Kepul asap
kopi itu tidak cukup mendinginkan hatinya yang seperti tersepuh butiran salju.
Dingin, hingga hampir-hampir ia tidak bisa merasakan apa pun. Ia bahkan tidak
bisa merasakan aroma kuat dari kopi yang biasa ia tangkap asapnya lalu
ditimbunnya dalam paru-paru. Napasnya berderak, berat.
Ia menatap
jarinya. Ada cincin yang masih melingkar menghiasi jari manisnya, cincin yang
berbeda. Tiba-tiba, rasanya ada belati yang seperti sedang menyayat hatinya. Ia
terluka. Tetapi lagi-lagi ia tidak yakin. Benarkah itu yang sedang
dirasakannya?
Matanya
terpejam. Ia berharap sinar perak senja yang menggenang di permukaan laut bisa
meredakan kegelisahannya. Ia mendesah, tak paham untuk kali yang ke berapa. Ini
sudah tiga tahun sejak salah satu dari kepingan episode hidupnya itu terjadi.
♥
Pantai ini
masih sama. Entah apakah volume air bertambah atau tidak—ia tidak terlalu
peduli. Setidaknya, tempat ini masih sama ketika di tahun ketujuh dalam
hidupnya, ia menjejakkan kakinya di pepasir putih ini pertama kali.
“Mau main
layangan?” tawar anak lelaki seusianya, tetapi terlihat cengeng—begitu kesan
pertamanya pada anak lelaki berkulit bersih dengan rambut yang terlihat sedikit
ikal—jika ia baru saja memangkas rambut—yang kemudian mengaku bernama Val.
Valian, tepatnya. Terdengar keren dan sedikit aneh untuk nama anak tahun 90-an
di daerah pesisir pantai selatan.
Val lalu
memainkan pasir dengan kakinya. Memburaikan butiran selimut bumi itu pelan.
“Entah kenapa aku suka melakukannya,” jelas Val tanpa diminta. “Pasir-pasir ini
selalu jujur. Mereka seolah mengajarkan kepada kita apa arti kehidupan. Betapa
semua yang ada itu, ternyata bukan apa-apa,” Val tertawa, seperti menyesali sesuatu. “Apakah kau pernah dengar jika manusia itu terbuat dari saripati
tanah?” ternyata, selain terlihat cengeng, Val juga cerewet—dan sok tahu. Val
tidak peduli meski pertanyaannya tidak mendapat jawaban, ia terus saja mengoceh
tentang fakta penciptaan dan hal lainnya. Melupakan tentang layang-layangnya
tadi. Hei, lagi pula, kenapa anak seusianya sudah membicarakan hal-hal yang
membosankan begitu? Apa dia terlalu banyak menonton drama?
“Kau harus
datang Sabtu malam,” kata Val lagi—setelah mengaku ia bisa terbang—tanpa
menjelaskan apa yang akan terjadi di Sabtu malam. “Harus,” padahal, tadi, ia
selalu menerangkan sesuatu dengan panjang lebar. Oh, Val bahkan tidak
menanyakan namanya. Apakah itu sebuah awal yang baik?
♥
“Aku akan membelikanmu yogurt rasa strawberry.
Aku pasti tidak akan melupakan janjiku untuk mentraktirmu yogurt selama satu
minggu jika tim sepak bola kesukaanku kalah. Tapi aku juga sedang mengumpulkan
uang untuk—”
“Itu bukan cara meminta maaf yang baik.”
“Kau tahu—“
“Kau tahu?
Kau hanya harus jujur kalau tidak punya uang! Kau bahkan tidak pernah
menyinggung hal itu kan? Apa kau ingat kau pernah membuat janji seperti itu?
Ini bukan hanya soal yogurt, tetapi kepercayaan, juga harga dirimu, kau tahu?!”
“Seorang
lelaki menepati janjinya,”
“Dan kau
bukan lelaki!”
Puh. Val mendesah. Peduli apa harga diri. Sementara memikirkan
apa arti dirinya di depan gadis yang sedang marah besar itu, pandangannya tak
lepas dari rambut panjang Rheina yang bergerak-gerak karena hentakan kakinya
yang keras. Hatinya tentu saja kesal. Val bukannya lupa, hanya saja ia memang
belum sempat membayar taruhan konyol yang dilakukan keduanya itu. Saat ini, ia
sedang sibuk mengurus majalah sekolahnya. Anggota klub yang lain sangat payah
dan tidak bisa diandalkan hingga kini Val yang adalah redaktur, terpaksa
merangkap menjadi wartawan, editor, dan sebagainya.
Biasanya
Rheina membantunya. Mereka melakukannya bersama-sama tanpa masalah yang
berarti. Melakukan hal yang kausukai, bekerja sesuai minatmu—terlebih
bersama-sama dengan orang yang mengerti dirimu—adalah suatu anugerah dan
kebahagiaan, bukan? Tapi apa yang bisa dilakukannya saat ini? Rheina marah
besar. Teman-temannya yang lain dengan tega meninggalkannya ke puncak
Mahameru—tentu saja untuk alasan bersenang-senang. Sedang yang tersisa hanyalah
Aldo yang kini sedang mengabadikan wajahnya yang marah dengan kamera
kesayangannya.
Val menimpuk
kepala Aldo dengan penghapus pensil di dekatnya. “Jangan ambil gambarku saat
aku sedang marah, bodoh!” sungut Val ketus. Ia meraih botol di meja dan
menenggaknya cepat-cepat. Belum sempurna air itu mengaliri tenggorokannya, Val
tertegun. Buru-buru melihat kemasan botol yang diraihnya. Yogurt strawberry?
Kapan dia membeli minuman itu? Tidak seperti Aldo yang penyakitan dan membuatnya
tidak bisa ikut mendaki bersama teman-teman. Bukankah selain deadline sudah di
depan mata, alasan ia tidak ikut trip kali itu karena ia sedang tidak memiliki
uang sama sekali? Sama sekali bahkan untuk sekaleng cola di vending machine!
Kenapa minuman kesukaannya bisa berada di meja? Val semakin pusing.
♥
Menggandeng
tangan ayah, dengan gula-gula kapas besar di sebelah tangan yang lain, Sabtu
malam ia kembali ke pantai. Keriuhan tampak di sela-sela penerangan seadanya
yang menyelusup dalam wajah-wajah bahagia itu. Anak-anak terlihat berlarian di
sisi pantai. Berteriak-teriak saat air laut menyentuh kaki-kaki kecil mereka
yang telanjang saat ombak mengantarkannya ke daratan.
Rembulan
bersinar terang malam itu. Langit sangat bersih hingga hampir-hampir gadis
dengan mulut penuh kapas merah muda yang langsung leleh di lidahnya itu bisa
melihat berbagai macam rasi bintang yang ditaburkan Tuhan pada langit malam.
“Apakah akan
ada festival kembang api malam ini?” gadis itu bertanya.
Ayahnya
menggeleng. Sebenarnya, lelaki yang masih terlihat muda itu pun tidak tahu apa
yang terjadi di pesisir pantai saat itu. Kepergiannya ke Ibukota bertahun-tahun
membuat desanya sudah mengalami banyak perubahan. Ia bahkan tidak lagi ingat
musim apa tepatnya sebagian tetangganya yang masih percaya dengan hal-hal takhayul
melarungkan kepala kerbau.
Jika di
Ibukota, di Sabtu malam seperti ini, ayah dan anak itu pergi ke sebuah
supermarket yang berada tak jauh dari kontrakan mereka. Sebagai ayah tunggal
dengan penghasilan bagi sarjana sepertinya yang tidak seberapa, hal itu harus
ditempuh karena biasanya banyak produk yang berbaik hati memberi diskon di
Sabtu malam. Dan ia tidak pernah lupa membelikan sang putri sesuatu yang amat
disukainya.
“Apakah kau mau
membeli yogurt strawberry?”
Mata gadis
itu mengerjap saat ayahnya menawarinya hal yang tidak akan pernah ia tolak.
Gula-gula kapasnya sudah habis lebih dari separuh. Ia masih menatap ayahnya
kemudian teringat sesuatu. “Apakah di sini ada?”
“Coba kita
lihat,” kata sang ayah, lalu mendukung putrinya berjalan lebih jauh lagi dan
membaur bersama kerumunan.
Di sisi yang
lain, sebuah panggung kecil didirikan. Tikar-tikar anyaman digelar. Kerumunan
di depan panggung sederhana itu sudah mulai ramai. Gadis kecil tadi seolah lupa
dengan yogurt strawberry-nya. Ia menarik ayahnya mendekat ke panggung
pertunjukan.
Dari jarak
empat meter, mata kecilnya melebar. Seorang anak laki-laki seusianya tampak
sedang berbicara dengan lancar. Sepertinya ia sedang berkisah. Gadis tadi
membuang pandangan ke kerumunan. Orang-orang di sana menyimak antusias anak
laki-laki yang wajahnya disiram sinar lampu warna-warni yang dililitkan pada
pohon-pohon kelapa. Apa yang sedang dilakukan orang-orang? Bukankah itu anak
lelaki yang berbicara penuh bualan tempo hari?
♥
“Apa yang
tidak kutahu? Apa yang tidak kumengerti? Apa yang tidak bisa kuselesaikan? Aku
membaca banyak buku. Aku mengerti banyak hal. Aku bisa belajar dengan cepat,”
“Sombong
sekali,” Rheina mendesis. Menatap teman-temannya yang lain. Aldo, Tama, Citra,
Fheya. “Kenapa kalian diam saja? Lihat, sombongnya seperti Firaun!” Rheina
tidak tahan lagi. Kesabarannya sudah di ambang batas. Val, selalu bersikap
angkuh seperti itu. Padahal untuk merencanakan usaha bersama—seperti perintisan
penerbitan yang sedang mereka gagas—menerima usulan dan bermusyawarah adalah
hal terbaik. Tetapi Val seolah tidak mempedulikan itu semua dan selalu
melakukan hal sesukanya.
“Nyatanya
selama ini, bergantung padanya tidak membuat masalah yang berarti,” kata-kata
Tama membuat Val semakin di atas awan. Teman-teman yang lain mendukung.
Kekesalan
Rheina bertambah-tambah. Ia berkacak pinggang. Melirik Val yang malah tersenyum
penuh kemenangan. Mengatur emosinya, Rheina menghela napas.
“Kalau kalian
bertengkar terus, kapan kita akan segera memulai?” Citra menengahi.
“Lagi pula
kalian kan sudah bersahabat sejak kecil, aku pusing melihat kalian terus
seperti Tom dan Jerry begitu,” Aldo tidak mau ketinggalan ambil bagian. Mengingatkan
fakta tidak penting yang tidak ingin diingat-ingat Rheina. Rasanya seperti
kutukan bisa bersahabat dengan Val. Tapi, bukankah memang sejak dulu Val
begitu? Maksudnya, daripada yang lain, Rheina bahkan mengenal Val lebih lama.
Sebagai sahabat
sejak kecil, Rheina memang seharusnya memahami Val lebih dari yang lain. Tetapi
sebagai pribadi dewasa, Val seharusnya sadar jika ia harus lebih
mempertimbangkan apa yang akan diperbuatnya. Termasuk membuang sikap
kekanakannya yang selalu mengedepankan ego itu.
“Ayolah Ren,
nanti kubelikan yogurt strawberry. Aku janji,”
Rhein memutar
bola mata demi mendengar Val mengatakan hal itu. Apa katanya tadi? Seenaknya!
Memangnya dia anak kecil yang bisa disogok dengan begitu mudahnya?
♥
Yogurt
strawberry yang tidak jadi dicarinya semalam saat ini sedang disesap oleh anak
laki-laki di sampingnya melalui sedotan transparan. “Aku tidak
membual jika aku bisa terbang,” lagi-lagi, anak laki-laki itu lebih dulu
berbicara. Ia mengulurkan benang panjang yang tersambung dengan layangan putih
polos yang dibawanya. Tak lama, ia menarik lagi benang itu dalam gulungan.
Terlihat berpikir sebentar, anak laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari saku
celananya. Spidol.
“Spidol? Kau
membawa itu saat bermain?” tanyanya heran. Kali pertama akhirnya ia membuka
suara, Val mengamatinya sekilas, lalu tersenyum. Ia berlari kecil ke tempat
sampah terdekat dan membuang kotak yogurtnya yang sudah tandas. Gadis kecil
yang melihat ia melakukan itu semua hanya meneguk ludah.
Val mulai
mencoret-coret sesuatu. Ia seperti membuat gambar wajah—meski hasilnya adalah
wajah mencong dan tidak simetris. Melihat dari rambut cepak sedikit ikal yang
digambar, dengan penegasan nama di bawahnya—Val—sudah dipastikan siapa sosok
yang ada di gambar itu. Val lalu
mendekatinya. “Kau?” tanyanya dengan sebelah alis terangkat.
“Rheina,”
jawabnya pendek.
“Oh, Ren. Aku
melihatmu Sabtu malam. Ternyata kau mendengarkan ucapanku,” kata Val terlihat
senang.
“Namaku
Rheina,” ulangnya. Tetapi sepertinya Val tidak mempedulikannya.
“Ren, bisakah
kau membantuku memegang layangan ini?” Val segera memberikan layangan itu pada Rheina, yang disambut gadis itu dengan malas.
“Rheina,
namaku Rheina,” ia mendesis lagi, lebih pelan.
Val sudah
berlari, mengulur benang tadi lebih panjang. “Tolong angkat tinggi-tinggi, ya.
Di atas kepalamu!” Val berteriak dari jauh. “Ren?!”
Oh, ya
sudahlah.
♥
Ayah Rheina
berbaik hati mengundang teman-temannya memanggang sate sapi bersama-sama di
halaman belakang rumah. Yang paling terlihat girang, tentu saja Val. Dia itu
pelahap segalanya. Selalu tidak mau tahu kemampuan lambungnya sendiri meski tidak
satu dua kali perutnya sakit karena kebanyakan makan.
“Ren, kenapa
kau malah bengong di situ? Bantu sahabatmu ini menyalakan arang!”
Rheina
mendesis. Siapa yang sedang bengong? Jelas-jelas ia sedang mengupas bawang
hingga matanya berair. Val sungguh tidak punya perasaan. Tidak seperti yang
diumbarnya tadi, yang menyalakan arang justru ayahnya. Val di samping ayahnya
hanya meminta Aldo mengabadikan wajah menyebalkannya itu.
Rheina
membawa mangkuk berisi bawang dan menyerahkannya pada ayahnya. Setelah bawang,
ada banyak lagi yang harus dikupasnya. Rheina juga harus menyiapkan nanas,
tomat, dan membuat es buah. Dengan membawa keranjang penuh buah-buahan, Rheina
melewati Val tanpa berbicara.
Rheina
merasakan pinggangnya basah. Sesuatu yang berair pasti menembus kaos yang
sedang dikenakannya itu. Rheina menoleh, lalu terbelalak mendapati kaosnya
kotor karena tomat yang pecah dan cengiran bodoh dari Val.
“Kau
menjatuhkannya. Untung saja busuk,” kata Val ringan, lalu kembali berbincang
dan tertawa-tawa bersama Tama dan yang lain.
Tidak bisa
dibiarkan. Rheina mengambil sebuah tomat dan segera menimpuk kepala Val.
Rasakan!
Setelah
pertarungan sengit tadi, keduanya masih bersitegang. Masing-masing memegang
tusuk sate dan melumat daging sapi seperti orang kesetanan. Masalah kembali
muncul saat Citra yang ditugasi membeli cola datang hanya dengan satu yogurt
strawberry. Hari itu sepertinya banyak sekali masalah datang.
Meski situasi
panas—di antara Val dan Rheina tentunya—teman-temannya tidak memusingkan hal
itu dan menikmati sate dengan tenang. Seperti mendapat hiburan, mereka malah
melihat Val dan Rheina yang bertengkar tanpa berniat sedikit pun untuk melerai.
“Kalian
mempunyai banyak kesamaan,” ayah Rheina berkata sambil tertawa.
Val mencibir.
Merasa dirinya lebih dari apa pun yang dimiliki Rheina.
“Aku tidak
masalah kalian bersahabat. Tetapi jika kalian sampai menikah, kalian akan
dihukum.”
“Menikah?”
Rheina bergidik. Jijik ingin muntah. Maksudnya menikah dengan Val? Itu sangat
tidak mungkin! Meski telah bersama-sama sejak kecil, menaruh hati pada Val pun tidak.
Tidak ada hal yang menarik dari pemuda itu meski Val adalah orang pertama yang
menghiburnya dan membelikannya pembalut ketika ia kesakitan—hingga merasa
seperti sedang sekarat—saat kali pertama mendapatkan menstruasi.
Melihat
ekspresi Rheina, Val jelas saja tersinggung. “Jangan salahkan aku kalau suatu
saat kau jatuh cinta padaku, Ren!” ancam Val yang disambut sorakan mendukung
dari semua teman-temannya.
Mendengar
itu, Rheina kehilangan nafsu makan. Perutnya benar-benar mual.
♥
“Rasanya
tidak menyangka sekali jika setiap perkataan yang kuucapkan akan terjadi.
Untung aku tidak pernah berkata agar kau jadi bebek,”
Rheina
melotot, membuat Val tertawa renyah. Siapa yang menyangka jika keduanya benar-benar akan menyatu? Kisah
percintaan antara sahabat masa kecil, betapa hal itu sudah sangat sering
terdengar.
“Apa kau
ingin melihatku terbang lagi?” kata Val, mencoba meredakan gugup. Sebentar lagi,
status keduanya akan berubah.
Rheina yang
terlihat anggun dengan gaun putihnya itu memanyunkan bibir. “Apanya yang
terbang? Itu hanya layang-layang yang digambar wajah penyokmu.”
Val tidak
menjawab. Kepalanya menengadah, menatap langit. Rheina yang melihatnya
melakukan hal yang serupa. Membekap mulut, dua layang-layang bergambar wajahnya
dan Val seolah berlomba menggapai mega.
Aldo dan Tama
yang menerbangkan layangan itu melambai sebentar, lalu kembali mendongak. Citra
mengabadikan wajah-wajah mereka. Kebahagiaan terpancar dari semua wajah.
“Apakah tidak
apa-apa, Ren?”
“Hm?”
“Ayahmu—“ Val
menghentikan kalimatnya. Enam bulan yang lalu ayah Rheina pergi. Sebelumnya, ia
masih sempat-sempatnya melarang Rheina menikah dengan Val jika ia tidak berada
di sisi Rheina. Tidak apa-apa untuk bersahabat dengan siapa pun, katanya.
“Apakah dia tidak akan menghukum kita?”
♥
Tidak meliuk,
lalu menukik. Layang-layang dengan benang putus itu terbang ke atas. Ringan
sekali memecah awan. Ia seperti mengantarkan sebuah beban pada langit,
menyatukannya dengan uap-uap air, lalu mengikhlaskannya lebur dan kembali ke
bumi dalam bentuk yang berbeda.
Kopinya sudah
tidak panas. Senja sudah lama terbenam sebelum layang-layang putus yang
dilihatnya tadi tersembunyi di antara arakan awan.
Ia berjalan
di pesisir, memainkan pasir dengan kakinya. Apakah
kau pernah mendengar, manusia itu terbuat dari saripati tanah?
Lagi,
napasnya berderak berat. Tapi apa yang lebih indah dari menaati yang telah
digariskan? Meski perih di awal, meski bergumpal tanya saling tindih
berdesakan. Kita hanya harus terus berada di titik ketaatan. Sering kali, hanya
karena manusia sangat terlambat menangkap hikmah di balik suatu kejadian, ia
melupakan Tuhan. Menganggap semuanya begitu tidak adil. Manusia memang tidak
pernah benar-benar mengerti…
♥
“Pernikahan
ini harus segera dibatalkan!” Fheya yang ditugaskan menjemput penghulu, malah
datang dengan seseorang yang membuat pernyataan mengejutkan itu.
Val mencoba
bersabar. Mendekati ibu-ibu paruh baya yang jujur membuatnya sedikit kesal.
“Ada yang bisa saya bantu, Ibu?” Val menoleh pada Rheina yang sudah berada di
sampingnya “Apakah kau mengenalnya, Ren?”
“Pernikahan
ini harus dibatalkan,” ulang ibu tadi, serentak dengan gelengan kepala Rheina.
“Tapi kenapa, Ibu?” meski heran dan
perasaannya meletup, Rheina ikut mencoba berkata dengan lembut.
“Karena—”
*TBC*
Foto: Layang-layang (Ayo main layangan! Haha)
Coba kita
lihat, apakah ada yang menikmati kisah ini? Saat menulis ini, aku tidak memakai
kacamata dan itu membuat mataku sakit. Entah bagaimana bisa, kacamataku sedang
berada di Solo sementara aku di sini. I really miss you, Megane-kun!
Gomen,
abaikan curcol tadi. Tanya lagi, apakah ada yang menikmati kisah Rheina dan
Val? Jika iya, oh, maaf sekali harus di-TBC. :p
Apakah TBC
ini akan benar-benar be continued? Semoga. :D
This is
weekender, right? Oh, I miss you weekender, dakara matterutte ittenda ♥
0 komentar