Kendal, 10 Ramadhan.
Hujan membersamaiku saat aku
membantu ummi menyiapkan sahur, pagi tadi. Hari ini, entah kenapa, aku bangun
dengan perasaan kosong. Ah, perasaan ini, sebenarnya, sudah mulai kurasakan
beberapa hari ini. Ya, hari-hari yang membuatku kembali merindukannya…
♥
Aku tidak tahu kenapa sesak ini
muncul begitu saja tiap tiba-tiba, ingatan tentangnya terlintas. Senyum itu,
sentuh dan belainya, tilawahnya. Ah, Allah… aku benar-benar rindu. Bagaimana
aku mengatakannya? Bolehkah aku berteriak? Agar sesak ini, tak lagi berat
kurasa.
Ya Allah, aku merindunya…
Lelaki
itu… lelaki yang di pangkunya, aku merasa ketenangan yang luar biasa. Lelaki
yang bersamanya, aku selalu diliput rasa bangga. Lelaki yang selalu membuatku
merasa istimewa. Lelaki yang membuatku, menjadi seseorang yang paling bahagia.
Ya
Allah, aku merindunya…
Senyum
itu… senyum saat ia menggandeng tanganku. Senyum yang terulas saat ia, dengan
sabar, membersamai langkah mungilku. Senyum yang muncul, saat ada temannya yang
bertanya tentangku…
Ya
Allah, aku merindunya…
Merindu
jas dan surban hijau yang biasa dikenakannya. Merindu wangi misk yang menguar
saat aku sedang asyik bermain dan ia hendak menuju-Mu, sedang sapa tak lupa ia
ucapkan padaku. Juga merindu ia mengelus kepalaku, lalu membaca beberapa doa.
Ya
Allah, aku merindunya…
Merindu
kenangan bersamanya. Saat di rumah sakit, dan kita hanya bertiga--bersama kakak sepupu yang seusiaku. Ia mengangkat
sendiri selang infus, dengan berjalan tertatih menuju mushola kecil di sudut
koridor yang kami lewati dengan tatap dan senyum para dokter juga pengunjung.
Lalu dengan senyumnya, ia mengajakku shalat, satu shaf di belakangnya…
Ya
Allah, aku merindunya…
Saat
kami bersama menghitung keping-keping logam yang begitu banyak. Lalu dengannya,
aku dibelikannya gula-gula.
Ya
Allah, aku merindunya…
Merindu
sosoknya yang biasa kujumpa di masjid kami. Merindu ia menyapa dan membelai
kepalaku yang tertutup mukena, merindu suara khasnya yang biasa memanggil kami
untuk menghadap pada-Mu.
Ya
Allah, aku merindunya…
Merindu
kelingking kami yang bertaut, saat aku meminta penegasan akan janjinya. Atau
merindu di malam raya, saat abi tak sempat mengantarku, dan akhirnya kukayuh
sepeda di malam yang terang berkat takbir yang bertalu, untuk sekedar melihat
senyumnya, dan merasakan wangi keringatnya.
Ya
Allah, aku merindunya…
Merindu
ia yang sengaja datang ke rumahku, sekadar untuk membawakanku beberapa jajanan
pasar. Merindu saat ia membiarkanku bergelayut di pundaknya, saat ia sedang
berkumpul dengan teman-temannya. Merindu renyah tawanya ketika kuungkapkan
keinginanku, memiliki hidung yang sama seperti miliknya…
Ya
Allah, aku merindunya…
Saat
ia mengantarku ke sekolah dengan sepeda ontanya, lalu kakiku terluka karena
terkena jeruji, sebab aku begitu tak sabar untuk bercerita pada teman-temanku,
bahwa dialah yang mengantar.
Ya
Allah, aku merindunya…
Merindu
ia yang membiarkan kaosnya basah sebab tangisku pada bidang dadanya. Merindu
suaranya saat menenangkanku. Merindu canda yang biasa ia cipta jika berada di
tengah-tengah kami.
Ya
Allah, aku merindunya…
Merindu
kesederhanaan itu. Merindu hatinya yang tak meninggi saat orang-orang di
sekelilingnya, menaruh hormat padanya. Merindu ketulusannya mengabdi pada
Tuhannya.
Ya
Allah, aku merindunya…
Merindu
merdu suara takbirnya di tanah lapang, yang kami dengar bermeter-meter jauhnya,
kala di pagi raya.… Saat kami berbondong-bondong menuju ke arahnya, sembari
merapal lafadz yang sama.
Ya
Allah, aku merindunya…
Merindu
ia yang berbisik di tengah kantukku, untuk meminta ijin dan mengabarkanku agar
aku tidak mencarinya jika tiba-tiba aku terbangun, untuk mengimami shalat
tarawih di Al Ittiba’ pada sepertiga malam yang dingin.
Ya
Allah, aku merindunya…
Merindu
saat ia mengajakku makan dengan hanya ikan asin dan sedikit kecap. Merindu saat
aku cemburu ketika banyak kucing yang mendekatinya, dan ia sejenak melupakanku.
Ya
Allah, aku merindunya…
Merindu
ia yang dengan renyah tawanya, menenangkanku yang menangis keras, akibat
gigitan monyet betina di kakiku saat tiba-tiba, aku datang dan langsung menghambur
pada peluknya.
Ya
Allah, aku merindunya…
Waktu
bersamanya. Kenangan yang kami ukir. Safar bersamanya ke kebun binatang. Atau waktu
kami yang menanti bunyi burung hantu di malam buta.
Ya
Allah, aku merindunya…
Merindu
ia yang mengajakku berbicara terakhir kali, melalui sambungan telepon, sebab
jarak jauh yang memisahkan kita.
Ya
Allah… aku merindunya. Merindu kenangan singkat kami yang dipisahkan oleh
janji-Mu. Sebab yang bernyawa, pasti berbatas. Sebab tiada yang kekal,
selain-Mu. Tapi benarkah Engkau tega? Saat berbulan-bulan tak kudapati
senyumnya, dan tiba-tiba saja aku menjumpainya dengan teduh wajah yang sudah
terbujur tanpa nyawa.
Ya
Allah, malam itu aku menangis. Hingga berhari-hari setelahnya, aku masih saja
menangis. Hatiku terasa sangat kebas. Aku merasa ada sebagian diriku yang
hilang bersama hilangnya sosok tampan itu.
Tangisku
semakin menderas ketika ummi mengabarkan, bahwa sebelum kepergiannya, ia terus
menanyakan kabar kepulanganku.
Ya
Allah, kini aku merindunya, lagi… setelah tiap-tiap usai shalat, rindu itu semakin
menguat dan terus menguat.
Ya
Allah, aku merindunya. Merindu seorang hamba yang mencintaiku tanpa tuntutan.
Merindu hamba yang memberi kasih tanpa pamrih. Merindu hamba yang selalu
membuatku bersyukur sebab Engkau pernah memberiku kesempatan untuk merasakan
limpah cintanya.
Mbah Zaenal rahimahullah…
Semoga Allah menempatkanmu di tempat yang terbaik. Semoga Allah mempertemukan kita kelak di syurga. Allahu yarham, Aamiin... :')
(Ummi dan Mbah)
(Mbah dan Nabil)
0 komentar