“Reno, apa kau baik? Aku sehat,” pertemuan kami
sekarang tidak ditemani secangkir latte panas, tiramisu dan pemandangan Ampera
yang ditimpa cahaya keperakan. Tapi kami masih berada di bawah langit senja
yang sama, dengan buku dongeng kegemaran kami. “Sedikit memikirkanmu,” tambahku
lirih.
“Baiklah, karena sekarang giliranku, kau tidak boleh
memilih,” kubuka lembaran hingga pada halaman dongeng Hansel dan Gretel. Saat
membacanya, seolah-olah aku sedang berada di rumah dengan bahan baku permen dan
kue jahe, bersama Reno.
“Cak mano? Suka? Hm, aku juga bawa pempek,” aku
mengeluarkan kotak bekal berisi olahan ikan dan sagu, menusuk potongan pempek
dengan garpu, lalu menyuapkannya ke mulutku. “Sekarang, aku tidak menyuapimu.
Kau manja sekali,” kataku bersungut-sungut.
Aku mengamatinya yang memakai hiasan bunga, tertawa
kecil. “Bagaimana bisa kau lebih cantik dariku? Calak nian,” kuambil kamboja
segar darinya dan kuselipkan di lipatan telingaku. Kubayangkan lesungnya yang
dalam berpindah pada dua pipiku.
“Reno, aku cantik tidak?” aku tersenyum, beralih
pada jemariku. “Lihat, aku masih mengenakan cincin ini. Pemberianmu terakhir
kita bertemu. Kau ingat?”
Mendadak aku menjadi sangat emosional, suaraku
tersendat dan bulir air mata membasahi wajahku. “Aku merindumu, kau tahu!”
kataku serak. Mataku memanas. Senja hampir ditelan gelap. Dengan isak, aku
menyentuh nisan di depanku. Dingin menjalar hingga ulu.
0 komentar