Yang Terbekukan oleh Waktu

By Zulfa Rahmatina - 6:21 PM

sehatly.com
“Hati-hati,” Moza meledek, “di ICU, dokter bisa ketularan HIV atau hepatitis akibat nggak berhati-hati tertusuk jarum suntik. Kamu juga bisa mirip klienmu, lho!”

Aneh. Seperti Nararya dengan tiga teman spesialnya di mental health center, aku mendapatkan kebahagiaan berteman dengan orang-orang yang memiliki diagnosa medis F20, skizofrenia.
*
Di kejauhan, lelaki itu sudah melambaikan tangan. Kaos lengan pendek warna hitam dan setelan senada, celana pendek dengan banyak saku yang salah satu bagiannya disusupi korek api menyembul di balik ritsleting setengah terbuka menjadi pilihan kasualnya pagi itu. Sandal japit warna tosca yang tempo hari menjadi perebutan. Ada luka yang mengering di siku sebelah kanannya. Cukup lebar, hasil dari pelampiasannya ketika mengekspresikan perasaan yang kutafsirkan sebagai perasaan bahagia. Kami bersalaman. Begitu saja, lelaki itu pergi. Berbincang dengan teman-temannya yang lain.

Setelah berbicara sesaat dengan penjaga bangsal, aku beranjak. Duduk di bangku sayap kanan dekat kamar dewasa. Di belakangku, lelaki tadi ternyata mengikuti. Duduk di sampingku. Pandangannya selalu lurus ke depan. Menatap pintu berlapis teralis dengan gembok yang kuncinya terselip di saku seragam putih salah satu perawat laki-laki yang selalu menatapku dari ekor matanya ketika aku sedang mengobrol dalam jarak yang sangat dekat dengan orang-orang skizofrenia di bangsal ini. Seperti prihatin, atau pandangan melindungi. Was-was barangkali jika sedetik saja ia berkedip, ia akan membuka mata dan lantas mendapatiku dengan nyawa yang sudah meregang. Aku tahu, perasaan itu sangat beralasan. Dalam diagnosa keperawatan yang mereka kantongi, laki-laki di sekitarku beresiko melakukan perilaku kekerasan entah pada diri sendiri atau orang lain. Terlepas, tentu saja tubuhku lebih kecil jika dibanding dari postur-postur remaja laki-laki di bangsal itu. Atau mungkin pandangan itu bisa ditafsirkan sebagai tatapan heran, mengapa aku terlihat menikmati perbincangan tersebut dan sangat sering mengulum senyum atau saling menertawakan. 

“Kamu mau bantu aku nggak?” kataku, pada lelaki di sebelahku.

Lelaki itu masih menatap celah-celah teralis. Seperti jika terus-terusan ditatapnya, pintu itu akan terbuka. Di luar, akan ada keluarga yang menyambut dengan sekantong kue cokelat juga mungkin setangkai mawar yang dibawakan oleh … kekasihnya. 

Aku pernah sekali berjalan di belakangnya saat kami menyusuri koridor panjang seusai senam dan diskusi kelompok di lapangan instalasi rehabilitas. Berjalan dari ujung hingga ke ujung, kusadari rumah sakit jiwa ini sebenarnya memiliki pemandangan yang menyenangkan. Bangsal-bangsal tersusun seperti paviliun di perbukitan. Ada yang berada di tempat tinggi, ada yang mengisi posisi lebih rendah. Sisi kanan dan kiri dihiasi perdu yang terpangkas rapi. Beberapa bunga yang ranum, merekah warna-warni. Bangsal-bangsal yang diberi nama pewayangan tersebut dipisahkan sesuai jenis kelamin dan tingkat gangguan yang dialami klien.

Aku ingat saat pertama kali bertemu lelaki itu. Di lapangan basket, dia terlihat lihai memainkan bola. Postur yang tinggi dengan gerakan gesit membuat ia tampak seperti lelaki muda yang energik. Yang membedakan hanya, dia mengenakan gelang pengenal warna biru muda yang telah memudar, serta pakaian klien dengan celana kain panjang warna hijau—seperti identitas untuk pesakitan. Keringat dan bekas air kran yang digunakan untuk membasuh mukanya masih menetes mengiringi gerak tubuhnya.

“Kamu mau bantu aku nggak?” ulangku, sekali lagi. Meminta kesadarannya.

Ia menatap beberapa lembar HVS yang kubawa. Kurespon perhatiannya itu dengan mengeluarkan pula dua pensil HB dari saku almamaterku. Kuletakkan di samping lembaran kertas.

“Mau Mbak, tapi …”

Setelahnya, ia menceritakan bahwa dirinya sering mendengar suara-suara yang berbeda dari telinga kanan dan kirinya, bahwa dia sering melihat sebuah bayangan hitam besar. Atau sosok-sosok lain yang menatapnya tajam. Ia memperagakan bagaimana saat itu ia lantas menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Kamu ketakutan?” tanyaku.

Lelaki itu mengangguk, beberapa kali anggukan. Terlihat sungguh-sungguh. Jawabannya membuat hatiku tersayat. Otakku tanpa basa-basi memutar melodi dari Fur Elise dengan gema yang berulang. Rasanya seperti hempas di ruang kesendirian tanpa siapa pun bisa menemukan. Beberapa saat setelahnya, dia tersentak. Berdiri mendadak, meninggalkanku. Aku ingin meraih lengannya, memintanya duduk, berbincang lebih lama. Fokusku telah menghilangkan alarm waspada. Aku lupa—atau tidak ingin peduli—jika dia bisa saja melakukan hal yang tidak terduga. Yang kuinginkan saat itu adalah keterbukaannya dalam waktu yang lama. Akan tetapi, ...

“Aku pusing,” katanya.

Aku mengamatinya pergi tanpa sempat meminta maaf. Kulihat dia bergabung dan tertawa dengan teman-teman penyandang skizofrenia yang lain. Skizofrenia, gangguan jiwa berat yang ditandai dengan ketidakacuhan, halusinasi, delusi, waham, dan kesulitan membedakan antara realitas dan khayalan. Sesuatu yang dianggap awam sebagai tidak waras. Tidak waras. Gila. Gila? Apakah ukuran waras adalah hanya karena sesuatunya tidak dilakukan oleh kebanyakan orang? Padahal, jika berada di tengah-tengah mereka, aku merasa seperti terbekukan oleh waktu. Aku tidak ingin detak jam berputar. Aku menikmati waktu bersama orang-orang yang kuyakini telah dipilih Tuhan dengan benar-benar. Orang-orang spesial yang menanggung beban, lebih daripada orang kebanyakan. Bersama mereka, kulihat sudut lain yang di luar sana mustahil kudapatkan. Pancaran mata mereka, tawanya, ledakan emosi yang tidak terduga. Sebuah ketulusan. Ketulusan yang murni.

Lelaki itu kembali dengan cangkir bubur kacang yang telah tandas ditenggaknya, bergabung bersama kami. Ia meletakkan cangkir di meja. Berbalik sesaat, menatap kami bergantian, bingung, “Mana bubur kacangku tadi?”

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar