Tersaruk-saruk, aku berjalan menuju
jendela. Kusingkap sedikit tirai. Tidak salah lagi, ia gadis yang terlihat
seperti rusa bertanduk di mataku saat mengenakan pakaian adat Minangkabau di
hari pernikahan.
Namanya Nur, dengan ejaan lama. Hanya
karena anagram dari namaku, dan hitung-hitungan primbon konyol ibunya yang adalah
teman Amak, secara mengejutkan aku sudah berstatus menjadi suaminya.
“Jangan panggil aku Mas! Panggil namaku,
Reno,” kataku galak. “Bukankah yang terpenting, kau tidak memanggilku dengan
nama orang lain?” aku menyudahi perbincangan dengan gadis Jawa itu.
Noer memaksakan diri memasakkanku
balado ikan pedas, makanan favoritku. Tapi rasanya malah seperti gudeg manis
Yogyakarta. Padahal dia gadis yang pintar. Terbukti meski aku tidak menunjukkan
toko bahan pangan, ia bisa kembali dengan sekantung plastik penuh belanjaan. Harapanku
agar ia tersesat di Padang rupanya tidak berpihak padaku.
Siapalah yang terima dengan
perjodohan? Meski Noer gadis manis—mengatakannya membuat perutku seperti
dipenuhi es batu—kurasa ia juga tidak setuju dengan ide ini karena belum pernah
sekali pun membuka jilbab lebarnya di depanku.
Noer hampir mencapai pintu.
Astaga, apa yang harus kulakukan? Berpura-pura
membaca buku demi menghindari perbincangan dengannya lagi? Oh, aku sungguh
benci buku!
BAM!
“Aw!” aku mengaduh, sebuah buku
tipis mendarat di kepalaku.
“Kapan skripsi lo selesai kalo
molor mulu?!”
--------------------
200 kata!
Yokatta ne, hutang lunas, KIM! :D
0 komentar