Karena taat tadi juga menjauhi apa-apa yang dilarang. Jadi misal saudara kita puasa, kita ikut bangun, siapin sahur, sambil niat, “Ya Allah, hari ini saya tidak berpuasa karena menjauhi larangan-Mu,”. Kalau saudara lain baca Qur'an, i'tikaf, dll, niatkan hal yang sama, untuk tidak melanggar apa-apa yang telah diperintahkan-Nya. Maasyaa Allah, betapa berharga adat yang bernilai ibadah hanya karena sebuah niat. Betapa merugi ibadah yang cacat juga dikarenakan niat.
Selain poin niat, dalam hal ini saja kita bisa melihat betapa Maha Adil-nya Allaah. Betapa Maha Kuasa. Betapa apa-apa yang ada ini telah diatur sedemikian rupa. Sedemikian teliti, dan sempurna. Beberapa waktu lalu saat membahas tentang video VICE terkait poligami bersama kakak tingkat dalam pesan WhatsApp, kami sampai pada pembicaraan mengenai isu kesetaraan. Awalnya jujur saya sedikit kesal, karena berpikir bahwa kakak tingkat (laki-laki) itu mengira saya menyetujui feminisme, hanya karena saya berpendapat sah-sah saja menyampaikan bahkan mengingatkan pasangan/suami kalau salah (mungkin bahasa verbal saya yang terlalu emosional saja yang membuat ia 'terkesan' menyimpulkan demikian). Sampai dia mengutip sebuah kata pengantar di buku yang dia baca, bunyinya, “Gerakan feminis menjadikan peran anggota keluarga rusak, karena ingin disetarakan,”
Sontak saya bertanya, “Memang apa menurutmu itu salah?” Well, dan kita sepakat, ada banyak hal yang perlu dikoreksi dalam isu kesetaraan. Lebih-lebih sebagai muslim. Rules yang kami pahami sudah terang. Ada banyak peran yang hanya bisa dilakukan laki-laki, dan ada juga peran-peran yang memang diperuntukkan bagi perempuan. Misalnya di rumah saja, Abi selalu menekankan pembagian peran-peran antara saya dengan adik laki-laki saya. Melarang saya keluar jika tidak bersama dengan adik laki-laki saya (padahal umur kami terpaut jauh, secara fisik dan mental tentu bisa dikatakan saya lebih dulu dewasa), atau meminta saya melayani adik laki-laki saya (bukan dalam artian memanjakan) hanya agar saya mengerti apa-apa saja peran sebagai perempuan.
Kedudukan antara laki-laki dan perempuan ini pun telah diperjelas dalam firman-Nya, ar-rijaalu qowwaamuuna 'alan-nisaaa`i bimaa fadhdholallohu ba'dhohum 'alaa ba'dh, laki-laki memang telah dilebihkan Allah daripada perempuan. Untuk menjadi seorang qawwam. Yakni, seseorang yang harus bisa memberi contoh yang terbaik untuk perempuan, harus lebih berkomitmen dalam kebaikan daripada perempuan, harus bisa melindungi dan menjaga kehormatan perempuan, juga memimpin berikut tanggung jawabnya terhadap diri, ibu, istri, dan saudara perempuannya.
Kata qawwam ini bersanding dengan kalimat selanjutnya, fash-shoolihaatu qoonitaatun haafizhootul lil-ghoibi bimaa hafizhollaah, perempuan shalihat itu adalah yang taat lagi menjaga diri. Kemampuan qanitaat dan hafidzaat ini, jika dihubungkan dengan kalimat sebelumnya, akan muncul secara otomatis jika laki-laki sudah mampu menjalankan peran sebagaimana yang dimaksudkan dalam arti qawwam. Ayat ini menyiratkan terdapat sebuah hikmah yang besar. Bahwa selain keduanya memiliki hubungan timbal balik dengan sangat jelas, masing-masingnya telah memberikan pemaknaan terhadap peran laki-laki dan perempuan dengan jelas pula.
Semoga setelah ini, akan ada banyak hal yang kita sepakati, ya? Maha suci Allaah yang telah menciptakan matahari dan rembulan, siang dan malam, laki-laki dan perempuan. Maha suci Allaah yang dengan karunia-Nya, segala kebaikan menjadi sempurna.
Kendal, 28 Desember 2018.
Rupanya tinggal menghitung hari untuk menuju tahun berikutnya.
Kamu, sudah melakukan kebaikan apa?
Kamu, sudah melakukan kebaikan apa?
0 komentar