Ini kisah tentang ritual yang kami lakukan tiap kali
purnama tiba. Purnama, 17 tahun yang lalu. Umurku baru mencapai bilangan kedua
saat aku menahan kantuk dalam peluknya.
Purnama
17 tahun yang lalu.
Entah
sudah berapa kali aku menguap. Tapi, getaran yang kudengar sebab kepalaku yang
bersandar di dadanya, membuatku berjuang untuk tetap terjaga. Debar itu, bukan
debar biasa.
Purnama
17 tahun yang lalu.
“Lihat,
kau lihat?”
Aku
menggeleng. Aku benar-benar tidak melihat apapun. Meski pendar purnama begitu terang
melingkupi rumah khas Jawa yang sedang kami singgahi terasnya.
Dia
tersenyum. “Sebentar lagi, kau akan menyadari hadirnya.” Telunjuknya tidak lagi
terarah seperti ketika pertama kali dia berbicara. Ia sudah berpindah mendekap
tubuhku yang—semoga saja—ringan.
Purnama
17 tahun yang lalu.
Ia
mengarahkan tubuhku menghadap ke pohon mangga yang rimbun. Sejenak, sesekali
bergeser ke arah dahan pohon petai yang tumbuh tepat di samping jalan setapak
desa yang sudah sepi. Jaraknya sekitar empat meter dari tempat kami berdiri.
Aku
melebarkan mata dan telinga. Menatap keadaan sekitar dengan awas. Satu, dua…
Ah, akhirnya, aku
mendengar juga suara itu. Kami berpandangan, tersenyum. Cengiranku, tentu saja
lebih lebar dari hanya seulas garis pada bibirnya.
Tidak ada yang lebih indah daripada menikmati sinar
purnama dengan iringan kicau burung hantu yang rutin mampir setiap malam di
depan rumahnya, bersama si pemilik senyum purnama. Senyum yang tidak pernah
membuatku jemu untuk menatapnya, lama-lama.
♥
` Masih tentang purnama yang kulewatkan bersamanya. Kami
tidak lagi menunggu suara burung hantu. Tapi tiap kali purnama, dengan
semangat, kukayuh sepeda yang sore tadi kugunakan untuk berangkat ke madrasah. Aku
ingin menemui pemilik senyum purnama.
Hanya dengan melihat senyumnya, aku sudah merasa sangat
lega. Biasanya, dia menyambutku dengan ramah. Menuntunku ke meja makan yang
dipenuhi lauk—yang entah kenapa—selalu membuat lidahku berdecap ingin segera
melahapnya. Setelahnya, ia menyerahkan sebuah piring kaca yang telah diisinya
dengan beberapa sendok nasi. Seringkali, butiran-butiran putih itu membentuk
bukit kecil.
Purnama masih kuhabiskan bersamanya saat aku mendesis
kepedasan, atau mataku terpejam sebab ikan asin yang terlalu banyak kumasukkan
dalam mulut kecilku. Aku duduk di sampingnya, di depan layar kaca. Menonton berita
malam, atau tayangan wayang yang hingga kini, tak kupahami kenapa wayang-wayang
itu begitu bisa memikatnya.
♥
Purnama beberapa tahun kemudian.
Seseorang
asing menjemputku di asrama. Ah, tidak. Dia bukan orang asing. Aku masih ada
hubungan kekerabatan dengannya. Tetapi, karena umur kami terpaut jauh, dan dia
masih menyelesaikan pendidikannya di Kota Pelajar, kami jarang bertemu dan aku
tidak begitu mengenalnya.
Ah,
aku tidak ingin berbicara banyak tentang orang ini. Hanya saja, orang inilah
yang menawarkanku akan sepotong episode hidup yang tidak akan pernah kulupakan,
sampai kapan pun.
Persis
di belakang kursi pengemudi, di samping jendela mobil yang hanya ada aku
satu-satunya perempuan di sana, aku menatap purnama yang lamat-lamat terpantul
dalam mataku sebab tertutup bulir air mata.
Purnama
di malam itu, memisahkanku dengan sosok yang masih mengulas senyum yang sama. Matanya
terpejam. Wajahnya masih meneduhkan. Hanya saja, saat menatapnya di purnama
malam itu, aku merasa, ada yang serasa menguliti hatiku.
♥
Kini, di malam purnama.
Aku gadis 19 tahun yang tidak akan pernah dengan mudahnya
melupakan kenangan manis yang kami ukir. Malam Ramadhan ini, purnama kembali
memamerkan kemolekannya. Biasanya, kami hanya diberi waktu tiga hari saja di
tiap bulan untuk menikmati pesonannya. Itupun jika tidak ada awan mendung
yang selalu membuatnya kalah.
Malam purnama ini, masih seperti malam purnama beberapa
tahun yang lalu. Aku berada di depan layar kaca, meski tidak bersamanya, dan
tidak juga menyaksikan pertunjukan wayang. Di depanku, ah, maksudnya, dalam
kotak kaca yang sedang kulihat itu, aku seperti kembali melihat sosoknya. Ia berbicara
dengan Bahasa Arab. Sesekali dihelanya napas, saat ia menceritakan kebesaran
Tuhan yang ditampakkan di tanah Gaza. Di sampingnya, ada seseorang berwajah
pribumi yang menerjemahkan setiap katanya.
Meski sosok yang mengenakan syal Indonesia-Palestina itu beda
jauh rupa maupun Bahasa denganmu, aku menemukan aura yang sama denganmu. Pada wajahnya,
kulihat cahaya wudhu.
Purnama malam ini, aku tahu kau juga merasakannya meski
alam kita sudah berbeda. Mungkinkah kau melihat purnama dari syurga?
Pada purnama malam ini, kuukir berbait doa. Semoga kiranya,
Ia sudi pertemukan kita, untuk kembali menikmati pendar purnama, di syurga. Meski
hanya di selasarnya saja.
Mbah Zaenal rahimahullah…
semoga kepadamu, Allah limpahkan bertubi cinta.
Yang merindumu,
Zulfa Rahmatina
0 komentar