Melihat Data Berkata

By Zulfa Rahmatina - 2:28 PM


Berbicara dengan data selalu menyenangkan, sekaligus menenangkan. Maksudnya, apa-apa yang terlontar baik secara verbal maupun non verbal pasti akan lebih mudah memiliki pertanggungjawaban. Hanya saja jika rupanya data-data yang dibawakan tidak akurat, cacat logika, miskin referensi dan ruang-ruang diskusi, bisa saja ia berbalik menukik diri dengan jelma pisau belati yang tajam dan bersiap-siaplah menggelar hajatan untuk merayakan kebodohan diri sendiri. Contoh sederhana dari kasus ini adalah tentang seseorang yang mungkin hanya duduk di depan laptopnya dan yang sudah pernah makan kebab atau belum saja tak pasti, berbicara di depan seseorang lain yang lima belas kali mengunjungi Museum Topkapi tentang bendera yang didakunya sebagai panji namun ternyata hanya ‘sekadar’ bendera dari masa Turki Utsmani. Begitulah, data—yang valid—dapat berkembang menjadi katalis verifikasi suatu hal, juga menjadi fakta kuat dalam sebuah berita.


Terhadap sebaran data yang melimpah, terdapat sebuah tren yang mengikuti arus pergerakannya, yaitu jurnalisme data. Jurnalisme data yang mengunggulkan jumlah data yang besar tersebut digadang-gadang menjanjikan cara riset dan format publikasi yang baru dalam dunia jurnalisme. Sesuai dengan nama yang disematkan, jurnalisme data merupakan kegiatan jurnalistik yang bertumpu pada data. Adapun menurut Pindai.org, frasa “jurnalisme data” dihadirkan untuk tujuan yang sedikit berbeda dengan jurnalisme secara umum. Istilah jurnalisme data—atau biasa disebut data-driven journalism (DDJ)—mulai digunakan sejak 2009. Istilah ini menggambarkan proses jurnalistik berdasar pada analisis dan penyaringan ‘set data’ untuk membuat berita (news story). Masih dalam sumber yang sama, mengutip pendapat dari David McCandless, jurnalis data dan desainer informasi asal Inggris pengelola blog informasi visual bertajuk ‘Information is Beautiful’, analisis data dideskripsikan sebagai “cara pandang baru” dalam menjelaskan sebuah masalah. Melalui analisis data, setidaknya wartawan bisa menggeser fokus utama profesi dari “seseorang yang paling pertama melaporkan sebuah berita” menjadi “orang pertama yang melaporkan apa yang sesungguhnya terjadi.”

Sementara itu berkembangnya jurnalisme data pun berkorelasi dengan menjamurnya kisah kompleks dalam suatu visualisasi memikat yang biasa disebut infografis. Visualisasi data tidak saja hanya melalui infografis. Tampilan tersebut juga dapat berupa video dan media-media lainnya yang memiliki tujuan tak hanya untuk memaparkan data secara lebih menarik dan mudah dipahami, tapi juga memberikan ulasan singkat yang perlu diperhatikan. Jika akrab dengan situs Tirto.id, Beritagar.id, beberapa liputan yang dikerjakan oleh Tempo dan beberapa channel di YouTube seperti Hujan Tanda Tanya dan karakter Kobi yang gandrung dengan bulatan bakso dalam channel Kok Bisa, akan ditemukan model paparan informasi kepada khalayak yang menggunakan sebaran big data tersebut. Memanfaatkan data yang beredar dengan kemampuan analisis hingga penyajian dan pelaporan yang memudahkan publik memahami suatu kasus, tampak bahwa seorang jurnalis data bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip maupun etika layaknya jurnalis klasik. Bedanya dalam industri media, jurnalisme data tampil dalam penulisan yang lebih rinci, menarik, kredibel terlebih jika dilihat dari analisis data yang mendalam.


Jurnalis data New York Times Robert Gebeloff dalam Jaring.id menjelaskan bahwa dalam jurnalisme data, jurnalis data tidak dapat menyelesaikan sesuatu yang “setengah benar”. Sesuatu yang kurang benar adalah salah dan jurnalis data tidak boleh salah. Terlepas tentu saja jurnalis klasik dan siapa pun yang berkesempatan melaporkan suatu hal, kesalahan adalah perkara yang sebaiknya dihindari dan diminimalisir. Yang terakhir pada akhirnya, jurnalisme data hanya salah satu teknik penulisan saja. Semua ummat berhak menggunakannya.


*) Ditulis untuk diklat madya yang ketiga kalinya.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar