“… tetapi gelombang reformasi telah membuat masyarakat yang semula diam jadi membangkang. Ketika sebuah partai baru mendeklarasikan dirinya di Stadion Sriwedari Solo, Barongsay dan Naga Liong muncul lagi untuk pertama kalinya setelah dikerangkeng sekian lama. Sepanjang jalan, anak-anak warga ‘pribumi’ banyak yang menonton dengan sorak-sorai. Mereka tak peduli Sang Naga berasal dari Tiongkok sana. Tak kutemui semburat kekhawatiran mereka, seperti phobia pemerintah yang mengatakan budaya Tionghoa akan menghambat pembauran. Berita bohong tentang bahaya budaya Tionghoa membodohi pikiran anak bangsa selama tiga puluh tahun lebih,”
Begitu
yang dikisahkan oleh Iswahyudya Chou Hong Yen dalam Identitas Etnis Tionghoa di
Kota Solo. Menambahkan, Iswahyudya juga memaparkan bahwa, “Hingga kini sebagai orang Tionghoa pikiranku masih terganggu oleh
peristiwa rasial Mei 1998 lalu yang meluluhlantakkan Solo, kota yang sangat
kucintai. Kurasakan keterasingan diriku. Aku bingung apakah aku orang Indonesia
(titik) atau orang Tionghoa yang berwarga Negara Indonesia. Sesuai konsep dasar
yang ditanamkan orde baru, sungguh aku telah merasa menjadi orang Indonesia
(titik). Meskipun aku belum mampu menanggalkan budaya Tionghoa secara tuntas …”
Suatu
malam usai gerimis membasahi Solo yang mulai sunyi, saya bersama dua orang rekan
menuju sebuah wedangan tempat kami berjanji dengan seorang peranakan Tionghoa
generasi kelima, Khoe Liong Hauw a.k.a Sumartono Hadinoto. Ditemani secangkir teh,
siomay dengan limpah bumbu kacang dan beberapa jajanan lain, kami berbincang
mengenai isu sentimen rasial yang belakangan geliatnya mulai kembali kentara.
Bincang malam itu dibuka dengan fenomena
bak gumpalan bola salju dari aksi bela agama yang seruannya viral melalui media
sosial. Berlanjut ke persoalan video kampanye pemilihan kepala daerah yang mengangkat
isu keberagaman, namun dinilai oleh beberapa pakar sebagai hal tendensius dan
ditafsirkan sebagian pihak sebagai sebuah pelecehan terhadap pemerintah yang
tak mampu menjaga stabilitas dan keamanan Negara. Mafhum kita usut, kedua hal tersebut rupanya
berakar dari satu titik yang sama. Bahwa sebagaimana diungkap independen.id (Potensi Konflik Pilkada Jilid Kedua), suhu politik di Jakarta yang diguncang isu agama ditambah fitnah-fitnah dan
spekulasi yang berkembang di media sosial membuat konflik kericuhan wacana
politik dan keberagaman di Jakarta semakin berkembang.
Lebih jauh lagi, Sumartono saksi hidup kerusuhan Mei 1998 di Kota Solo yang lebih memilih mematahkan stereotip bahwa orang Tionghoa selalu menjadi pebisnis dengan menjadi aktivis di pelbagai organisasi sosial, panjang berkisah mengenai Mei kelabu kala itu. Ketika rumahnya menjadi sasaran empuk amuk massa, dilempari batu, hingga saat pukulan psikologis menyedihkan yang dialaminya membuat Sumartono harus berada dalam pengawasan dokter selama satu setengah tahun. Di antara derak napasnya, masing-masing kami bertanya tanpa suara, “Apa yang sedang terjadi? Mengapa kesenjangan, rasa iri, hingga diskriminasi pernah menjadi dominasi episode perjalanan panjang Ibu Pertiwi?”
Seolah tak kunjung bertemu ujung, isu-isu tentang kebhinekaan seperti terus menuntut sebuah penyelesaian mendesak. Negara ini, dengan kemajemukan dan suku yang beragam, diuji dalam bingkai sentiment dan stereotip yang dengannya apakah kita akan terpecah atau malah semakin erat menguatkan. Bagaimana perbedaan yang ada, menuntut disamakan atau disatukan. Rakyat yang selama ini lelap dalam tidur panjang, seperti dibangunkan paksa oleh mimpi buruk yang mengkhawatirkan. Bahwa ada sebuah ‘tangan tidak terlihat’ yang sedang mencoba merenggangkan ikatan dan memecahkan persatuan dengan isu-isu nasionalisme.
Pada perjalanan panjangnya, negeri ini begitu banyak menyimpan episode runtutan peristiwa tentang luka karena konflik perbedaan. Lekat stereotip, hingga nyinyir sentimen telah membuahkan diskriminasi dari masing-masing pihak, hingga tidak ada yang sejatinya tidak merasa terluka. Situasi dari masa ke masa yang seolah dikondisikan seakan-akan membuat Indonesia belum siap dengan keberagaman. Sebagaimana orasi budaya oleh Menteri Agama tentang Kebhinekaan dan Keberagaman Indonesia, kita semua berkewajiban merawat keberagaman. Bukan sekadar karena keberagaman adalah bingkai pemersatu bangsa Indonesia. Lebih dari itu, keberagaman adalah nilai kemanusiaan yang universal (Independen.id, Orasi Budaya Menteri Agama).
Akhirnya, ada sebuah pekerjaan besar bagi seluruh lapisan negeri yang menuntut penunaian yang mendesak. Karena jika isu keberagaman terus menjadi momok seperti ini, tidakkah mencerminkan bahwa bangsa ini asing dengan dirinya sendiri? Padahal, keberagaman yang dimiliki bangsa seharusnya dapat dibanggakan sebagai sebuah kekayaan besar yang perlu dirawat, dan bukan sebaliknya, penikam jantung sendiri.
0 komentar