Berbicara dengan data selalu menyenangkan, sekaligus menenangkan. Maksudnya, apa-apa yang terlontar baik secara verbal maupun non verbal pasti akan lebih mudah memiliki pertanggungjawaban. Hanya saja jika rupanya data-data yang dibawakan tidak akurat, cacat logika, miskin referensi dan ruang-ruang diskusi, bisa saja ia berbalik menukik diri dengan jelma pisau belati yang tajam dan bersiap-siaplah menggelar hajatan untuk merayakan kebodohan diri sendiri. Contoh sederhana dari kasus ini adalah tentang seseorang yang mungkin hanya duduk di depan laptopnya dan yang sudah pernah makan kebab atau belum saja tak pasti, berbicara di depan seseorang lain yang lima belas kali mengunjungi Museum Topkapi tentang bendera yang didakunya sebagai panji namun ternyata hanya ‘sekadar’ bendera dari masa Turki Utsmani. Begitulah, data—yang valid—dapat berkembang menjadi katalis verifikasi suatu hal, juga menjadi fakta kuat dalam sebuah berita.
Terhadap sebaran data yang
melimpah, terdapat sebuah tren yang mengikuti arus pergerakannya, yaitu
jurnalisme data. Jurnalisme data yang mengunggulkan jumlah data yang besar
tersebut digadang-gadang menjanjikan cara riset dan format publikasi yang baru
dalam dunia jurnalisme. Sesuai dengan nama yang disematkan, jurnalisme data
merupakan kegiatan jurnalistik yang bertumpu pada data. Adapun menurut
Pindai.org, frasa “jurnalisme data” dihadirkan untuk tujuan yang sedikit
berbeda dengan jurnalisme secara umum. Istilah jurnalisme data—atau biasa
disebut data-driven journalism (DDJ)—mulai digunakan sejak 2009.
Istilah ini menggambarkan proses jurnalistik berdasar pada analisis dan
penyaringan ‘set data’ untuk membuat berita (news story). Masih dalam sumber
yang sama, mengutip pendapat dari David McCandless, jurnalis data dan desainer
informasi asal Inggris pengelola blog informasi visual bertajuk ‘Information is
Beautiful’, analisis data dideskripsikan sebagai “cara pandang baru” dalam
menjelaskan sebuah masalah. Melalui analisis data, setidaknya wartawan bisa
menggeser fokus utama profesi dari “seseorang yang paling pertama melaporkan
sebuah berita” menjadi “orang pertama yang melaporkan apa yang sesungguhnya
terjadi.”
Sementara itu berkembangnya
jurnalisme data pun berkorelasi dengan menjamurnya kisah kompleks dalam suatu
visualisasi memikat yang biasa disebut infografis. Visualisasi data tidak saja
hanya melalui infografis. Tampilan tersebut juga dapat berupa video dan
media-media lainnya yang memiliki tujuan tak hanya untuk memaparkan data secara
lebih menarik dan mudah dipahami, tapi juga memberikan ulasan singkat yang
perlu diperhatikan. Jika akrab dengan situs Tirto.id, Beritagar.id, beberapa
liputan yang dikerjakan oleh Tempo dan beberapa channel di YouTube seperti
Hujan Tanda Tanya dan karakter Kobi yang gandrung dengan bulatan bakso dalam
channel Kok Bisa, akan ditemukan model paparan informasi kepada khalayak yang
menggunakan sebaran big data tersebut. Memanfaatkan data yang
beredar dengan kemampuan analisis hingga penyajian dan pelaporan yang
memudahkan publik memahami suatu kasus, tampak bahwa seorang jurnalis data
bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip maupun etika layaknya jurnalis klasik.
Bedanya dalam industri media, jurnalisme data tampil dalam penulisan yang lebih
rinci, menarik, kredibel terlebih jika dilihat dari analisis data yang mendalam.
Jurnalis data New York Times
Robert Gebeloff dalam Jaring.id menjelaskan bahwa dalam jurnalisme data,
jurnalis data tidak dapat menyelesaikan sesuatu yang “setengah benar”. Sesuatu
yang kurang benar adalah salah dan jurnalis data tidak boleh salah. Terlepas
tentu saja jurnalis klasik dan siapa pun yang berkesempatan melaporkan suatu
hal, kesalahan adalah perkara yang sebaiknya dihindari dan diminimalisir. Yang terakhir
pada akhirnya, jurnalisme data hanya salah satu teknik penulisan saja. Semua
ummat berhak menggunakannya.
*) Ditulis untuk
diklat madya yang ketiga kalinya.
0 komentar