Bagaimana Ia Menjadi Perantara-Nya

By Zulfa Rahmatina - 8:02 PM


“Mbak, ini bensin,”

Laki-laki itu berparas Arab. Ia tiba-tiba menghampiriku dengan motor dari arah yang berlawanan denganku. Kutatap sekilas. Meski berwajah Arab, ia memiliki postur tubuh rata-rata orang Indonesia. Tidak begitu tinggi jika dibandingkan dengan mahasiswa asal Palestina kampus kami yang menghuni pesma—pesantren mahasiswa. Tapi, bukan berarti laki-laki itu pendek. Dia mengenakan jubah selutut berwarna biru tua dipadu celana kain hitam. Cambang tipis menghiasi wajahnya, dan ia tidak memakai peci. Laki-laki itu turun dari motor, meletakkan botol kaca berisi bensin di kursi plastik sebelahku, dan segera meminta kunci motor untuk mengisikan bensin. Aku bergegas meletakkan cup es teh yang sedang kunikmati, lalu berdiri di hadapannya.

Adzan maghrib sudah terdengar beberapa menit yang lalu. Hari itu Senin. Kebetulan, aku sedang shaum. Kebetulan pula, saat hendak membeli makanan berbuka, motor yang kupakai macet. Kukira habis bensin. Syukurlah aku tidak perlu mendorong motor terlalu jauh karena di perempatan jalan, ada penjual bensin eceran—tempat aku biasa membeli es yang juga dijual oleh Bu Bensin, begitu teman-temanku biasa menyebut. Selain bensin, beliau juga menjual es teh, lemon tea, bubur kacang hijau, dan es jeruk. Hanya itu saja, tapi entah kenapa, selalu ramai. Sayang, aku dan motor mogok itu datang saat warung Bu Bensin belum buka. Jelas saja, saat itu maghrib masih cukup lama. Kutahu kemudian sesuai dugaanku, beliau sedang kulak bensin.

Saat itu, hanya aku satu-satunya orang yang berada di tempat itu. Beberapa pembeli yang bensinnya menipis segera pergi ketika tahu toko belum buka. Aku yang menunggu Bu Bensin datang duduk di kursi plastik yang biasa digunakan para pembeli untuk menunggu. Sembari memainkan gawai, aku menghubungi beberapa teman yang barangkali bisa membantu membawakan bensin. Teman kuliah, teman organisasi, teman komunitas. Tapi tidak dengan teman-teman dekatku. Menjadi mahasiswa semester tua yang hanya mengambil beberapa mata kuliah membuat mereka masih berada di rumahnya masing-masing bahkan walau itu awal pekan. Aku tidak menghubungi Astried karena kutahu ia sedang didatangi kerabatnya dari Kalimantan. Kuhubungi Ridwan, sebelum keluar kos, dia orang terakhir yang merusuh di chatroom-ku, merengek-rengek dan setengah memaksa meminta tugas despelku semester lalu. Barangkali, dia yang biasa berlarut-larut menggunakan wifi kampus bisa membantu. Tapi, satu pun pesanku tidak juga berbalas.

Sebelumnya, aku sudah berhitung. Jika Bu Bensin belum juga datang sehabis maghrib, aku akan berjalan sampai masjid kampus. Soal bagaimana pulang kos, urusan nanti. Sekadar istirahat, mengumpulkan bala bantuan, atau mencari teman makan warung depan kampus, aku bisa mampir dulu ke sekretariat redaksi—peduli apa dan biarlah tak tahu malu, meski gara-gara skripsi, aku tidak pernah lagi ke kantor. Opsi mendorong motor sampai kos adalah hal yang sangat mengerikan untuk kubayangkan. Meski biasanya, aku menempuh jarak yang sama untuk berjalan kaki.

“Mbak, kok susah, ya,” kata laki-laki asing tadi, yang sedang mencoba membuka jok motor. Aku ikut mencoba.

“Iya e, Mas, susah,” timpalku membenarkan, dengan kunci motor yang disambut dia lagi. Melihat usaha kami, Bu Bensin yang sedang memindahkan bensin dari jeriken dengan corong besar ke botol-botol kaca di rak kayu mendekat, ikut mencoba, tapi gagal.

Aku cemas. Bukan karena jok motor tidak juga terbuka. Bukan pula karena jalanan semakin ramai mahasiswa yang barangkali baru menyelesaikan praktikum atau asistensi. Tapi hari sudah semakin larut. Laki-laki ini seharusnya pergi ke masjid. Bukan mencoba mengisikan bensinku bahkan ketika ada penjualnya. “Sudah maghrib nih, Mas,” kataku. Maksudku, mungkin jamaah sudah mulai dan ia tertinggal.

Dia melirikku, tersenyum, sembari masih mencoba membuka jok. “Nggak papa, Mbak, santai aja saya. Tadi habis bensin di mana?”

Kuceritakan secara singkat kronologi yang kualami, dan begitu saja jok motor terbuka. Laki-laki itu terlihat sumringah. Segera memasukkan bensin tanpa bantuan corong, menutup kembali jok motor, menyalakan motor, dan tersenyum. “Sudah ya, Mbak,”

Aku mengangguk, berterima kasih. Setelah laki-laki itu pergi dengan arah yang berbeda dari arah datangnya, aku mengulurkan sejumlah uang ke Bu Bensin. Berniat membayar.

Tapi ucapan beliau membuatku tersentak. “Bukan bensin saya,” kata Ibu itu, santai. Masih sibuk dengan beberapa botol kaca yang belum terisi bensin. Loh? Aku bingung. “bensin masnya,” Bu Bensin melanjutkan. 

“Tapi saya nggak kenal orang tadi, Bu,” aku masih bingung. Terkejut. Otakku belum mampu mencerna apa yang baru saja terjadi. “Ibu kenal?”

Bu Bensin menggeleng. “Berarti dikasih masnya. Udah, nggak papa.”

Aku yang masih bingung pamit pada Bu Bensin. Sembari melajukan motor, sederet pertanyaan tentang laki-laki tadi memenuhi pikiranku. Dari mana dia tahu aku kehabisan bensin? Untuk apa ia susah-susah menghampiriku yang berada di tempat penjual bensin? Siapa laki-laki itu? Belum jauh motor berjalan, dia mogok lagi. Tepat di depan gerbang sebuah pesantren dekat kampus kami.

***

Ada tangan-tangan tidak terlihat yang kadang menghampiri kita dengan setangkup perjamuan. Di perjalanan, aku sering kali menemukannya. Jamuan itu kadang berupa kebaikan hati dari seorang sopir angkot yang mengantarku hingga batas kota saat aku kemalaman—jalur yang sangat jauh dari rute yang biasa ia tempuh. Jamuan itu berbentuk pula sebuah kisah dari gadis muda yang menemaniku berbincang di stasiun Pasar Senen hingga tiba jadwal keberangkatan, tangis dari ibu paruh baya yang duduk di dekatku dalam bis antar kota, atau rentetan keluhan dari laki-laki muda saat pesawat kami mengalami kerusakan di bagian roda.

Kadang, kita terlalu sempit mengartikan kata rezeki. Kita kira, rezeki terbatas pada banyaknya uang, pada bagusnya pakaian, atau mewahnya rumah. Kita duga, rezeki terbatas pada melimpahnya hidangan, pada tingginya nilai, atau beragamnya raihan prestasi. Kita sangka, rezeki terbatas pada kedudukan yang kita capai, pada cantiknya paras, atau pada mulusnya perjalanan kisah cinta. Padahal, rezeki tak sesempit itu. Rezeki itu luas. Luas sekali. Kelapangan hati untuk menerima apa yang telah ditakar-Nya adalah rezeki, keringanan hati dalam beribadah adalah rezeki, perjumpaan dengan orang-orang baik yang memberi pelajaran, juga termasuk dari salah satunya.

Ada banyak hal yang sebenarnya ingin kuceritakan padamu mengenai para perantara kebaikan-kebaikan. Beberapa dari mereka, barangkali adalah orang-orang yang membersamai hari-hari kita, orang-orang yang pernah kita temui di perjalanan, atau orang-orang yang menemui kita dalam doa-doa malamnya, padahal mereka tidak mengenal kita—orang-orang yang dengan kerelaan hatinya melangitkan doa agar Allaah bersedia mengampuni dosa-dosa dan memudahkan urusan-urusan kita.

Kurasa, sebenarnya, kita ini adalah kumpulan dari mereka. Kumpulan doa-doa Ayah, Ibu, saudara, guru-guru, atau bahkan orang-orang yang tidak kita kenal yang juga melangitkan doa. Sebab betapa sering dan siapa sangka Allaah memudahkan urusan kita, karena kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh orang lain. Sebab kebaikan itu memiliki perantara, yang akan membawa kepada kebaikan yang lain. Kuharap, aku dan kamu tak lelah melangitkan doa dan mengusahakan yang terbaik untuk menjadi salah satu dari para perantara kebaikan bagi orang-orang di sekitar kita. Bukan apa-apa. Tetapi, karena kita memang membutuhkannya. Kita sungguh butuh untuk itu. Sebab kita tak pernah tahu, kebaikan mana yang akan mengantarkan kita kepada keridhaan-Nya.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar