Mengunjungi Masa Lalu

By Zulfa Rahmatina - 7:18 AM


Siang itu terik, bercurah-curah. Sang surya menumpahkan seluruh sinarnya di sepanjang jalan Slamet Riyadi (20/03). Laju deru kendaraan dan asap knalpot meraung-membumbung saling berkejaran mencoba menjadi yang paling lesat. Barangkali agar lekas sampai pada pulang yang membawa kedamaian. Bertemu dengan orang terkasih, atau sekadar merebahkan badan melepaskan kepenatan. Tapi tujuan kami berbeda.

Dari Slamet Riyadi, motor kami berpacu dalam waktu hingga sampai di bilangan Bahayangkara, Sriwedari, Laweyan. Dengan beberapa bantuan dari orang-orang yang mengarahkan kami pada tempat yang hendak kami tuju, akhirnya redaksi Pabelan Pos sampai pada sebuah bangunan megah dengan dominan warna emas, Museum Keris. Lampu besar yang menggantung di langit-langit pelataran, pilar-pilar kokoh yang menopang di setiap sisi, menyeruakkan gelora perjuangan bagi siapapun yang memandangnya.

Wangi gaharu dan denting suara gamelan perlahan menyusup ke paru dan gendang, menyambut siapa pun yang masuk ke bangunan dengan satu lantai basement dan empat lantai utama tersebut. Sebelumnya, pengunjung diharuskan membayar sejumlah retribusi sesuai dengan harga yang telah ditentukan, dengan tiket masuk yang sangat terjangkau. Yakni, Rp 5.000 untuk pelajar, Rp 7.500 untuk masyarakat umum dan Rp 20.000 untuk turis mancanegara. Harga tersebut tentu sangat murah, tidak sebanding saat pemandu mulai memamerkan pamor yang mengisi dinding-dinding ruangan. Di lobby tersebut pengunjung akan dibuat kagum dengan fakta banyaknya macam pamor keris dengan motif berbeda-beda di setiap belahnya. Pamor yang berasal dari kata amor atau awor (dari bahasa Jawa) memiliki arti berpadu atau paduan. Pamor tersebut tentu saja disesuaikan dan menyesuaikan karakteristik dari keris itu sendiri. Selain pamor, terdapat sejumlah tulisan mengenai sejarah keris di Indonesia.

Dengan menaiki tangga, pemandu lantas mengajak redaksi Pabelan Pos berada di lantai tiga. Lantai yang mengenalkan pengunjung pada komponen-komponen keris, sementara lantai berikutnya adalah lantai yang memperkenalkan produksi keris. “Keris terbuat dari tiga bahan baku,” kata pemandu menjelaskan. “besi, baja, dan pamor. Orang-orang dahulu itu jarang mencatat, tapi lebih ke monumental. Salah satunya keris ini,” terangnya. Lebih jauh lagi, redaksi mencatat bahwa museum yang kabarnya diprakarsai oleh Jokowi dan diresmikan pada 9 Agustus 2017 silam tersebut mempunyai ribuan keris yang kebanyakan berasal dari hibah para bangsawan, pencinta kebudayaan, hingga masyarakat biasa, “Tapi yang didisplay sekitar dua ratus lima puluhan lah,”

Museum yang menampilkan warisan budaya Jawa dengan seni, artefak, dan senjata khas daerah itu membawa redaksi ke masa lalu di mana pada zaman itu, seorang lelaki akan dinilai kesatria jika telah memiliki kuda, rumah, istri, burung, dan keris. “Keris menunjukkan keperkasaan dan ketangguhan seorang laki-laki. Setiap ricikannya mempunyai filosofi. Tetapi bukan berarti keris itu pengundang rezeki. Dia senjata, tanda kehormatan, dan ageman,”. Dalam proses pembuatannya pun, suatu keris akan melewati beberapa tahapan dari acara doa berikut kenduri yang ditafsirkan sebagai tanda syukur kepada Tuhan karena telah diberi kondisi prima saat proses maupun akhirnya. Berkenaan dengan hal tersebut, pengunjung akan dimanjakan dengan proses pembuatan keris melalui diorama atau proses yang dirangkum dalam video visual sejarah perjalanan keris di Indonesia.


Selanjutnya, lantai terakhir adalah masterpiece. Etalase-etalase kaca yang disusun melingkupi koleksi keris-keris terbaik yang dimiliki museum, salah satunya tentu keris hibah dari Presiden Joko Widodo. Selain melihat keris, tentunya pengunjung juga dapat membaca penjelasan tentang kegunaan keris serta bagian-bagian yang dimilikinya. Jadi, mari mengunjungi museum dan temukan rekam jejak bangsa.

*) Ditulis selaku demisioner yang baik pada juniornya wkwk. Tulisan ini dimuat di rubrik Jelajah tabloid Pabelan Pos. Edisinya kok saya lupa yaa—ngga tahu ding wkwk. Oh iya, saya hunting bareng Vicky!



  • Share:

You Might Also Like

0 komentar