Pengantin

By Zulfa Rahmatina - 12:13 PM

“Reno, apa kau baik? Aku sehat,” pertemuan kami sekarang tidak ditemani secangkir latte panas, tiramisu dan pemandangan Ampera yang ditimpa cahaya keperakan. Tapi kami masih berada di bawah langit senja yang sama, dengan buku dongeng kegemaran kami. “Sedikit memikirkanmu,” tambahku lirih.

“Baiklah, karena sekarang giliranku, kau tidak boleh memilih,” kubuka lembaran hingga pada halaman dongeng Hansel dan Gretel. Saat membacanya, seolah-olah aku sedang berada di rumah dengan bahan baku permen dan kue jahe, bersama Reno.

“Cak mano? Suka? Hm, aku juga bawa pempek,” aku mengeluarkan kotak bekal berisi olahan ikan dan sagu, menusuk potongan pempek dengan garpu, lalu menyuapkannya ke mulutku. “Sekarang, aku tidak menyuapimu. Kau manja sekali,” kataku bersungut-sungut.

Aku mengamatinya yang memakai hiasan bunga, tertawa kecil. “Bagaimana bisa kau lebih cantik dariku? Calak nian,” kuambil kamboja segar darinya dan kuselipkan di lipatan telingaku. Kubayangkan lesungnya yang dalam berpindah pada dua pipiku.

“Reno, aku cantik tidak?” aku tersenyum, beralih pada jemariku. “Lihat, aku masih mengenakan cincin ini. Pemberianmu terakhir kita bertemu. Kau ingat?”

Mendadak aku menjadi sangat emosional, suaraku tersendat dan bulir air mata membasahi wajahku. “Aku merindumu, kau tahu!” kataku serak. Mataku memanas. Senja hampir ditelan gelap. Dengan isak, aku menyentuh nisan di depanku. Dingin menjalar hingga ulu.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar