Saya lantas teringat perkataan dosen saya di suatu hari. "Yang harus dipikirkan adalah," kata dosbing kami, "sejauh mana kebermanfaatan hal ini kelak?" beliau menatap kami bergantian, saya saling tatap dengan Astried di seberang. Setelah berbincang cukup lama, kalimat itu rupanya membuat kami terdiam seribu bahasa. "Apakah mereka benar-benar membutuhkan kontribusi kalian dalam hal ini?" tambahnya. "Jangan-jangan pada hal yang lain," pungkasnya.
Checkmate. Sebelum menghadap dosbing, kami memijak tangga fakultas dengan dada busung dan pikiran penuh oleh cetus ide yang bahkan beberapa dosen menggadang-gadang ide ini akan memikat juri dengan tepat. Tetapi rupanya, perkataan dosbing kami lebih benar. Pertanyaan yang mengungkap bahwa ternyata kami hanya melihat dengan sudut pandang kami sendiri membuat kami menyadari sesuatu. Bahwa tak selalu, sudut pandang kita sama dengan sudut pandang orang lain yang merasakannya.
Tetapi apa pun, kebermanfaatan ini kemudian disinggung juga oleh dekan baru kami yang menjadi salah satu pembicara gathering. Perempuan yang saya kenali mempunyai mimpi-mimpi yang sangat besar dan ia selalu mampu meraihnya itu, lagi-lagi, pada kami disasarkan pertanyaan, sudah sejauh mana kontribusi? Kontribusi untuk lembaga, untuk diri, dan untuk mimpi-mimpi. Ya, sudah sejauh mana? Dalam hadits disabdakan, khairunnas anfa'uhum linnaas. Yang bermanfaat, adalah sebaik-baik manusia.
Saya lalu menginsyafi bahwa hidup ini hanya tentang menabur kebermanfaatan. Dan Ramadhan, saya rasa, datang untuk memberi kita keleluasaan untuk melakukannya. Untuk memberi pelajaran tentang perih keikhlasan, pedih perjuangan, panjang penantian, letih perjalanan. Untuk mendewasakan, atas lapis-lapis episode, buliran hari yang lalu, jeda yang tercipta untuk menyimak segala, hingga daya agar tak ada sesuatu pun berlalu tanpa makna. Untuk melatih lebih banyak lagi kesabaran. Pada harap limpahan berkah untuk tiap-tiap sedekah, hingga dalam himpun lembar-lembar tilawah. Sampai hari ini, apa kabar Ramadhanmu?
0 komentar