Layang-layang

By Zulfa Rahmatina - 8:11 AM

Kepul asap kopi itu tidak cukup mendinginkan hatinya yang seperti tersepuh butiran salju. Dingin, hingga hampir-hampir ia tidak bisa merasakan apa pun. Ia bahkan tidak bisa merasakan aroma kuat dari kopi yang biasa ia tangkap asapnya lalu ditimbunnya dalam paru-paru. Napasnya berderak, berat.

Ia menatap jarinya. Ada cincin yang masih melingkar menghiasi jari manisnya, cincin yang berbeda. Tiba-tiba, rasanya ada belati yang seperti sedang menyayat hatinya. Ia terluka. Tetapi lagi-lagi ia tidak yakin. Benarkah itu yang sedang dirasakannya?

Matanya terpejam. Ia berharap sinar perak senja yang menggenang di permukaan laut bisa meredakan kegelisahannya. Ia mendesah, tak paham untuk kali yang ke berapa. Ini sudah tiga tahun sejak salah satu dari kepingan episode hidupnya itu terjadi.


Pantai ini masih sama. Entah apakah volume air bertambah atau tidak—ia tidak terlalu peduli. Setidaknya, tempat ini masih sama ketika di tahun ketujuh dalam hidupnya, ia menjejakkan kakinya di pepasir putih ini pertama kali.           

“Mau main layangan?” tawar anak lelaki seusianya, tetapi terlihat cengeng—begitu kesan pertamanya pada anak lelaki berkulit bersih dengan rambut yang terlihat sedikit ikal—jika ia baru saja memangkas rambut—yang kemudian mengaku bernama Val. Valian, tepatnya. Terdengar keren dan sedikit aneh untuk nama anak tahun 90-an di daerah pesisir pantai selatan.           

Val lalu memainkan pasir dengan kakinya. Memburaikan butiran selimut bumi itu pelan. “Entah kenapa aku suka melakukannya,” jelas Val tanpa diminta. “Pasir-pasir ini selalu jujur. Mereka seolah mengajarkan kepada kita apa arti kehidupan. Betapa semua yang ada itu, ternyata bukan apa-apa,” Val tertawa, seperti menyesali sesuatu. “Apakah kau pernah dengar jika manusia itu terbuat dari saripati tanah?” ternyata, selain terlihat cengeng, Val juga cerewet—dan sok tahu. Val tidak peduli meski pertanyaannya tidak mendapat jawaban, ia terus saja mengoceh tentang fakta penciptaan dan hal lainnya. Melupakan tentang layang-layangnya tadi. Hei, lagi pula, kenapa anak seusianya sudah membicarakan hal-hal yang membosankan begitu? Apa dia terlalu banyak menonton drama?           

“Kau harus datang Sabtu malam,” kata Val lagi—setelah mengaku ia bisa terbang—tanpa menjelaskan apa yang akan terjadi di Sabtu malam. “Harus,” padahal, tadi, ia selalu menerangkan sesuatu dengan panjang lebar. Oh, Val bahkan tidak menanyakan namanya. Apakah itu sebuah awal yang baik?

          

“Aku akan membelikanmu yogurt rasa strawberry. Aku pasti tidak akan melupakan janjiku untuk mentraktirmu yogurt selama satu minggu jika tim sepak bola kesukaanku kalah. Tapi aku juga sedang mengumpulkan uang untuk—”          

“Itu bukan cara meminta maaf yang baik.”           

“Kau tahu—“          

“Kau tahu? Kau hanya harus jujur kalau tidak punya uang! Kau bahkan tidak pernah menyinggung hal itu kan? Apa kau ingat kau pernah membuat janji seperti itu? Ini bukan hanya soal yogurt, tetapi kepercayaan, juga harga dirimu, kau tahu?!”           

“Seorang lelaki menepati janjinya,”           

“Dan kau bukan lelaki!”            

Puh. Val mendesah. Peduli apa harga diri. Sementara memikirkan apa arti dirinya di depan gadis yang sedang marah besar itu, pandangannya tak lepas dari rambut panjang Rheina yang bergerak-gerak karena hentakan kakinya yang keras. Hatinya tentu saja kesal. Val bukannya lupa, hanya saja ia memang belum sempat membayar taruhan konyol yang dilakukan keduanya itu. Saat ini, ia sedang sibuk mengurus majalah sekolahnya. Anggota klub yang lain sangat payah dan tidak bisa diandalkan hingga kini Val yang adalah redaktur, terpaksa merangkap menjadi wartawan, editor, dan sebagainya.           

Biasanya Rheina membantunya. Mereka melakukannya bersama-sama tanpa masalah yang berarti. Melakukan hal yang kausukai, bekerja sesuai minatmu—terlebih bersama-sama dengan orang yang mengerti dirimu—adalah suatu anugerah dan kebahagiaan, bukan? Tapi apa yang bisa dilakukannya saat ini? Rheina marah besar. Teman-temannya yang lain dengan tega meninggalkannya ke puncak Mahameru—tentu saja untuk alasan bersenang-senang. Sedang yang tersisa hanyalah Aldo yang kini sedang mengabadikan wajahnya yang marah dengan kamera kesayangannya.           

Val menimpuk kepala Aldo dengan penghapus pensil di dekatnya. “Jangan ambil gambarku saat aku sedang marah, bodoh!” sungut Val ketus. Ia meraih botol di meja dan menenggaknya cepat-cepat. Belum sempurna air itu mengaliri tenggorokannya, Val tertegun. Buru-buru melihat kemasan botol yang diraihnya. Yogurt strawberry? Kapan dia membeli minuman itu? Tidak seperti Aldo yang penyakitan dan membuatnya tidak bisa ikut mendaki bersama teman-teman. Bukankah selain deadline sudah di depan mata, alasan ia tidak ikut trip kali itu karena ia sedang tidak memiliki uang sama sekali? Sama sekali bahkan untuk sekaleng cola di vending machine! Kenapa minuman kesukaannya bisa berada di meja? Val semakin pusing.

           

Menggandeng tangan ayah, dengan gula-gula kapas besar di sebelah tangan yang lain, Sabtu malam ia kembali ke pantai. Keriuhan tampak di sela-sela penerangan seadanya yang menyelusup dalam wajah-wajah bahagia itu. Anak-anak terlihat berlarian di sisi pantai. Berteriak-teriak saat air laut menyentuh kaki-kaki kecil mereka yang telanjang saat ombak mengantarkannya ke daratan.           
Rembulan bersinar terang malam itu. Langit sangat bersih hingga hampir-hampir gadis dengan mulut penuh kapas merah muda yang langsung leleh di lidahnya itu bisa melihat berbagai macam rasi bintang yang ditaburkan Tuhan pada langit malam.          

“Apakah akan ada festival kembang api malam ini?” gadis itu bertanya.          
Ayahnya menggeleng. Sebenarnya, lelaki yang masih terlihat muda itu pun tidak tahu apa yang terjadi di pesisir pantai saat itu. Kepergiannya ke Ibukota bertahun-tahun membuat desanya sudah mengalami banyak perubahan. Ia bahkan tidak lagi ingat musim apa tepatnya sebagian tetangganya yang masih percaya dengan hal-hal takhayul melarungkan kepala kerbau.           

Jika di Ibukota, di Sabtu malam seperti ini, ayah dan anak itu pergi ke sebuah supermarket yang berada tak jauh dari kontrakan mereka. Sebagai ayah tunggal dengan penghasilan bagi sarjana sepertinya yang tidak seberapa, hal itu harus ditempuh karena biasanya banyak produk yang berbaik hati memberi diskon di Sabtu malam. Dan ia tidak pernah lupa membelikan sang putri sesuatu yang amat disukainya.          

“Apakah kau mau membeli yogurt strawberry?”           

Mata gadis itu mengerjap saat ayahnya menawarinya hal yang tidak akan pernah ia tolak. Gula-gula kapasnya sudah habis lebih dari separuh. Ia masih menatap ayahnya kemudian teringat sesuatu. “Apakah di sini ada?”           

“Coba kita lihat,” kata sang ayah, lalu mendukung putrinya berjalan lebih jauh lagi dan membaur bersama kerumunan.           

Di sisi yang lain, sebuah panggung kecil didirikan. Tikar-tikar anyaman digelar. Kerumunan di depan panggung sederhana itu sudah mulai ramai. Gadis kecil tadi seolah lupa dengan yogurt strawberry-nya. Ia menarik ayahnya mendekat ke panggung pertunjukan.           

Dari jarak empat meter, mata kecilnya melebar. Seorang anak laki-laki seusianya tampak sedang berbicara dengan lancar. Sepertinya ia sedang berkisah. Gadis tadi membuang pandangan ke kerumunan. Orang-orang di sana menyimak antusias anak laki-laki yang wajahnya disiram sinar lampu warna-warni yang dililitkan pada pohon-pohon kelapa. Apa yang sedang dilakukan orang-orang? Bukankah itu anak lelaki yang berbicara penuh bualan tempo hari?

       

“Apa yang tidak kutahu? Apa yang tidak kumengerti? Apa yang tidak bisa kuselesaikan? Aku membaca banyak buku. Aku mengerti banyak hal. Aku bisa belajar dengan cepat,”           

“Sombong sekali,” Rheina mendesis. Menatap teman-temannya yang lain. Aldo, Tama, Citra, Fheya. “Kenapa kalian diam saja? Lihat, sombongnya seperti Firaun!” Rheina tidak tahan lagi. Kesabarannya sudah di ambang batas. Val, selalu bersikap angkuh seperti itu. Padahal untuk merencanakan usaha bersama—seperti perintisan penerbitan yang sedang mereka gagas—menerima usulan dan bermusyawarah adalah hal terbaik. Tetapi Val seolah tidak mempedulikan itu semua dan selalu melakukan hal sesukanya.           

“Nyatanya selama ini, bergantung padanya tidak membuat masalah yang berarti,” kata-kata Tama membuat Val semakin di atas awan. Teman-teman yang lain mendukung.           

Kekesalan Rheina bertambah-tambah. Ia berkacak pinggang. Melirik Val yang malah tersenyum penuh kemenangan. Mengatur emosinya, Rheina menghela napas.           

“Kalau kalian bertengkar terus, kapan kita akan segera memulai?” Citra menengahi.           

“Lagi pula kalian kan sudah bersahabat sejak kecil, aku pusing melihat kalian terus seperti Tom dan Jerry begitu,” Aldo tidak mau ketinggalan ambil bagian. Mengingatkan fakta tidak penting yang tidak ingin diingat-ingat Rheina. Rasanya seperti kutukan bisa bersahabat dengan Val. Tapi, bukankah memang sejak dulu Val begitu? Maksudnya, daripada yang lain, Rheina bahkan mengenal Val lebih lama.           

Sebagai sahabat sejak kecil, Rheina memang seharusnya memahami Val lebih dari yang lain. Tetapi sebagai pribadi dewasa, Val seharusnya sadar jika ia harus lebih mempertimbangkan apa yang akan diperbuatnya. Termasuk membuang sikap kekanakannya yang selalu mengedepankan ego itu.           

“Ayolah Ren, nanti kubelikan yogurt strawberry. Aku janji,”           

Rhein memutar bola mata demi mendengar Val mengatakan hal itu. Apa katanya tadi? Seenaknya! Memangnya dia anak kecil yang bisa disogok dengan begitu mudahnya?

           

Yogurt strawberry yang tidak jadi dicarinya semalam saat ini sedang disesap oleh anak laki-laki di sampingnya melalui sedotan transparan. “Aku tidak membual jika aku bisa terbang,” lagi-lagi, anak laki-laki itu lebih dulu berbicara. Ia mengulurkan benang panjang yang tersambung dengan layangan putih polos yang dibawanya. Tak lama, ia menarik lagi benang itu dalam gulungan. Terlihat berpikir sebentar, anak laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Spidol.          

“Spidol? Kau membawa itu saat bermain?” tanyanya heran. Kali pertama akhirnya ia membuka suara, Val mengamatinya sekilas, lalu tersenyum. Ia berlari kecil ke tempat sampah terdekat dan membuang kotak yogurtnya yang sudah tandas. Gadis kecil yang melihat ia melakukan itu semua hanya meneguk ludah.           

Val mulai mencoret-coret sesuatu. Ia seperti membuat gambar wajah—meski hasilnya adalah wajah mencong dan tidak simetris. Melihat dari rambut cepak sedikit ikal yang digambar, dengan penegasan nama di bawahnya—Val—sudah dipastikan siapa sosok yang ada di gambar itu. Val lalu mendekatinya. “Kau?” tanyanya dengan sebelah alis terangkat.         

“Rheina,” jawabnya pendek.           

“Oh, Ren. Aku melihatmu Sabtu malam. Ternyata kau mendengarkan ucapanku,” kata Val terlihat senang.           

“Namaku Rheina,” ulangnya. Tetapi sepertinya Val tidak mempedulikannya.           

“Ren, bisakah kau membantuku memegang layangan ini?” Val segera memberikan layangan itu pada Rheina, yang disambut gadis itu dengan malas.           

“Rheina, namaku Rheina,” ia mendesis lagi, lebih pelan.

Val sudah berlari, mengulur benang tadi lebih panjang. “Tolong angkat tinggi-tinggi, ya. Di atas kepalamu!” Val berteriak dari jauh. “Ren?!”           

Oh, ya sudahlah.

           

Ayah Rheina berbaik hati mengundang teman-temannya memanggang sate sapi bersama-sama di halaman belakang rumah. Yang paling terlihat girang, tentu saja Val. Dia itu pelahap segalanya. Selalu tidak mau tahu kemampuan lambungnya sendiri meski tidak satu dua kali perutnya sakit karena kebanyakan makan.           

“Ren, kenapa kau malah bengong di situ? Bantu sahabatmu ini menyalakan arang!”           
Rheina mendesis. Siapa yang sedang bengong? Jelas-jelas ia sedang mengupas bawang hingga matanya berair. Val sungguh tidak punya perasaan. Tidak seperti yang diumbarnya tadi, yang menyalakan arang justru ayahnya. Val di samping ayahnya hanya meminta Aldo mengabadikan wajah menyebalkannya itu.           

Rheina membawa mangkuk berisi bawang dan menyerahkannya pada ayahnya. Setelah bawang, ada banyak lagi yang harus dikupasnya. Rheina juga harus menyiapkan nanas, tomat, dan membuat es buah. Dengan membawa keranjang penuh buah-buahan, Rheina melewati Val tanpa berbicara.           

Rheina merasakan pinggangnya basah. Sesuatu yang berair pasti menembus kaos yang sedang dikenakannya itu. Rheina menoleh, lalu terbelalak mendapati kaosnya kotor karena tomat yang pecah dan cengiran bodoh dari Val.           

“Kau menjatuhkannya. Untung saja busuk,” kata Val ringan, lalu kembali berbincang dan tertawa-tawa bersama Tama dan yang lain.           

Tidak bisa dibiarkan. Rheina mengambil sebuah tomat dan segera menimpuk kepala Val. Rasakan!           

Setelah pertarungan sengit tadi, keduanya masih bersitegang. Masing-masing memegang tusuk sate dan melumat daging sapi seperti orang kesetanan. Masalah kembali muncul saat Citra yang ditugasi membeli cola datang hanya dengan satu yogurt strawberry. Hari itu sepertinya banyak sekali masalah datang.           

Meski situasi panas—di antara Val dan Rheina tentunya—teman-temannya tidak memusingkan hal itu dan menikmati sate dengan tenang. Seperti mendapat hiburan, mereka malah melihat Val dan Rheina yang bertengkar tanpa berniat sedikit pun untuk melerai.           

“Kalian mempunyai banyak kesamaan,” ayah Rheina berkata sambil tertawa.           

Val mencibir. Merasa dirinya lebih dari apa pun yang dimiliki Rheina.           

“Aku tidak masalah kalian bersahabat. Tetapi jika kalian sampai menikah, kalian akan dihukum.”           

“Menikah?” Rheina bergidik. Jijik ingin muntah. Maksudnya menikah dengan Val? Itu sangat tidak mungkin! Meski telah bersama-sama sejak kecil, menaruh hati pada Val pun tidak. Tidak ada hal yang menarik dari pemuda itu meski Val adalah orang pertama yang menghiburnya dan membelikannya pembalut ketika ia kesakitan—hingga merasa seperti sedang sekarat—saat kali pertama mendapatkan menstruasi.           

Melihat ekspresi Rheina, Val jelas saja tersinggung. “Jangan salahkan aku kalau suatu saat kau jatuh cinta padaku, Ren!” ancam Val yang disambut sorakan mendukung dari semua teman-temannya.           

Mendengar itu, Rheina kehilangan nafsu makan. Perutnya benar-benar mual.

           

“Rasanya tidak menyangka sekali jika setiap perkataan yang kuucapkan akan terjadi. Untung aku tidak pernah berkata agar kau jadi bebek,”           

Rheina melotot, membuat Val tertawa renyah. Siapa yang menyangka jika keduanya benar-benar akan menyatu? Kisah percintaan antara sahabat masa kecil, betapa hal itu sudah sangat sering terdengar.           

“Apa kau ingin melihatku terbang lagi?” kata Val, mencoba meredakan gugup. Sebentar lagi, status keduanya akan berubah.           

Rheina yang terlihat anggun dengan gaun putihnya itu memanyunkan bibir. “Apanya yang terbang? Itu hanya layang-layang yang digambar wajah penyokmu.”           

Val tidak menjawab. Kepalanya menengadah, menatap langit. Rheina yang melihatnya melakukan hal yang serupa. Membekap mulut, dua layang-layang bergambar wajahnya dan Val seolah berlomba menggapai mega.          

Aldo dan Tama yang menerbangkan layangan itu melambai sebentar, lalu kembali mendongak. Citra mengabadikan wajah-wajah mereka. Kebahagiaan terpancar dari semua wajah.          

“Apakah tidak apa-apa, Ren?”          

“Hm?”           

“Ayahmu—“ Val menghentikan kalimatnya. Enam bulan yang lalu ayah Rheina pergi. Sebelumnya, ia masih sempat-sempatnya melarang Rheina menikah dengan Val jika ia tidak berada di sisi Rheina. Tidak apa-apa untuk bersahabat dengan siapa pun, katanya. “Apakah dia tidak akan menghukum kita?”


Tidak meliuk, lalu menukik. Layang-layang dengan benang putus itu terbang ke atas. Ringan sekali memecah awan. Ia seperti mengantarkan sebuah beban pada langit, menyatukannya dengan uap-uap air, lalu mengikhlaskannya lebur dan kembali ke bumi dalam bentuk yang berbeda.           
Kopinya sudah tidak panas. Senja sudah lama terbenam sebelum layang-layang putus yang dilihatnya tadi tersembunyi di antara arakan awan.           

Ia berjalan di pesisir, memainkan pasir dengan kakinya. Apakah kau pernah mendengar, manusia itu terbuat dari saripati tanah?           

Lagi, napasnya berderak berat. Tapi apa yang lebih indah dari menaati yang telah digariskan? Meski perih di awal, meski bergumpal tanya saling tindih berdesakan. Kita hanya harus terus berada di titik ketaatan. Sering kali, hanya karena manusia sangat terlambat menangkap hikmah di balik suatu kejadian, ia melupakan Tuhan. Menganggap semuanya begitu tidak adil. Manusia memang tidak pernah benar-benar mengerti…


“Pernikahan ini harus segera dibatalkan!” Fheya yang ditugaskan menjemput penghulu, malah datang dengan seseorang yang membuat pernyataan mengejutkan itu.          

Val mencoba bersabar. Mendekati ibu-ibu paruh baya yang jujur membuatnya sedikit kesal. “Ada yang bisa saya bantu, Ibu?” Val menoleh pada Rheina yang sudah berada di sampingnya “Apakah kau mengenalnya, Ren?”           

“Pernikahan ini harus dibatalkan,” ulang ibu tadi, serentak dengan gelengan kepala Rheina.       

“Tapi kenapa, Ibu?” meski heran dan perasaannya meletup, Rheina ikut mencoba berkata dengan lembut.           

“Karena—”

*TBC*

Foto: Layang-layang (Ayo main layangan! Haha)


Coba kita lihat, apakah ada yang menikmati kisah ini? Saat menulis ini, aku tidak memakai kacamata dan itu membuat mataku sakit. Entah bagaimana bisa, kacamataku sedang berada di Solo sementara aku di sini. I really miss you, Megane-kun!            

Gomen, abaikan curcol tadi. Tanya lagi, apakah ada yang menikmati kisah Rheina dan Val? Jika iya, oh, maaf sekali harus di-TBC. :p           

Apakah TBC ini akan benar-benar be continued? Semoga. :D
This is weekender, right? Oh, I miss you weekender, dakara matterutte ittenda ♥ 

   

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar