Semua orang pada dasarnya mempunyai bekal potensi yang sama. Tetapi ketika membicarakan potensi dan Quran, kita seperti membicarakan iman dan amal. Iman yang seperti apa sih yang kita yakini? Apakah kita hanya memahami konsep yang menyebutkan iman merupakan kesatuan dari keyakinan, dan apakah kita juga mengetahui bahwa dari hal tersebut, puncaknya iman adalah amal?
Ketika membicarakan mengenai penulisan, ada 4 potensi dasar terkait kemampuan literasi yang seharusnya kita kembangkan, di antaranya adalah membaca, menulis, menyampaikan sesuatu (public speaking) dan menyimak. Kalaulah kita merasa telah mampu dan mumpuni di semua aspek tersebut, kemampuan harus tetap di-upgrade.
Saat ini, banyak influencer yang bertentangan dengan Quran. Mereka sangat pede, gencar, allout, melakukan riset, dan menyebarkan tulisan demi tujuan-tujuan mereka. Pertanyaan yang harus kita renungkan adalah, kita sebagai generasi qurani apakah juga bersiap untuk itu?
Penulis Semakin Menjamur
Di era digital dan
teknologi yang tengah mengepung kita saat ini, rasanya penulis menjadi semakin
banyak dan mudah. Kalau dulu, penulis mungkin hanya merujuk kepada orang-orang
yang menulis naskah, diajukan ke penerbit, kemudian dicetak. Tapi sekarang
seiring berkembangnya zaman, telah banyak media-media yang digunakan sebagai
platform untuk menulis. Telah banyak
pula akses belajar kepenulisan dari yang offline maupun online, atau dari yang
berbayar hingga gratis. Selain itu, banyak penerbitan yang sudah menjamur
seperti penerbit indie dan mayor. Dengan segala kemudahan dan fasilitas yang
banyak tersedia saat ini, maukah kita menjadi penulis, atau menyia-nyiakan kesempatan
tersebut?
Quranic Writer, Bukan
Penulis Biasa
Penulis biasa dapat dengan
mudah menulis, menyebarkan gagasannya, atau mengajak orang lain bersepakat
dengan apa yang ia inginkan. Tetapi hal tersebut tentu berbeda antara seseorang
yang menjadikan Quran sebagai spirit dan pedoman untuk karya-karyanya.
Poin untuk seorang Quranic Writer adalah bagaimana cara agar kita bisa
menyampaikan nilai langit, dengan cara yang membumi. Bagaimana kita mampu
menyebarkan nilai-nilai Quran dengan bahasa yang mudah dipahami oleh orang
lain.
Selain itu, yang menjadi ujian terbesar dan tanggungjawab utama kita adalah mensyukuri potensi tersebut, menjaga hati dan selalu meluruskan serta memperbarui niat, konsistensi dalam menulis, dan terus mencari ilmu. Tidak perlu resah dengan likers, komentar dan viewers. Allah akan membuka jalan dari mana saja ketika niat kita lurus. Bahkan, ketika kita menulis dan ada dari tulisan kita yang bisa berpengaruh bagi orang lain, itu adalah karena hak prerogatif Allah. Bukan kita.
Tidak Ada Orang Besar yang Tidak Jadi Penulis
Orang-orang besar rata-rata menjadi penulis. Sebab dengan menulis, ada kisah yang dibagikan, ilmu-ilmu yang diikat, dan hal-hal yang menjadi abadi. Penulis-penulis muslim seperti Buya Hamka yang terkenal dengan karya-karya fiksi dan non fiksi adalah contoh ideal bagi Quranic Writer, apalagi karyanya diselesaikan tidak dalam kondisi normal—beliau sempat menulis di penjara. Bahkan ketika sedang berada dalam kondisi sulit pun, beliau mampu melahirkan karya-karya besar, melintasi zaman, bermanfaat untuk banyak orang, dan menjadi jariyah yang dapat menjadi simpanan sebagai pemberat timbangan amal.
Penulis Harus Bertanggungjawab dengan Apa yang Ia Tuliskan
Terakhir, tentu saja penulis
harus mengerti konsekuensi dari apa pun yang akan ditimbulkan dari sebuah
tulisan yang dibuatnya. Sejatinya, menulis adalah cara lain dari mensyukuri
potensi yang kita miliki. Tidak perlu banyak sensasi dalam tulisan. Bila menulis
dengan based keilmuan, jangan sampai justru menyesatkan dan berharaplah menjadi
amalan (jariyah). Sebagaimana petuah Sayyid Qutbh kala itu, “1 peluru hanya
bisa menembus 1 kepala manusia. Sedangkan 1 tulisan bisa menembus berjuta
kepala manusia,”
Akhirnya, semoga tulisan kita menjadi wasilah untuk mendapat prestasi sebagai sebaik-baik hamba.
0 komentar