Kadang, Kita Perlu Merasa Kehilangan

By Zulfa Rahmatina - 3:18 PM

Source: tumblr

Entah kenapa, kabar-kabar kehilangan terasa lebih menyayat ketika Ramadan. Lukanya lebih dalam. Meski sebenarnya kita tidak benar-benar kehilangan. Maksudku, kabar kematian kali ini datang dari ayah salah satu adik tingkatku di SDIT. Senja terakhir Sya’ban 1440 H, tepatnya. Begitu cepat. Ketika desus tentang masuk rumah sakitnya sang ayah, hanya berjarak dua hari dari hari kematiannya. Hari-hari terakhir Sya’ban pula linimasa WhatsApp dan situs resmi kampus mengabarkan dua orang mahasiswa aktivis yang meninggal dalam suatu kecelakaan. Laki-laki, menyusul perempuan—aku tidak mengenal, tidak satu pergerakan. Tapi teman-teman dekatku, rupanya teman-teman dekatnya. Berita yang dilansir oleh Tribunnews kubaca mengenai kronologinya. Kematian selalu meninggalkan pembelajaran.


Kehilangan, tentu saja bukan hanya soal kematian. Tapi kematian, menurutku adalah satu kehilangan paling menyakitkan yang ada di kehidupan fana ini. Meski kematian merupakan fase awal untuk kehidupan yang hakiki. Meski kematian, bukan merupakan sebenar-benar perpisahan. Kematian hanya soal jadwal keberangkatan. Jika aku lebih dulu, barangkali jadwal keberangkatan yang ditetapkan untukku memang pagi. Sedang kamu masih nanti, tengah siang atau dini hari. Kematian bukanlah perpisahan. Sedang sebenar-benar perpisahan adalah jika kita berada di neraka, sementara orang yang kita cintai singgah di syurga—atau sebaliknya. Tapi, siapa yang bisa menjamin jika kematian tidak benar-benar memisahkan kita dengan orang yang kita sayangi? Siapa yang bisa memastikan kita kelak akan berkumpul di jannah sedang tak tampak apa yang bisa dibanggakan dari amal diri.


Kematian lebih dari kehilangan kita terhadap seorang teman bercakap yang tiba-tiba tidak berkabar. Lebih dari seorang anak yang tak pulang-pulang di tanah rantau. Lebih dari harapan-harapan palsu yang pernah dipupuk lalu terburai. Lebih dari seluruh patah hati yang pernah ada. Kematian, tak pernah menyenangkan. Jika pun akhirnya kemudian kita menerima suatu kehilangan, bukankah memang ikhlas dan ukurannya, tak selalu dinilai dari ringannya hati dalam menerima setiap ketetapan?   


Tetapi kadang, rasa-rasanya, kita memang perlu kehilangan. Kita butuh merasa kehilangan untuk mengerti arti menghargai. Belajar rela, dan tak terlalu memeluk erat-erat apa yang terlihat dekat. Nyatanya, semuanya adalah titipan. Tak ada yang benar-benar kita miliki. Waktu, jarak, bahkan hati dan perasaan ini.


Tanpa kehilangan, seringkali kita dengan mudah menyia-nyiakan apa yang dekat. Mencari-cari apa yang tak kunjung terlihat. Yang ada tiada dianggap. Yang jauh, malah senantiasa diharap. Jika suatu saat nanti kita kehilangan harap, jika harapan-harapan yang kita pupuk suatu saat membuat kita jatuh, membuat kecewa itu tumbuh, melapangkan dada adalah penawar atas setiap ketetapan-Nya. Saat itu, mulailah berbenah. Mulailah bertumbuh. Mulailah berhenti mengeluh. Biarkan Allah menjadi satu-satunya pengharapan kita. Yang tiada pernah meninggalkan hamba-Nya. Yang selalu ada bagaimanapun cacatnya laku dan kata-kata. Yang mencabut apa-apa yang buruk dan tak layak dari kita. Yang memberi bahkan saat kita alpa untuk menengadahkan pinta. Jika suatu saat aku atau kamu hilang, dan itu terlampau menyakitkan, semoga kita senantiasa ingat. Allah, cukup bagi kita.


Ramadhan 1440 H, day 1.
Semoga Ramadhan semakin mendewasakan.  

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar