan
lebih memilih mengikuti siaran langsung tinju.
Jika dulu, aku dengan komitmen menjunjung loyalitas tinggi
mengidolakan sebuah kesebelasan berlambang singa, sepertinya tidak begitu
dengan kakekku. Kadang di malam buta, ia hanya akan terus bersorak jika ada
bola yang masuk gawang—bola dari tim mana pun—dengan emosi kegembiraan yang
memuncak. Kadang, rasa-rasanya aku ingin hidup dengan perasaan sesederhana itu.
Selain bola, kakekku—seperti wajarnya orang-orang
tua—juga suka menonton siaran wayang. Demi bakti sebagai cucu yang baik, aku
hanya berada di sampingnya dan menguap lebar. Kakekku rupanya sangat peka. Ia
mengambil nasi yang menggunung di piring, meletakkan potongan telur dadar,
menaburkan ikan asin berukuran kecil—terkadang remahan tepung ikan asin yang
gagal saat fase penggorengan—lalu menyiramnya dengan kecap hitam kental berpola
pada nasi putih dan memberikannya padaku—persis seperti apa yang dilakukannya
terhadap kucing-kucing liar yang kemudian diangkatnya menjadi anggota keluarga
dan diberi nama.
Saat ia menikmati wayang, kakekku juga ingin agar
aku menikmati hidup. Aku suka sensasi asin dari ikan kering yang membuat mata
kecilku menyipit. Tetapi aku tidak suka kecap. Menurutku, rasa manis kecap
tidak cocok dikombinasikan dengan karbohidrat dari nasi yang rasanya sudah
manis. Meski begitu, aku suka dengan caranya membuatku merasa istimewa. Aku
tidak pernah bertanya padanya kenapa ia menyukai wayang. Maka dewasa ini, aku
mempelajari apa yang telah dilakukan wayang-wayang kerempeng itu hingga bisa
begitu menyihirnya.
Tidak terlalu banyak yang kuingat tentang kakek. Aku
hanya diberi kesempatan yang sangat singkat bertemu dengannya. Jika tahu akan
begitu, aku pasti akan lebih lama mengendus keringatnya yang bersih, menghirup
tembakau manis dan melihatnya membuat rokok linting tanpa busa sebagai filter,
menemaninya menonton wayang, bahkan aku akan rela jika ia menyiram kecap
lengket itu pada piring nasiku hingga membuat seluruh permukaannya menghitam.
Kakekku adalah
tipe lelaki penyayang. Kami tidak tinggal seatap, tetapi aku lebih suka pergi
dari rumah dan tidur di kamarnya, bersamanya. Ia menyayangi semuanya. Semua,
termasuk kucing-kucing liar yang salah satunya dipanggilnya dengan ‘Manis’—hal
yang tidak pernah dilakukannya padaku meski aku selalu mengira memiliki wajah
yang lebih manis daripada kucing hitam-putih itu—atau monyet bernama Jambul yang
ketika aku mengunjungi kakek suatu hari dengan mengayuh sepeda, ia langsung
menyambutku dengan gigitan yang sakit sekali di pergelangan kakiku—hanya karena
aku mendekati kakekku—hingga berujung pada tangisan keras dan sepedaku yang
lalu kulemparkan begitu saja karena aku terlalu terkejut dan kesakitan, lalu
menghambur pada pelukan kakek dan mendekapnya kuat-kuat, berniat membuat iri Jambul.
Seandainya saat itu aku tidak menangis, aku yakin akan meleletkan lidah pada
monyet itu.
Jambul tidak terima kakekku lebih memperhatikanku
daripadanya. Dan aku masih terlalu kecil untuk mengerti jika monyet juga punya
perasaan cemburu. Sejak saat itu, aku menabuh genderang perang pada Jambul dan
berdoa agar aku tidak terkena rabies karena membencinya sepenuh hati. Hei, tapi, bukankah ini keren? Maksudku, jarang kan, aku bisa membuat seekor monyet tersulut cemburu?
Tentang rasa kasihnya, aku ingat apa yang kakek
lakukan pada kakak sepupu seusiaku dari luar kota yang saat lebaran berkunjung
ke rumahnya. Kakakku mengeluhkan gatal di tubuhnya. Dan betapa aku ingat, aku
melihat kakek memandikan sepupuku dan menggosok badannya sungguh-sungguh serius
dengan harapan agar kalau bisa, gatal-gatal itu pindah saja ke tubuhnya.
Setelahnya, ia menyuruh paman mengantar kami bersama-sama ke laut. Dengan
harapan yang sama. Semoga air asin itu bisa menjadi penawar dan menghilangkan
gatal-gatal di kulit kakakku. Betapa aku tidak akan pernah melupakan kejadian
itu.
Di malam raya, saat takbir bertalu, aku mengayuh
sepeda menuju rumahnya. Kakek menyambutku dan aku memberikan tebakan. Apa warna
baju baruku? Apakah berhias renda? Atau pita? Berapa setelan baju yang kudapat
tahun ini? Begitu menyenangkan, saat ia menyemangatiku untuk kembali berpuasa
penuh Ramadhan yang akan datang.
Pada pagi raya, suara khasnya menguar di udara. Pada
telinga-telinga manusia yang berbondong-bondong ke lapangan untuk sholat ied.
Siapa yang tidak mengenal sosoknya? Kakek ramah pada semua orang. Ia tidak
pernah meninggalkan jamaah. Ia menjadi imam tarawih di masjid selama tiga puluh
hari penuh untuk orang-orang yang ingin menjalankan tarawih pada sepertiga
malam—hal yang membuatku tidak mendapatkannya di sisiku ketika aku bangun di
pagi hari.
Dan saat-saat waktu bergulir kembali pada ambang
Ramadhan, perasaan rindu membuatku tersengat. Aku gadis yang tidak pandai
mengolah perasaan. Dan rindu kepadanya membuatku seperti orang linglung. Apa
yang akan kulakukan? Menyadari bahwa aku merasa doa yang kulangitkan untuknya
saja tidak akan cukup untuk mengobati rindu yang menyepuh hatiku ini, aku
merasa bahwa aku adalah pribadi yang begitu menyedihkan dan menjadi tidak
pantas telah diberi kesempatan bertemu dengannya.
Sayup-sayup Ramadhan mulai bergaung, aroma
semerbaknya mulai tercium. Aku berharap bisa lagi mendengar suara takbirnya,
tilawahnya, renyah tawa dan senyum yang begitu melegakanku. Dan di antara
timbunan harap itu, rindu ini semakin mengakar. Kokoh, menancap hingga acapkali
membuat ngilu. Ya Allah, aku merindunya.
Rindu yang terus tumbuh, gelisah yang menyapa, letih
yang mendera, inikah tanda aku belum mengikhlaskan kepergiannya? Perasaan ini
sungguh-sungguh membuatku gugup.
I miss you,
Mbah Zaenal.
0 komentar