Pic: Rumaysho |
Hampir dua bulan dari episode sarat seremonial, wisuda sarjana. Di acara tersebut, tak sedikit teman-teman yang memberikan kado padaku sejak selesainya sidang skripsi, yudisium, dan prosesi wisuda. Bingkisan-bingkisan itu datang dari teman-teman dekat, teman organisasi, teman komunitas, hingga teman-teman yang pernah selintas lalu saja kami saling sapa—ini membuatku sungguh terharu. Benarlah yang disabdakan Rosul, tahaddu, tahabbu. Saling memberilah, maka kalian akan saling mencintai. Benarlah, cinta—dengan begitu banyak alasannya—adalah pembuktian. Cinta adalah berbagi. Cinta adalah kata kerja.
Dari sekian banyak
kado, selain buket bunga mawar, buku tetap menjadi daftar barang terbanyak yang kudapatkan. Bermacam
judul. Beragam genre. Beraneka jenis mulai dari novel, buku-buku pengembangan diri, parenting, hingga
biografi. Alasan orang-orang memberiku buku, tentu saja karena mereka tahu aku
dekat dengan buku. Aku suka membaca, aku menulis. Aku berhubungan dengan
orang-orang yang juga banyak berkecimpung di dunia literasi. Tapi dari sekian
banyak orang, ada beberapa yang memberi kado kepadaku dengan asas
kebermanfaatan. Biar menjadi jariyah yang mengalir, begitu ungkap salah
satunya. Diterangkan dengan lebih jelas, misal aku membaca buku, dan wawasan di
dalamnya aku sebarkan, di situ lah letak ‘investasi’ yang dia simpan. Salah satu
amal yang tidak terputus, memang ilmu yang bermanfaat, kan?
Tetapi, tanpa
dibincangkan oleh pemberi kado lewat secarik surat yang mereka selipkan, aku
melihat nilai kemanfaatan itu pada barang-barang lain yang kudapatkan. Misalnya
saja, peralatan sholat, hijab, hingga perkakas rumah tangga—sungguh, aku dapat
kado ini! Barang-barang tersebut, tentu memiliki nilai kemanfaatan yang besar
bukan? Bayangkan saja, aku memakai hijab untuk membantuku taat pada kewajiban menutup aurat bagi seorang muslimah, bayangkan mukena yang diberikan oleh seorang teman, kugunakan untuk shalat berjamaah, untuk tilawah, untuk ta’lim sesekali. Berapa banyak
aliran kemanfaatan yang didapatkannya? Bayangkan jika mukena itu kukenakan di
bulan Ramadhan, bulan dilipatgandakannya setiap kebaikan, maa syaa Allah. Bayangkan
jika perkakas rumah tangga—teflon misalnya, kugunakan memasak untuk keluarga. Untuk
menghidangkan sahur dan buka. Untuk menyuburkan rasa cinta di antara keluarga—lewat
masakan. Bukankah pahala akan mengalir ke pemberi jua?
Barang-barang tersebut,
telah tampak nilai kemanfaatannya dengan jelas. Tak mungkin bukan, mukena
dipakai untuk jogging? Sangat tak lazim juga jika kita mengganti gayung dengan teflon.
Manusia, kupikir sama. Nilai diri kita ditentukan oleh sejauh mana
kebermanfaatan kita. Bukan dengan seberapa terkenalnya kita di jagat maya. Bukan
dengan fasihnya kita menceritakan jalan cerita atau menyebut tokoh-tokoh dalam
tayangan di bioskop. Bukan dengan deretan foto-foto diri di tempat yang sedang
banyak dikunjungi. Nilai diri kita, dilihat dari sejauh mana kita bermanfaat
untuk hati, untuk diri, untuk ummat dan generasi nanti. Ada begitu banyak
potensi diri. Ada banyak ladang-ladang amal yang menunggu untuk kita jamah. Ada
kebaikan-kebaikan yang menuntut kontribusi. Nilai diri kita, tampaknya
telah terlihat jelas pada tujuan kita ada. Semoga dengannya, kita bisa
mengambil sebenar-benar makna. Setiap laku, setiap peristiwa. Agar tiada
sesuatu yang terjadi, kecuali dalam arah, bimbingan, dan keridhaan-Nya.
0 komentar