Wanita ini, adalah wanita, yang pada rahimnya, pernah tinggal seorang lelaki yang kucinta.
Wanita ini, adalah
wanita, yang sebelum kepergianku merantau ke Jakarta, dengan jemarinya yang
telah kisut, memegang tanganku, lama-lama. Tanpa sepatah kata. Hanya tatap mata
kosong, pada tangan kami yang saling bertautan. Meski begitu, aku tahu dan akan
selalu tahu, hatinya tak henti membisik doa.
Wanita ini, adalah
wanita, yang tak henti menyuruhku makan sebelum tidur bersamanya,
banyak-banyak. Menawarkan buah-buahan yang segar, biskuit, atau menyuruhku
menyeduh teh dengan banyak gula. Seringkali, ia sengaja menyisakan nasi
gorengnya, untuk kemudian, diberikannya padaku.
Wanita ini, yang
di Ahad pagi, bersamanya, kami beriring langkah menuju majlis-majlis ilmu. Menyimak
lantun dan makna mutiara-Nya…
Wanita ini, yang
sering membuatku mengeluh. Saat aku enggan tidur menemaninya, dan memilih
mengurung di kamarku yang pengap dan berantakan, dengan komputer, buku-buku dan
ponsel dengan sedikit kuota yang tersisa.
Wanita ini, yang
seringkali membuatku kesal. “Aku sudah makan! Tidak mau makan lagi! Sudah kenyang!”
lalu makanan yang dibawanya dengan piring kecil, khusus untukku, hanya
tergeletak di dalam tudung saji, di atas meja makan.
Wanita ini, yang
membuat abi selalu mengingatkan, “Kalau kau berbakti padanya, berarti kau
telah membantu ummi dan abi selangkah lebih dekat dengan surga.”
Wanita ini pula,
yang dikabarkan dalam sambungan telepon oleh adik terkecilku, Firda, setelah ia
selesai mengoceh dan mengeluhkan kakak laki-lakinya yang nakal karena
mengusilinya, “Mbak, Mamak masuk rumah sakit,”
Nenekku. Kami memanggilnya,
Mamak. Ia satu-satunya nenek yang kupunya. Terakhir kali ummi menelpon,
aku sungguh sangat ingin berbincang dengannya. Tapi, ia sedang beristirahat. Agar
tak kecewa, ummi memberikan sambungan telepon pada adik sepupuku yang baru
belajar bicara, Bilal.
Ummi bilang, mamak
sudah pulang dari rumah sakit. Tak jelas aku menangkap apa yang membuatnya
diopname. Hanya saja, melihat kondisinya sekarang ini, seharusnya aku tidak
lagi perlu bertanya.
Ada suatu masa di
mana aku dan sepupu-sepupuku, seringkali menggodanya. Kami terbahak dalam tawa
ceria. Tak jarang, mamak memberi kami lembaran rupiah, yang cukup banyak jika
hanya sekadar untuk membeli batagor, atau es campur pelepas dahaga. Mamak juga
mengulang hal itu jika aku memberinya jambu biji muda, yang kupetik dari kebun
kami di belakang rumah.
Aku selalu
mengagumi rambut panjang mamak yang berkilau. Meski sudah sepuh, rambut mamak
tetap indah. Tidak seperti milikku, rambut harajuku yang sangat kusut dan tidak
enak dipandang. Rambut mamak menjuntai lurus, berkilau walau tanpa dilumas
dengan minyak urang-aring. Selalu begitu. Kami bergantian menyisirnya…
Tak beda dengan
kulitnya yang putih dan halus. Tubuh berisi mamak, membuat relief renta pada
tubuhnya sedikit tidak kentara. Aku selalu mendekatkan tanganku dengan
tangannya, membanding-bandingkan kenapa warna kulitku masih selalu kalah dengan
mamak meski aku jarang keluar rumah, juga meski banyak teman yang mengakui jika
warna kulitku lebih cerah dari milik mereka. Aku bertanya pada mamak, kenapa
kulitnya bisa seperti itu? Tapi mamak hanya tersenyum. Dengan senyum yang khas.
Selalu begitu.
Beberapa bulan
sebelum keberangakatanku ke Jakarta, lepas maghrib, ummi rutin mengajakku
mengunjunginya. Sesekali kubuka mushaf dan kubaca pelan di dekatnya, tidak
denganku, di depan ummi, beliau berkata, bacaanku bagus dan dia senang
mendengarnya. Ah, mamak…
Pernah saat aku
mogok kuliah karena kondisi mentalku yang sakit dan hari-hariku lantas diisi untuk
selalu mengutuk takdir, dengan waktu yang cukup lama, setiap hari, mamak rutin bertanya
tentang kuliahku. Kujawab, “Baik-baik saja, baik-baik saja… aku masuk siang.” Aku
memilih berbohong. Kemudian berjalan sambil lalu. Tak tega mencipta kebohongan
yang lebih banyak untuknya. Mamak, maafkan aku. Aku tahu jika mamak
selalu memperhatikan pendidikan kami. Baru kusadari, mungkin, di kali pertama
ia lontarkan tanyanya, mamak sudah mengetahui kebohonganku…
Siang ini, entah
kenapa, aku sangat merindukannya. Ingin rasanya mengulang cerita itu. Menyisir rambut
mamak di siang terik, di dekat pohon mangga di dalam rumah kami yang rimbun. Sesekali
mengumbar tawa, lalu memilin-milin rambutnya hingga tercipta kepang yang
panjang. Lepas itu, kami membuka kulkas. Mencari minuman dan makanan yang bisa
menyegarkan dan sedikit meredakan hawa panas.
Di hari raya,
kuali di dapur mamak penuh dengan berbagai macam masakan dan bumbu. Bumbu kuning,
bumbu hitam, hingga bumbu putih. Saat mamak menerima banyak tamu, adik-adik
kecil kami biasa menyelundupkan es sirup, toples penuh berisi kerupuk tengiri, teh
gelas, kue-kue mahal, coklat dan beberapa snack lainnya ke dalam kamarnya. Kami
menyalakan kipas dan menyetel televisi. Mencari tayangan hari raya yang itu-itu
saja.
Sebelumnya, pulang
dari lapangan setelah shalat ied, saat kami bersalaman meminta maaf padanya,
tak lupa mamak menyelipkan beberapa lembar kertas pada telapak tangan kami,
yang karenanya, pundi-pundi rupiah kami bisa bertambah.
Kadang-kadang,
mamak mengajak kami berwisata bersama. Sekedar menghilangkan penat, mendekatkan
keluarga, atau mentadabburi kuasaNya.
Ah, mamak… apa kabarmu?
Di rantau, kami baik-baik saja. Semoga, mamak pun. In syaa Allah, kami
selalu sebut nama mamak dalam doa. Maka, jangan lupakan kami pula dalam doa
mamak.
Musim panas ini,
kami pulang, Mamak. Tunggu kami, ya? Nanti, kita ulang lagi cerita kita dulu. Meski
tubuh mamak tidak lagi sekuat dulu, kami tidak akan pernah membiarkan mamak tidak
bisa melihat cerah mentari.
Mamak… thanks for
always loving us. May Allah give you good health and long life. May Allah bless
you. We love you fii sabilillaah, Mamak. :”)
0 komentar