Siang
itu terik, bercurah-curah. Sang surya menumpahkan seluruh sinarnya di sepanjang
jalan Slamet Riyadi (20/03). Laju deru kendaraan dan asap knalpot
meraung-membumbung saling berkejaran mencoba menjadi yang paling lesat.
Barangkali agar lekas sampai pada pulang yang membawa kedamaian. Bertemu dengan
orang terkasih, atau sekadar merebahkan badan melepaskan kepenatan. Tapi tujuan
kami berbeda.
Dari
Slamet Riyadi, motor kami berpacu dalam waktu hingga sampai di bilangan Bahayangkara,
Sriwedari, Laweyan. Dengan beberapa bantuan dari orang-orang yang mengarahkan
kami pada tempat yang hendak kami tuju, akhirnya redaksi Pabelan Pos sampai pada sebuah bangunan megah dengan dominan warna
emas, Museum Keris. Lampu besar yang menggantung di langit-langit pelataran,
pilar-pilar kokoh yang menopang di setiap sisi, menyeruakkan gelora perjuangan
bagi siapapun yang memandangnya.
Wangi
gaharu dan denting suara gamelan perlahan menyusup ke paru dan gendang,
menyambut siapa pun yang masuk ke bangunan dengan satu lantai basement dan
empat lantai utama tersebut. Sebelumnya, pengunjung diharuskan membayar
sejumlah retribusi sesuai dengan harga yang telah ditentukan, dengan tiket
masuk yang sangat terjangkau. Yakni, Rp 5.000 untuk pelajar, Rp 7.500 untuk
masyarakat umum dan Rp 20.000 untuk turis mancanegara. Harga tersebut tentu
sangat murah, tidak sebanding saat pemandu mulai memamerkan pamor yang mengisi
dinding-dinding ruangan. Di lobby tersebut pengunjung akan dibuat kagum dengan
fakta banyaknya macam pamor keris dengan motif berbeda-beda di setiap belahnya.
Pamor yang berasal dari kata amor atau awor (dari bahasa Jawa) memiliki arti berpadu
atau paduan. Pamor tersebut tentu saja disesuaikan dan menyesuaikan
karakteristik dari keris itu sendiri. Selain pamor, terdapat sejumlah tulisan
mengenai sejarah keris di Indonesia.
Dengan
menaiki tangga, pemandu lantas mengajak redaksi Pabelan Pos berada di lantai tiga. Lantai yang mengenalkan
pengunjung pada komponen-komponen keris, sementara lantai berikutnya adalah
lantai yang memperkenalkan produksi keris. “Keris terbuat dari tiga bahan
baku,” kata pemandu menjelaskan. “besi, baja, dan pamor. Orang-orang dahulu itu
jarang mencatat, tapi lebih ke monumental. Salah satunya keris ini,” terangnya.
Lebih jauh lagi, redaksi mencatat bahwa museum yang kabarnya diprakarsai oleh
Jokowi dan diresmikan pada 9 Agustus 2017 silam tersebut mempunyai ribuan keris
yang kebanyakan berasal dari hibah para bangsawan, pencinta kebudayaan, hingga
masyarakat biasa, “Tapi yang didisplay sekitar
dua ratus lima puluhan lah,”
Museum
yang menampilkan warisan budaya Jawa dengan seni, artefak, dan senjata khas
daerah itu membawa redaksi ke masa lalu di mana pada zaman itu, seorang lelaki
akan dinilai kesatria jika telah memiliki kuda, rumah, istri, burung, dan
keris. “Keris menunjukkan keperkasaan dan ketangguhan seorang laki-laki. Setiap
ricikannya mempunyai filosofi. Tetapi bukan berarti keris itu pengundang
rezeki. Dia senjata, tanda kehormatan, dan ageman,”.
Dalam proses pembuatannya pun, suatu keris akan melewati beberapa tahapan dari
acara doa berikut kenduri yang ditafsirkan sebagai tanda syukur kepada Tuhan
karena telah diberi kondisi prima saat proses maupun akhirnya. Berkenaan dengan
hal tersebut, pengunjung akan dimanjakan dengan proses pembuatan keris melalui
diorama atau proses yang dirangkum dalam video visual sejarah perjalanan keris
di Indonesia.
Selanjutnya,
lantai terakhir adalah masterpiece. Etalase-etalase kaca yang disusun
melingkupi koleksi keris-keris terbaik yang dimiliki museum, salah satunya
tentu keris hibah dari Presiden Joko Widodo. Selain
melihat keris, tentunya pengunjung juga dapat membaca penjelasan tentang
kegunaan keris serta bagian-bagian yang dimilikinya. Jadi, mari mengunjungi
museum dan temukan rekam jejak bangsa.
*)
Ditulis selaku demisioner yang baik pada juniornya wkwk. Tulisan ini dimuat di rubrik
Jelajah tabloid Pabelan Pos. Edisinya kok saya lupa yaa—ngga tahu ding wkwk. Oh iya, saya hunting bareng Vicky!
0 komentar