Yang Pada Telapaknya Dijanjikan Surga

By Zulfa Rahmatina - 2:17 PM


           Wanita ini, adalah wanita, yang pada rahimnya, pernah tinggal seorang lelaki yang kucinta.
           Wanita ini, adalah wanita, yang sebelum kepergianku merantau ke Jakarta, dengan jemarinya yang telah kisut, memegang tanganku, lama-lama. Tanpa sepatah kata. Hanya tatap mata kosong, pada tangan kami yang saling bertautan. Meski begitu, aku tahu dan akan selalu tahu, hatinya tak henti membisik doa.
            Wanita ini, adalah wanita, yang tak henti menyuruhku makan sebelum tidur bersamanya, banyak-banyak. Menawarkan buah-buahan yang segar, biskuit, atau menyuruhku menyeduh teh dengan banyak gula. Seringkali, ia sengaja menyisakan nasi gorengnya, untuk kemudian, diberikannya padaku.
          Wanita ini, yang di Ahad pagi, bersamanya, kami beriring langkah menuju majlis-majlis ilmu. Menyimak lantun dan makna mutiara-Nya…
          Wanita ini, yang sering membuatku mengeluh. Saat aku enggan tidur menemaninya, dan memilih mengurung di kamarku yang pengap dan berantakan, dengan komputer, buku-buku dan ponsel dengan sedikit kuota yang tersisa.
          Wanita ini, yang seringkali membuatku kesal. “Aku sudah makan! Tidak mau makan lagi! Sudah kenyang!” lalu makanan yang dibawanya dengan piring kecil, khusus untukku, hanya tergeletak di dalam tudung saji, di atas meja makan.
          Wanita ini, yang membuat abi selalu mengingatkan, “Kalau kau berbakti padanya, berarti kau telah membantu ummi dan abi selangkah lebih dekat dengan surga.”
          Wanita ini pula, yang dikabarkan dalam sambungan telepon oleh adik terkecilku, Firda, setelah ia selesai mengoceh dan mengeluhkan kakak laki-lakinya yang nakal karena mengusilinya, “Mbak, Mamak masuk rumah sakit,”
          Nenekku. Kami memanggilnya, Mamak. Ia satu-satunya nenek yang kupunya. Terakhir kali ummi menelpon, aku sungguh sangat ingin berbincang dengannya. Tapi, ia sedang beristirahat. Agar tak kecewa, ummi memberikan sambungan telepon pada adik sepupuku yang baru belajar bicara, Bilal.
          Ummi bilang, mamak sudah pulang dari rumah sakit. Tak jelas aku menangkap apa yang membuatnya diopname. Hanya saja, melihat kondisinya sekarang ini, seharusnya aku tidak lagi perlu bertanya.
            Ada suatu masa di mana aku dan sepupu-sepupuku, seringkali menggodanya. Kami terbahak dalam tawa ceria. Tak jarang, mamak memberi kami lembaran rupiah, yang cukup banyak jika hanya sekadar untuk membeli batagor, atau es campur pelepas dahaga. Mamak juga mengulang hal itu jika aku memberinya jambu biji muda, yang kupetik dari kebun kami di belakang rumah.
           Aku selalu mengagumi rambut panjang mamak yang berkilau. Meski sudah sepuh, rambut mamak tetap indah. Tidak seperti milikku, rambut harajuku yang sangat kusut dan tidak enak dipandang. Rambut mamak menjuntai lurus, berkilau walau tanpa dilumas dengan minyak urang-aring. Selalu begitu. Kami bergantian menyisirnya…
            Tak beda dengan kulitnya yang putih dan halus. Tubuh berisi mamak, membuat relief renta pada tubuhnya sedikit tidak kentara. Aku selalu mendekatkan tanganku dengan tangannya, membanding-bandingkan kenapa warna kulitku masih selalu kalah dengan mamak meski aku jarang keluar rumah, juga meski banyak teman yang mengakui jika warna kulitku lebih cerah dari milik mereka. Aku bertanya pada mamak, kenapa kulitnya bisa seperti itu? Tapi mamak hanya tersenyum. Dengan senyum yang khas. Selalu begitu.
            Beberapa bulan sebelum keberangakatanku ke Jakarta, lepas maghrib, ummi rutin mengajakku mengunjunginya. Sesekali kubuka mushaf dan kubaca pelan di dekatnya, tidak denganku, di depan ummi, beliau berkata, bacaanku bagus dan dia senang mendengarnya. Ah, mamak…
            Pernah saat aku mogok kuliah karena kondisi mentalku yang sakit dan hari-hariku lantas diisi untuk selalu mengutuk takdir, dengan waktu yang cukup lama, setiap hari, mamak rutin bertanya tentang kuliahku. Kujawab, “Baik-baik saja, baik-baik saja… aku masuk siang.” Aku memilih berbohong. Kemudian berjalan sambil lalu. Tak tega mencipta kebohongan yang lebih banyak untuknya. Mamak, maafkan aku. Aku tahu jika mamak selalu memperhatikan pendidikan kami. Baru kusadari, mungkin, di kali pertama ia lontarkan tanyanya, mamak sudah mengetahui kebohonganku…
            Siang ini, entah kenapa, aku sangat merindukannya. Ingin rasanya mengulang cerita itu. Menyisir rambut mamak di siang terik, di dekat pohon mangga di dalam rumah kami yang rimbun. Sesekali mengumbar tawa, lalu memilin-milin rambutnya hingga tercipta kepang yang panjang. Lepas itu, kami membuka kulkas. Mencari minuman dan makanan yang bisa menyegarkan dan sedikit meredakan hawa panas.
            Di hari raya, kuali di dapur mamak penuh dengan berbagai macam masakan dan bumbu. Bumbu kuning, bumbu hitam, hingga bumbu putih. Saat mamak menerima banyak tamu, adik-adik kecil kami biasa menyelundupkan es sirup, toples penuh berisi kerupuk tengiri, teh gelas, kue-kue mahal, coklat dan beberapa snack lainnya ke dalam kamarnya. Kami menyalakan kipas dan menyetel televisi. Mencari tayangan hari raya yang itu-itu saja.
            Sebelumnya, pulang dari lapangan setelah shalat ied, saat kami bersalaman meminta maaf padanya, tak lupa mamak menyelipkan beberapa lembar kertas pada telapak tangan kami, yang karenanya, pundi-pundi rupiah kami bisa bertambah.
            Kadang-kadang, mamak mengajak kami berwisata bersama. Sekedar menghilangkan penat, mendekatkan keluarga, atau mentadabburi kuasaNya.
            Ah, mamak… apa kabarmu? Di rantau, kami baik-baik saja. Semoga, mamak pun. In syaa Allah, kami selalu sebut nama mamak dalam doa. Maka, jangan lupakan kami pula dalam doa mamak.
            Musim panas ini, kami pulang, Mamak. Tunggu kami, ya? Nanti, kita ulang lagi cerita kita dulu. Meski tubuh mamak tidak lagi sekuat dulu, kami tidak akan pernah membiarkan mamak tidak bisa melihat cerah mentari.
            Mamak… thanks for always loving us. May Allah give you good health and long life. May Allah bless you. We love you fii sabilillaah, Mamak. :”)

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar