Purnama 17 Tahun yang Lalu

By Zulfa Rahmatina - 10:33 PM


            Ini kisah tentang ritual yang kami lakukan tiap kali purnama tiba. Purnama, 17 tahun yang lalu. Umurku baru mencapai bilangan kedua saat aku menahan kantuk dalam peluknya.
Purnama 17 tahun yang lalu.
Entah sudah berapa kali aku menguap. Tapi, getaran yang kudengar sebab kepalaku yang bersandar di dadanya, membuatku berjuang untuk tetap terjaga. Debar itu, bukan debar biasa.
Purnama 17 tahun yang lalu.
“Lihat, kau lihat?”
Aku menggeleng. Aku benar-benar tidak melihat apapun. Meski pendar purnama begitu terang melingkupi rumah khas Jawa yang sedang kami singgahi terasnya.
Dia tersenyum. “Sebentar lagi, kau akan menyadari hadirnya.” Telunjuknya tidak lagi terarah seperti ketika pertama kali dia berbicara. Ia sudah berpindah mendekap tubuhku yang—semoga saja—ringan.
Purnama 17 tahun yang lalu.
Ia mengarahkan tubuhku menghadap ke pohon mangga yang rimbun. Sejenak, sesekali bergeser ke arah dahan pohon petai yang tumbuh tepat di samping jalan setapak desa yang sudah sepi. Jaraknya sekitar empat meter dari tempat kami berdiri.
Aku melebarkan mata dan telinga. Menatap keadaan sekitar dengan awas. Satu, dua…
Ah, akhirnya, aku mendengar juga suara itu. Kami berpandangan, tersenyum. Cengiranku, tentu saja lebih lebar dari hanya seulas garis pada bibirnya.
          Tidak ada yang lebih indah daripada menikmati sinar purnama dengan iringan kicau burung hantu yang rutin mampir setiap malam di depan rumahnya, bersama si pemilik senyum purnama. Senyum yang tidak pernah membuatku jemu untuk menatapnya, lama-lama.
`           Masih tentang purnama yang kulewatkan bersamanya. Kami tidak lagi menunggu suara burung hantu. Tapi tiap kali purnama, dengan semangat, kukayuh sepeda yang sore tadi kugunakan untuk berangkat ke madrasah. Aku ingin menemui pemilik senyum purnama.
            Hanya dengan melihat senyumnya, aku sudah merasa sangat lega. Biasanya, dia menyambutku dengan ramah. Menuntunku ke meja makan yang dipenuhi lauk—yang entah kenapa—selalu membuat lidahku berdecap ingin segera melahapnya. Setelahnya, ia menyerahkan sebuah piring kaca yang telah diisinya dengan beberapa sendok nasi. Seringkali, butiran-butiran putih itu membentuk bukit kecil.
         Purnama masih kuhabiskan bersamanya saat aku mendesis kepedasan, atau mataku terpejam sebab ikan asin yang terlalu banyak kumasukkan dalam mulut kecilku. Aku duduk di sampingnya, di depan layar kaca. Menonton berita malam, atau tayangan wayang yang hingga kini, tak kupahami kenapa wayang-wayang itu begitu bisa memikatnya.
            Purnama beberapa tahun kemudian.
Seseorang asing menjemputku di asrama. Ah, tidak. Dia bukan orang asing. Aku masih ada hubungan kekerabatan dengannya. Tetapi, karena umur kami terpaut jauh, dan dia masih menyelesaikan pendidikannya di Kota Pelajar, kami jarang bertemu dan aku tidak begitu mengenalnya.
Ah, aku tidak ingin berbicara banyak tentang orang ini. Hanya saja, orang inilah yang menawarkanku akan sepotong episode hidup yang tidak akan pernah kulupakan, sampai kapan pun.
Persis di belakang kursi pengemudi, di samping jendela mobil yang hanya ada aku satu-satunya perempuan di sana, aku menatap purnama yang lamat-lamat terpantul dalam mataku sebab tertutup bulir air mata.
Purnama di malam itu, memisahkanku dengan sosok yang masih mengulas senyum yang sama. Matanya terpejam. Wajahnya masih meneduhkan. Hanya saja, saat menatapnya di purnama malam itu, aku merasa, ada yang serasa menguliti hatiku.
            Kini, di malam purnama.
           Aku gadis 19 tahun yang tidak akan pernah dengan mudahnya melupakan kenangan manis yang kami ukir. Malam Ramadhan ini, purnama kembali memamerkan kemolekannya. Biasanya, kami hanya diberi waktu tiga hari saja di tiap bulan untuk menikmati pesonannya. Itupun jika tidak ada awan mendung yang selalu membuatnya kalah.
         Malam purnama ini, masih seperti malam purnama beberapa tahun yang lalu. Aku berada di depan layar kaca, meski tidak bersamanya, dan tidak juga menyaksikan pertunjukan wayang. Di depanku, ah, maksudnya, dalam kotak kaca yang sedang kulihat itu, aku seperti kembali melihat sosoknya. Ia berbicara dengan Bahasa Arab. Sesekali dihelanya napas, saat ia menceritakan kebesaran Tuhan yang ditampakkan di tanah Gaza. Di sampingnya, ada seseorang berwajah pribumi yang menerjemahkan setiap katanya.
            Meski sosok yang mengenakan syal Indonesia-Palestina itu beda jauh rupa maupun Bahasa denganmu, aku menemukan aura yang sama denganmu. Pada wajahnya, kulihat cahaya wudhu.
        Purnama malam ini, aku tahu kau juga merasakannya meski alam kita sudah berbeda. Mungkinkah kau melihat purnama dari syurga?
                Pada purnama malam ini, kuukir berbait doa. Semoga kiranya, Ia sudi pertemukan kita, untuk kembali menikmati pendar purnama, di syurga. Meski hanya di selasarnya saja.
                Mbah Zaenal rahimahullah… semoga kepadamu, Allah limpahkan bertubi cinta.


            Yang merindumu,


            Zulfa Rahmatina

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar