Rezim PHP

By Zulfa Rahmatina - 10:05 AM


Jika setiap kunjungan adik-adikku bertanya dan menagihku isu atau berita terbaru di luar pesantren, pertemuan kali ini apa lagi yang kutunggu selain ceritanya. “Seminggu ini banyak sekali wartawan ke kompleks,” tutur Nabil, membuka suara. Nabil datang sendiri ke kosku, Jum'at putra. Aku tidak perlu mengunjunginya. Saudara lain pergi berenang, dan entah. Kubayangkan ada Azzam di antara kami. Dia selalu bercerita dengan ekspresif dan berapi-api, seperti saat ia mengadu padaku tentang amrod dan kekesalannya dengan hukuman ‘ringan’ pada pelakunya. “Kemarin reporter Trans baru aja siaran live,” lanjut Nabil. Kupelajari raut mukanya. “Aku juga baca berita CNN tentang pembatalan pembebasan Ustadz,” ada suara yang tertahan dan mata yang nanar. 

“Kecewa lah, pasti kecewa,” Siapa sih yang tidak kecewa? Nabil bercerita tentang persiapan penyambutan Ustadz Abu di pesantren. Tentang tenda yang telah dipasang, spanduk penyambutan Ustadz Abu yang terbentang, kursi lipat yang siap ditata, jamuan makanan yang siap hidang, dan masjid-masjid di sekitar pondok yang siap menyembelih kambing. Tentang laskar pengawalan. “Aku sebenarnya terpilih, dari 600 santri. Mengamankan bersama 1000 laskar Solo dan FPI,” penyambutan itu akhirnya menjadi doa bersama, dengan blitz kamera di mana-mana. 

Tidak ada yang mengenal Ustadz secara pribadi, santri-santri kini. Saat kasus mencuat, aku berani bertaruh beberapa dari mereka baru lahir, malah banyak yang belum lahir. Saat kasus Bom Bali, aku bahkan masih anak kecil yang gemar membaca Majalah Sabili langganan Abi dan tidak pernah melewatkan rubrik El-Ka Kocakoe. Tapi peristiwa ini tentu saja membuat siapa pun terluka. Kecuali kalau hati mereka telah mati dan nuraninya telah keruh. Cerita kami berlanjut. Betapa aku dan Ummi bergembira dengan kabar pembebasan ini, bergembira dengan Nabil yang sebentar lagi akan bertemu Ustadz. Betapa Nabil juga membayangkan Abi dan paman-paman kami akan melawat ke Solo, mengikuti serangkaian penyambutan dan tasyakuran yang dinanti-nanti. 

Nabil terus berbicara, sembari menyaksikan liputan mengenai kasus yang sedang kami bincangkan di laman YouTube. Nama-nama bermunculan dari mulutnya. Isu keberatan Australia, Yusril Ihza, Wiranto, Ust. Iim, Ust. Wahyudin, dan ustadz-ustadz lain yang belakangan muncul di layar kaca, sikap-sikap pesantren, hingga Bapak Achmad Michdan dan Bapak Mahendradatta selaku Tim Pengacara Muslim yang mendampingi Ust Ba'asyir selama ini.

Aku mendengar baik-baik apa yang Nabil ucapkan, menangkap perasaannya. Lalu teringat sebuah tanya kepada Sayyid Quthb, soalan mengapa kedzaliman masih sering kali menang dan suaranya semakin tinggi? Jawab beliau, “Agar ketika kejatuhannya nanti, dentumannya terdengar kencang dan semua orang mendengar,”

-----------
Sudah kukatakan padamu, Kawan. Di negeri ini, mengharap bahagia datang dari pemerintah, agak sedikit riskan —Andrea Hirata

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar