Tapi Tetap Saja

By Zulfa Rahmatina - 6:25 PM


Saya baru membalas beberapa pesan yang rupanya tertimbun cukup lama dalam folder permintaan pesan di Facebook. Saya senang, jujur saja. Ketika ada orang-orang yang tidak saya kenal, menghubungi saya lewat Facebook, Instagram, Twitter, atau bahkan berpanjang-panjang menulis melalui email. Salah satu yang mereka kabarkan, adalah bahwa mereka merupakan pembaca tulisan saya. Tidak sekali dua saya mendapat pesan demikian. Ada yang bertanya lebih lanjut mengenai artikel yang saya tulis, tidak sedikit yang hanya menyapa dan mengabarkan bahwa mereka membaca tulisan-tulisan saya entah di media daring, laman pribadi, atau buku-buku antologi. Ya, hanya itu saja. Saya sungguh terharu, sembari berharap, agar tulisan saya selalu bisa mengingatkan mereka–lebih-lebih mengingatkan diri saya sendiri–kepada Tuhannya.

Beberapa teman yang garis hidupnya bersinggungan dengan garis hidup saya, tidak sedikit pula yang mengaku menunggu tulisan-tulisan saya. Sekadar basa-basi dalam bincang, atau entah dengan niat apa yang melatari, saya percaya bahwa apa-apa yang sampai kepada saya, semuanya berasal dari kehendak-Nya. Benarlah bahwa tidak ada suatu pertemuan–entah dalam maya ataupun nyata–kecuali Allaah yang menggerakkan. Tentu pula tidak akan sampai pesan-pesan tersebut kepada saya, kecuali Allaah yang mengirimkan. Tidak akan sampai kamu dalam kalimat ini, kecuali Allaah yang mengizinkan.

Bagi saya, menulis memiliki banyak arti. Menulis dapat mengikat peristiwa-peristiwa yang saya lalui, menulis dapat memperluas tempat sujud saya, membawa saya ke dunia yang lebih beragam, memperjalankan saya untuk bertemu lebih banyak lagi orang, dan membuat hati saya lebih lapang. Menulis barangkali tidak serta merta menyembuhkan. Tapi pada prosesnya, menulis benar-benar mendewasakan. Menulis mampu meredakan kecamuk yang menerjang. Menulis mampu mengubah dentuman emosi, menjadi rintik-rintik serbuk sari. Menulis, barangkali bisa membuat kita seolah-olah merasa, tidak lagi sendiri …

Kegiatan menulis ini bahkan digunakan sebagai salah satu terapi bagi psikolog kepada kliennya. Di beberapa kasus, para dokter juga meminta pasien mereka untuk menulis keluhan-keluhan pada tubuhnya dalam bentuk diary agar memudahkan observasi. Konon, mantan presiden kita diberi dua pilihan dalam meredakan goncangan jiwa akibat meninggalnya sang istri. Pilihan tersebut adalah mengonsumsi obat sepanjang hidup, atau menulis. Beliau memilih yang kedua. Dan masyhurlah perjalanan cerita cinta sepasang manusia yang kini kita akrabi dalam lembar-lembar buku, atau peran dalam sebuah drama; Habibie dan Ainun.

Tapi tetap saja, seiring bergulirnya waktu, kita kian menyadari bahwa kata-kata tak akan pernah bisa seutuhnya membantu untuk mengutarakan perasaan kita. Tapi tetap saja, menulis tak akan mampu mengungkapkan apa yang kita pendam rapat-rapat. Tapi tetap saja, kata-kata, agaknya, memiliki batasan untuk menjelaskan apa yang ingin disampaikan. Tapi tetap saja, ada makna yang lebur ketika segalanya menjadi terlampau pedih. Ketika irisan demi irisan peristiwa meninggalkan jejak yang teramat perih. Ada bahasa yang lebih istimewa dari untaian kata-kata. Ianya, adalah air mata.

Menangis adalah bahasa paling jujur, paling aman, dan paling tulus. Menangis adalah jalan yang dipilih oleh para perindu, oleh para pencinta. Di jalan itu, Umar terisak akan syahdunya kalam. Bahu Muhammad berguncang karena dahsyatnya pertempuran Badar. Yunus menyesali perbuatannya dalam kelam. Dan Musa merintih, “Ya Tuhanku, sesungguhnya atas segala kebaikan yang Kau beri, aku teramat membutuhkan,” di jalan itu, air mata menjadi permata yang sungguh berharga. Mutiara paling bening daripada pantul kaca. Tapi tetap saja, air mata pun tiada berarti–di hening kelam malam, di sergap rebak haru. Jika ia bukan karena Dia; jika ia, tidak semata-mata untuk–Nya. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar