Kalau Perasaan Hari Lalu, Masih Membayang Hingga Kini

By Zulfa Rahmatina - 5:51 PM

Pernah tidak, ketika hening, ketika terlintas dirimu di masa lalu, tiba-tiba, napasmu memburu karena amarah, gigimu beradu karena geram, atau pipimu memerah karena malu. Pernah tidak? Rasanya, tidak nyaman sekali …. Ketika terlintas suatu peristiwa di masa lalu, ketika teringat satu nama yang pernah membuat tersipu, tetapi perasaanmu saat ini begitu teguh mengingkari desir yang dulu pernah bersemu. Segala yang berlalu, kalau bisa, tidak usahlah dicari-cari lagi kaitannya. Rasanya hanya penyesalan yang datang bertubi-tubi. Kenapa harus begitu, dan kenapa tidak begini? Pernah tidak?

Di psikologi, kondisi ini disebut dengan unfinished bussines. Ketika kita belum selesai dengan diri kita sendiri. Ketika kita memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi, perasaan yang tidak diekspresikan, dan situasi yang belum terselesaikan. Dalam hal ini, paradigma Gestalt datang dengan mengungkap bahwa sebenarnya, manusia adalah individu yang dapat mengatasi sendiri permasalahan dalam hidupnya, terutama bila mereka menggunakan kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dari lingkungan sekitarnya. Hal lain yang ditawarkan Gestalt adalah pendapat bahwa individu memiliki masalah karena mereka menghindari masalah tersebut, dan salah satu sumber masalah adalah ketika kita masih terjerumus pada unfinished bussines.

Unfinished bussines, biasa dikenali dengan perasaan yang tidak nyaman terhadap sesuatu yang sudah lama terjadi, perasaan sakit walau sudah lama luka itu berlalu, perasaan sedih, marah, takut, hingga malu ketika teringat peristiwa yang dulu. Berkaitan dengan unfinished bussines, manusia memang cenderung lebih memilih menghindari pengalaman yang menyakitkan secara emosional daripada melakukan sesuatu yang ia butuhkan untuk berubah. Alih-alih menyelesaikan urusan yang tidak kunjung selesai, kita lebih memilih menghidar, lebih memilih melupakan, tanpa sadar bahwa hal itu justru bentuk lain dari menyakiti diri sendiri. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan apa-apa yang harusnya sudah selesai? Apa yang bisa menyelamatkan kita dari ketidakpastian perasaan tersebut?

Penerimaan.

Setiap orang memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Setiap kita mempunyai lukanya masing-masing, begitu juga dengan suka cita. Kita hidup dari satu peristiwa menuju peristiwa berikutnya. Kita merasakan satu emosi demi emosi yang lain. Ya, kita tidak pernah bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa mengubah pemaknaan kita terhadapnya. Kita tidak memiliki kuasa untuk mengatur waktu beserta hidangan-hidangan kehidupan yang disajikannya, tapi kita memiliki kuasa untuk mengelola hati kita.

Pernah tidak kamu berpikir mengapa Al Fatih telah menjadi panglima di usia yang begitu muda? Pernah tidak mengira, seberapa dalam patah hati yang ditanggung Salman Al Farisi ketika merelakan gadis pujaan yang tengah dipinangnya kepada sahabatnya Abu Darda, pernah tidak merenungkan mengapa Bilal tidak berdusta saja akan keimanannya sementara tubuhnya menggelepar ditelan terik surya. Nyatanya, mereka telah selesai dengan dirinya sendiri. Kegundahan mereka tidak lagi terletak pada duri-duri yang mencacah telapak kaki, tapi pada bagaimana mengusahakan duri tersebut tidak menancap pada hati-hati orang lain yang mereka kasihi.
   
Pernah tidak, kamu membayangkan, bagaimana jadinya jika Rasulullah saw bermuram durja saat maut memisahkannya dengan orang-orang yang dikasihi, jika Rasulullah bergejolak marah saat sujudnya disiram isi perut unta, jika Rasulullah memilih berhenti saat penduduk Thaif mengingkarinya. Pernah tidak, kamu membayangkan jika Rasulullah saw tidak ‘selesai’ dengan semua itu? Tidak sampai pada pemaknaan bahwa apa-apa yang menimpanya, adalah garis terbaik yang telah ditetapkan-Nya. Tidak sampai pada pemahaman bahwa ridha-Nya tidak saja hanya terletak pada keringanan hati dan kelancaran amal saat menempuhnya. Pernah tidak kamu membayangkan, saat ini, bagaimana dakwah Islam akan sampai kepada kita jika Rasulullah saw memiliki banyak perasaan yang belum terselesaikan?

Pernah tidak kamu merenungkan, mengapa dengan peristiwa demikian beratnya, Rasulullah saw mampu melewatinya dan justru menjadi lebih benderang daripada cahaya? Barangkali Rasul mengerti, karena uji dan lelah yang beliau lalui, agaknya tidak sebanding dengan syurga yang kelak beliau tapaki. 


Orang-orang di frame ini, ayo dolan lagi!

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar