Dua Dentuman

By Zulfa Rahmatina - 10:52 PM

“Fernaaannn," Mama berteriak keras di taman belakang rumah kami. Aku melirik ke jam dinding, masih jam 11 malam. Satu jam lagi menuju pergantian tahun. “Percuma kalau kamu di rumah, tapi nggak kumpul sama keluarga. Tadi pergi sama teman-temanmu aja ke puncak.”
Ckk. Merepotkan. Denting gelas berisi soda terdengar gemerincing melengkapi suara cerewet mama. Aku masih mengumpat dengan kesal saat mataku menatap layar laptop yang sedang loading. Beberapa detik lagi, aku akan... aku akan…
“Assalamu'alaikum.”
Ah! Hampir saja aku terjungkal dari kursiku karena sosok di layar laptop itu.
“Assalamu'alaikum, Fernan.” Dia mengulang salamnya.
Segera saja kubenahi posisi duduk dan lengkung di bibirku. “Wa... wa'alaikumussalaam.” Aku mengumpat dalam hati. Kenapa bibirku selalu kelu jika berhadapan dengannya, meski hanya lewat layar seperti ini!
“Aku… aku ingin pamit...”
“Fernaaan!”
“Eh? Aisha, kau berkata apa?”
“Fernaan turuuunnn!”
Sial. Sial. “Mama cerewet... 15 menit lagi. Fernan janji,” teriakku, dengan kesal yang bertambah-tambah pada mama.
Kembali kutekuri layar yang menampilkan sosok berwajah Asia Barat dengan mata mengkilat itu. Kini ia sedang menundukkan kepala.
Tak ingin menyiakan waktu dengannya, aku kembali memulai sapa. “Aisha, bisa kau ulangi perkataanmu?” Kembali kusambung pembicaraan dengan gadis yang kukenal melalui inbox e-mailku.
Mata gadis itu menatap lurus ke layar. Sinarnya tidak seperti biasanya. Jika berhadapan langsung, aku tidak yakin bisa kuat menatap mata dengan sorot luka itu, lama-lama. Terlebih, dadaku selalu berdegub bahkan ketika hanya menatapnya di balik layar kaca.
“Sebentar lagi aku pergi,”
“Heh?” Lagi-lagi, aku kurang jelas menangkap suaranya. “Kau bisa berpindah ke tempat yang lebih sepi, Aisha? Bising sekali...”
Aisha tampak ragu, tapi mengikuti saranku. Aku melakukan hal yang sama. Mengunci jendela kamar dan pintu kamar rapat-rapat agar suara keluargaku yang hendak merayakan tahun baru tidak lagi mengganggu. Setidaknya, suara membosankan mereka sedikit redam.
Kini Aisha berpayung langit. Suasana semakin bising dan membuatku bingung.
“Abdullah, di mana?” Kutanyakan kabar tentang adik kecilnya yang biasa berbincang denganku.
Aisha tersenyum. Sinar matanya berubah penuh dengan binar. “Di suatu tempat yang indah.” Terangnya, masih dengan mata yang bercahaya.
“Oh ya? Bisakah aku ke sana?”
“Tentu. Asal kau mengikuti saranku.”
Saran? Aku mengingat-ingat. Saran… apa yang dimaksudnya? Oh idea! “Lima ranting emas?”
Aisha kembali mengangguk. Aku membalasnya dengan senyuman.
“Ya, ya. Baiklah. Lima ranting emas.” cetusku dengan geli. Susah payah aku mencari makna dari kata-kata Aisha tentang lima ranting emas, yang kemudian kuketahui dari teman muslimku jika lima ranting emas adalah rukun Islam. Aku juga muslim. Tapi tidak terlalu taat dan fanatik. Ah, entahlah. Kemarin, keluargaku bahkan memenuhi undangan saudara kami untuk merayakan natal bersama.
“Fernan akan melakukannya?” Tanpa menunggu jawabanku, gadis dengan bulu mata lentik itu meneruskan bicaranya. Tidak seperti biasanya, ia begitu tergesa-gesa. “Aku harap, Fernan benar-benar melakukannya,” ia mendongak. Senja di daerahnya, baru saja ditelan gelap. “Tolong doakan kami. Tolong sampaikan salam kami kepada saudara-saudara kami di Indonesia.”
BUM! Duarrr!
Aku mendesah. Kutolehkan kepala dengan malas ke arah jam dinding. Masih 12 menit untuk menuju jam 12 malam. Tentu bunyi itu ada sebab sepupu-sepupu kecilku yang pasti sudah mengantuk dan tidak sabar membunyikan petasan. Kuarahkan pandanganku kembali ke arah layar. Bunyi dentuman itu masih terdengar keras bersahutan.
Sedetik kemudian, aku terbelalak. Langit yang memayungi Aisha berubah menjadi merah. Aisha mengulang-ulang pesannya tadi. “Sampaikan. Tolong sampaikan, Fernan. Kami mencintai mereka karena Allah.”
Langit Gaza semakin benderang. Debu-debu beterbangan. Kudengar benda keras mengenai laptop Aisha.
“Kami mencintai karena Allah.”
“Ai...” Lidahku masih kelu. “Ai, apa yang ter...?”
Gelap. Layar laptopku berangsur menampilkan wallpaper foto keluargaku di bawah pohon cemara, juga rusa-rusa. “Apa yang terjadi...” desisku, di tengah kalut karena sambungan yang terputus.
Dari balik jendela besar di kamarku, tetiba, langit kami juga memerah. Bunyi-bunyi memekakkan telinga dari terompet panjang dan letusan-letusan petasan, juga tawa-tawa bahagia terdengar. Denting gelas yang beradu. Teriakan-teriakan kanpai untuk bersulang. Drum yang ditabuh semakin keras. Spektrum warna benderang yang menjadikan langit kami seperti senja. Aku merasakan atmosfir ini dengan nyawa seperti tercerabut.
“Apa yang terjadi...” tanyaku, di tengah kepekatan yang kini memenuhi otakku.



  • Share:

You Might Also Like

0 komentar