blog.cleriti.com |
***
Ponselku
bergetar. Kubiarkan beberapa saat, beralih dari buku yang kubawa untuk
menemaniku ke kantin, pada semangkuk soto yang juga tak tersentuh. Masalah KRS
pasti masih menjadi topik yang memenuhi chatroom-ku. Bergetar, sekali lagi. Kuraih ponsel, membuka pesan dan melihat pengirim, aku tersedak. Dua hari tidak bertemu nasi
membuatku semakin merasa lemas ketika akhirnya memaksakan diriku terpenuhi
asupan gizi. Tapi aku bergegas. Meneguk air banyak-banyak dari botol minumku, membayar
kudapan, lalu keluar, memutar jalan.
Tujuanku
tidak lagi gedung Instalasi Psikologi. Aku melewati koridor yang landai. Dua bangsal
yang pertama menyambutmu setelah registrasi adalah bangsal akut yang dipisahkan
berdasar jenis kelamin. Biasanya, aku memperlambat langkah dan
mengamati klien psikotik yang beberapa dari mereka masih diikat. Kali itu aku mempercepat
langkah. Di kanan kiri, rekahan bunga yang biasanya juga kutatap lamat saat itu
bahkan tidak kulirik. Beberapa perawat yang mengenal—wajahku—menyapa dan
kubalas dengan anggukan singkat. Tujuanku satu, paviliun paling belakang, di
dataran terendah, yang terpisah dari bangsal-bangsal lainnya—kupikir, tentu ada
hubungan antara letak dan orang-orang yang berada di dalamnya.
Sepanjang
perjalanan, membayangkan sesosok wajah yang menjadi tujuanku saat itu membuat
dadaku kembali basah saat teringat percakapan kami tempo lalu. Dia berbicara
kematian. Tidak, tidak. Dia ingin mati. Dia tidak takut mati. Itu yang
dikatakannya berulang, yang berulang pula kuabaikan. Ketika akhirnya aku
mencoba menangkap emosinya dengan bertanya kenapa, dia menatapku heran. “Bukankah
semua ini tidak ada gunanya?” jawabnya. Hatiku merintih.
Satu
jam sebelumnya, aku menonton dia bermain voli. Tak sulit mengenalinya. Sosok jangkung
itu kulihat melalui celah jaring. Tersenyum, melambai pada kami, dan
melanjutkan permainannya. Sudah kukatakan saat berolahraga, tak ada yang
membedakannya dengan lelaki muda lain yang energik. Tak ada yang beda pula
ketika usai olahraga, dia duduk di lantai sembari menyesap susu putihnya. Menyapaku
sekadarnya, dan kembali memainkan bola. Lelaki itu tampak menjadi pusat
perhatian setelah sebelumnya wanita-wanita dari bangsal lain yang tidak lagi
muda bahkan mengajaknya berkenalan. Aku rasa, tidak ada yang istimewa dari
lelaki jangkung itu selain, dia orang yang menyenangkan untuk dilibatkan dalam
pertemanan.
Perbedaan
berarti tampak ketika aku mengunjungi bangsalnya setelah makan siang. Ia membanting-banting
gayung di depanku, berulang, membiarkannya retak, tertawa-tawa. Aku mengira-ira apakah saat
melakukannya, ada sudut lain dari dirinya yang menangis?
“Nanti
pecah,” kataku.
“Sudah
pecah.”
Setelah
itulah dia membicarakan kematian. Kualihkan pembicaraan ke topik yang lain,
tapi ia bergeming. Perang. Kematian. Latihan fisik. Itu saja yang diucapkannya.
Tanpa perawatan, fantasi dapat mengambil alih. Kepadanya yang bertelanjang
dada, aku menggertak keras saat ia menendang pria paruh baya yang ingin
berbincang denganku.
“Tidak
sopan, tidak baik,” aku mengingatkan.
Lelaki
itu tak acuh.
Di
kejauhan, kulihat sekeliling bangsal sepi. Tidak ada teriakan-teriakan yang biasa
kudengar. Orang menyanyi, bersahutan saling memanggil dengan bangsal di
seberang, atau suara orang mengaji keras-keras. Di depan bangsal hanya ada dua
pegawai kebersihan yang baru kukenal sehari sebelumnya. Firasatku benar. Aku terlambat.
Di rumah sakit, klien yang mengunjungi instalasi rehabilitas minimal 4 kali dan
menunjukkan perubahan signifikan selama upaya pemulihan diizinkan untuk pulang.
Aku menghitung berapa kali aku menemuinya di instalasi rehabilitas. Saat dia
main bola, saat dia menyanyi, saat dia main bola, saat dia menyanyi, saat senam
pagi, saat dia main bola …
“Baru
saja pulang,” kata perawat laki-laki yang kuakrabi sebagai pemegang kunci
bangsal. Ia menekankan intonasi pada
kata baru saja. Seolah-olah mencibir
bahwa aku terlalu lambat. Perawat itu keluar. Aku mengikutinya, berjalan bersisian.
Aku
ingin bertanya pada perawat tentang seseorang yang ingin kutemui. Apakah dia telah membaik? Maksudku, dia terlihat sangat kokoh
di luar dan rapuh dengan hati seperti spons yang berlubang di bagian dalam. Itu yang kupelajari
dari orang-orang skizofrenia. Orang dengan skizofrenia merespons dengan caranya
sendiri yang tak seperti cara yang ditempuh oleh kebanyakan. Itulah mengapa
kata tak waras menjadi sematan. Tapi,
berada di dekat mereka membuatku seperti sebenar-benar manusia. Aku belajar
berbicara dengan hati, belajar menangkap setiap emosi, belajar berempati. Kurasa,
dalam hal ini aku memang melibatkan emosi terlalu banyak.
“Kau
dari psikologi? Bisa baca pikiranku?” Aku mengulum pertanyaanku saat perawat di
sampingku mengajak bicara.
“Kau
pasti sedang berpikir apa aku bisa benar-benar membaca pikiranmu,” kataku
sekenanya.
Kami
tertawa. Dia menebak-nebak apakah aku sarjana atau telah profesi. Aku menanyakan
apakah perawat itu yang sedang menempuh profesi ners dan dia terbahak. Jika profesi,
kepalanya akan meledak, katanya. Kami membayangkan jika hari-hari di bangsal
tak akan sama lagi. Klasik. Kepergian tentu saja akibat dari pertemuan. Tapi ia
seringkali tidak menyenangkan. Seseorang telah hilang. Atau, apakah aku yang terlalu
kehilangan? Bukankah seharusnya aku merasa senang? Tidak, dia tidak hilang. Justru,
dia telah kembali. Keyakinan, tanpa
diragukan lagi, adalah hal yang membuatmu pulang.
0 komentar