“Fernaaannn," Mama berteriak keras di taman belakang rumah
kami. Aku melirik ke jam dinding, masih jam 11 malam. Satu jam lagi menuju pergantian tahun. “Percuma
kalau kamu di rumah, tapi nggak kumpul sama keluarga. Tadi pergi sama
teman-temanmu aja ke puncak.”
Ckk. Merepotkan. Denting gelas
berisi soda terdengar gemerincing melengkapi suara cerewet mama. Aku masih
mengumpat dengan kesal saat mataku menatap layar laptop yang sedang loading.
Beberapa detik lagi, aku akan... aku akan…
“Assalamu'alaikum.”
Ah! Hampir saja aku terjungkal dari
kursiku karena sosok di layar laptop itu.
“Assalamu'alaikum, Fernan.” Dia mengulang
salamnya.
Segera saja kubenahi posisi duduk
dan lengkung di bibirku. “Wa... wa'alaikumussalaam.” Aku mengumpat dalam hati.
Kenapa bibirku selalu kelu jika berhadapan dengannya, meski hanya lewat layar
seperti ini!
“Aku… aku ingin pamit...”
“Fernaaan!”
“Eh? Aisha, kau berkata apa?”
“Fernaan turuuunnn!”
Sial. Sial. “Mama cerewet... 15 menit lagi. Fernan janji,” teriakku,
dengan kesal yang bertambah-tambah pada mama.
Kembali kutekuri layar yang
menampilkan sosok berwajah Asia Barat dengan mata mengkilat itu. Kini ia sedang
menundukkan kepala.
Tak ingin menyiakan waktu
dengannya, aku kembali memulai sapa. “Aisha, bisa kau ulangi perkataanmu?” Kembali
kusambung pembicaraan dengan gadis yang kukenal melalui inbox e-mailku.
Mata gadis itu menatap lurus ke
layar. Sinarnya tidak seperti biasanya. Jika berhadapan langsung, aku tidak
yakin bisa kuat menatap mata dengan sorot luka itu, lama-lama. Terlebih, dadaku
selalu berdegub bahkan ketika hanya menatapnya di balik layar kaca.
“Sebentar lagi aku pergi,”
“Heh?” Lagi-lagi, aku kurang
jelas menangkap suaranya. “Kau bisa berpindah ke tempat yang lebih sepi, Aisha?
Bising sekali...”
Aisha tampak ragu, tapi mengikuti
saranku. Aku melakukan hal yang sama. Mengunci jendela kamar dan pintu kamar
rapat-rapat agar suara keluargaku yang hendak merayakan tahun baru tidak lagi
mengganggu. Setidaknya, suara membosankan mereka sedikit redam.
Kini Aisha berpayung langit.
Suasana semakin bising dan membuatku bingung.
“Abdullah, di mana?” Kutanyakan
kabar tentang adik kecilnya yang biasa berbincang denganku.
Aisha tersenyum. Sinar matanya
berubah penuh dengan binar. “Di suatu tempat yang indah.” Terangnya, masih
dengan mata yang bercahaya.
“Oh ya? Bisakah aku ke sana?”
“Tentu. Asal kau mengikuti
saranku.”
Saran? Aku mengingat-ingat. Saran…
apa yang dimaksudnya? Oh idea! “Lima ranting emas?”
Aisha kembali mengangguk. Aku
membalasnya dengan senyuman.
“Ya, ya. Baiklah. Lima ranting
emas.” cetusku dengan geli. Susah payah aku mencari makna dari kata-kata Aisha
tentang lima ranting emas, yang kemudian kuketahui dari teman muslimku jika
lima ranting emas adalah rukun Islam. Aku juga muslim. Tapi tidak terlalu taat
dan fanatik. Ah, entahlah. Kemarin, keluargaku bahkan memenuhi undangan saudara
kami untuk merayakan natal bersama.
“Fernan akan melakukannya?” Tanpa
menunggu jawabanku, gadis dengan bulu mata lentik itu meneruskan bicaranya.
Tidak seperti biasanya, ia begitu tergesa-gesa. “Aku harap, Fernan benar-benar
melakukannya,” ia mendongak. Senja di daerahnya, baru saja ditelan gelap. “Tolong
doakan kami. Tolong sampaikan salam kami kepada saudara-saudara kami di
Indonesia.”
BUM! Duarrr!
Aku mendesah. Kutolehkan kepala
dengan malas ke arah jam dinding. Masih 12 menit untuk menuju jam 12 malam.
Tentu bunyi itu ada sebab sepupu-sepupu kecilku yang pasti sudah mengantuk dan
tidak sabar membunyikan petasan. Kuarahkan pandanganku kembali ke arah layar.
Bunyi dentuman itu masih terdengar keras bersahutan.
Sedetik kemudian, aku terbelalak.
Langit yang memayungi Aisha berubah menjadi merah. Aisha mengulang-ulang
pesannya tadi. “Sampaikan. Tolong sampaikan, Fernan. Kami mencintai mereka
karena Allah.”
Langit Gaza semakin benderang.
Debu-debu beterbangan. Kudengar benda keras mengenai laptop Aisha.
“Kami mencintai karena Allah.”
“Ai...” Lidahku masih kelu. “Ai,
apa yang ter...?”
Gelap. Layar laptopku berangsur
menampilkan wallpaper foto keluargaku di bawah pohon cemara, juga rusa-rusa. “Apa
yang terjadi...” desisku, di tengah kalut karena sambungan yang terputus.
Dari balik jendela besar di kamarku,
tetiba, langit kami juga memerah. Bunyi-bunyi memekakkan telinga dari terompet
panjang dan letusan-letusan petasan, juga tawa-tawa bahagia terdengar. Denting
gelas yang beradu. Teriakan-teriakan kanpai untuk bersulang. Drum yang ditabuh
semakin keras. Spektrum warna benderang yang menjadikan langit kami seperti
senja. Aku merasakan atmosfir ini dengan nyawa seperti tercerabut.
“Apa yang terjadi...” tanyaku, di
tengah kepekatan yang kini memenuhi otakku.
0 komentar