Pada salah satu sambutannya, seorang Pakdhe membahas bagaimana labelling masa kini tidak benar-benar dapat dipercaya. Beliau mengingatkan mengenai produk-produk berlabel halal di pasaran yang rupanya tidak benar-benar halal. Label itu hanya dicantumkan tentu agar menjangkau mangsa pasar yang lebih banyak. Pasar muslim, sudah pasti yang jadi sasaran. Produk yang dibahas kali ini merupakan produk-produk impor, disebutkan dengan terang beberapa jenis makanan instan yang sedang populer di kalangan millennial. Aku tentu saja terkejut. Lebih-lebih, aku termasuk penggemar produk tersebut dan beberapa kali mengonsumsinya. Aku tahu, halal saja belum cukup. Ia juga harus thayyib. Tapi saat mendengarnya, aku belum pernah mendapati artikel labelling yang ‘pura-pura’ dan menipu itu. Kupikir, selama ini aku sudah cukup berhati-hati dengan memeriksa dan mengandalkan label halal tercantum dalam setiap kemasan produk yang akan kubeli. Ternyata, tidak menjamin. Selain mengingatkan untuk lebih berhati-hati dalam menjaga kehalalan suatu produk, beliau mengimbau kami untuk ikut andil dalam memajukan ekonomi ummat. Salah satunya dengan berbelanja di warung-warung tetangga muslim.
Ada banyak hal yang lantas kupikirkan ketika terbersit kata label. Dulu, saat menjadi pemimpin redaksi majalah di pers kampus, kami mengangkat isu sentimen antar etnis pada majalah edisi pertama kami. Sentimen ini kemudian berujung stigma, stigma memunculkan sebuah label. Menghadirkan beraneka informasi yang kita maknai, atau biasa kita kenal dengan persepsi. Kukira, hidup memang tidak bisa lepas dari label. Kita memberi label, dan dilabeli. Label ini mendorong kita untuk menampilkan diri sesuai dengan apa yang kita inginkan, meski tidak setiap orang bertindak sebagaimana yang kita harapkan. Kita memilih perilaku untuk mencerminkan diri kita. Kita memiliki konsep diri. Willam James dalam bukunya The Principle of Psychology, mendefinisikan pemahaman mengenai ‘self’ dan ‘identity’. Self menurutnya, merupakan sesuatu yang dapat dikatakan oleh orang lain mengenai diri kita, apa pun. Bukan hanya soal tubuh dan keadaan psikisnya saja.
Self membuat masing-masing kita yang memiliki irisan-irisan sosial lantas mengenal bahwa dia adalah seorang dokter, dia penulis, dia psikolog, dia arsitek, dia pendakwah, dia pedagang, dia dosen dan lain sebagainya. Peran-peran paling kuat yang berada di dalam diri seseorang membuat kita mengenalnya secara sosial. Kita juga memahami bahwa dia orang yang sabar, dia orang yang dermawan, dia ramah, dia memiliki hati yang baik, dia pendiam, dia pemarah, dia culas, pengkhianat, atau dia memiliki hubungan sosial yang buruk. Konsep tersebut terjadi sesuai dengan bagaimana orang-orang bersifat sebagaimana gambaran dirinya.
Dalam waktu yang berdekatan, beberapa teman pernah mengeluhkan tentang kondisi psikisnya yang sedang tidak baik. Mood yang sering berubah secara ekstrim, perasaan tertekan, perasaan tidak dihargai, hingga keinginan untuk melakukan hal-hal di luar nalar dan kondisi sadar. Mereka menyebutkan satu dua penyakit mental dan bertanya padaku apa-apa gejala yang ditimbulkannya. Kupahami mereka sedang mengejarku untuk melabeli diri mereka sebagaimana yang mereka inginkan, tanpa lebih dahulu menceritakan duduk perkaranya dengan lebih jelas. Semudah itukah? Apa yang berubah ketika memang label tersebut tersemat padanya? Apakah akan semakin terpuruk? Semakin menarik diri? Semakin memupuk rasa sedih berkepanjangan? Kadang, aku sering tidak mengerti dengan jalan pikiran manusia.
Kehidupan ini rupanya membuat label menjadi hal yang lebih sering kita anggap sebagai sesuatu yang penting. Kita sering kali memikirkan dengan berhati-hati bagaimana nilai diri dan posisi kita dalam benak orang lain. Kita tentu saja menginginkan orang lain memandang diri kita dengan seluruh sifat-sifat baik yang ada. Meski tidak sepenuhnya mungkin, kondisi ini membuat kita menampilkan seluruh upaya terbaik yang kita miliki. Kita mengusahakan apa pun hingga lupa bahwa kebahagiaan kita tidak ditentukan oleh kehendak dan tafsiran orang lain. Tidak berada pada takaran pengetahuan orang lain. Sayangnya, kita membuang waktu kita untuk berlarut-larut memikirkan hal itu.
Di sisi lain, pernahkah kita menyempatkan waktu untuk memandang diri kita yang sebenarnya? Pernahkah terlintas sebaris tanya, seberapa sering kita berpikir bagaimana kita dalam pandangan Allaah daripada kita dalam bingkai mata manusia? Seberapa sering kita berandai-andai jika Allaah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang diberi kasih sayang-Nya. Seberapa sering kita berharap pada hari yang telah ditentukan, ketika Allaah menempatkan kita dalam barisan orang-orang yang dihamparkan naungan ketika tiada lagi naungan kecuali dari-Nya. Seberapa kuat kita mengusahakan diri kita, agar termasuk dalam mereka yang disebutkan. Orang-orang yang ikhlas, orang-orang yang sabar, orang-orang yang berbuat kebaikan. Pertanyaan itu lantas bertubi-tubi menghujani diriku sendiri …
0 komentar