Someone is Missing

By Zulfa Rahmatina - 7:37 AM

blog.cleriti.com
Kau tahu mimpi buruk skizofrenia? Tidak mengetahui apa yang benar. Bayangkan, jika kau tiba-tiba belajar kalau orang-orang, tempat-tempat, dan saat-saat paling penting untukmu, tidak pergi, tidak mati, tapi lebih parah; tidak pernah. Neraka macam apa yang seperti itu?
***
Ponselku bergetar. Kubiarkan beberapa saat, beralih dari buku yang kubawa untuk menemaniku ke kantin, pada semangkuk soto yang juga tak tersentuh. Masalah KRS pasti masih menjadi topik yang memenuhi chatroom-ku. Bergetar, sekali lagi. Kuraih ponsel, membuka pesan dan melihat pengirim, aku tersedak. Dua hari tidak bertemu nasi membuatku semakin merasa lemas ketika akhirnya memaksakan diriku terpenuhi asupan gizi. Tapi aku bergegas. Meneguk air banyak-banyak dari botol minumku, membayar kudapan, lalu keluar, memutar jalan.

Tujuanku tidak lagi gedung Instalasi Psikologi. Aku melewati koridor yang landai. Dua bangsal yang pertama menyambutmu setelah registrasi adalah bangsal akut yang dipisahkan berdasar jenis kelamin. Biasanya, aku memperlambat langkah dan mengamati klien psikotik yang beberapa dari mereka masih diikat. Kali itu aku mempercepat langkah. Di kanan kiri, rekahan bunga yang biasanya juga kutatap lamat saat itu bahkan tidak kulirik. Beberapa perawat yang mengenal—wajahku—menyapa dan kubalas dengan anggukan singkat. Tujuanku satu, paviliun paling belakang, di dataran terendah, yang terpisah dari bangsal-bangsal lainnya—kupikir, tentu ada hubungan antara letak dan orang-orang yang berada di dalamnya.

Sepanjang perjalanan, membayangkan sesosok wajah yang menjadi tujuanku saat itu membuat dadaku kembali basah saat teringat percakapan kami tempo lalu. Dia berbicara kematian. Tidak, tidak. Dia ingin mati. Dia tidak takut mati. Itu yang dikatakannya berulang, yang berulang pula kuabaikan. Ketika akhirnya aku mencoba menangkap emosinya dengan bertanya kenapa, dia menatapku heran. “Bukankah semua ini tidak ada gunanya?” jawabnya. Hatiku merintih.

Satu jam sebelumnya, aku menonton dia bermain voli. Tak sulit mengenalinya. Sosok jangkung itu kulihat melalui celah jaring. Tersenyum, melambai pada kami, dan melanjutkan permainannya. Sudah kukatakan saat berolahraga, tak ada yang membedakannya dengan lelaki muda lain yang energik. Tak ada yang beda pula ketika usai olahraga, dia duduk di lantai sembari menyesap susu putihnya. Menyapaku sekadarnya, dan kembali memainkan bola. Lelaki itu tampak menjadi pusat perhatian setelah sebelumnya wanita-wanita dari bangsal lain yang tidak lagi muda bahkan mengajaknya berkenalan. Aku rasa, tidak ada yang istimewa dari lelaki jangkung itu selain, dia orang yang menyenangkan untuk dilibatkan dalam pertemanan.  

Perbedaan berarti tampak ketika aku mengunjungi bangsalnya setelah makan siang. Ia membanting-banting gayung di depanku, berulang, membiarkannya retak, tertawa-tawa. Aku mengira-ira apakah saat melakukannya, ada sudut lain dari dirinya yang menangis?

“Nanti pecah,” kataku.

“Sudah pecah.”

Setelah itulah dia membicarakan kematian. Kualihkan pembicaraan ke topik yang lain, tapi ia bergeming. Perang. Kematian. Latihan fisik. Itu saja yang diucapkannya. Tanpa perawatan, fantasi dapat mengambil alih. Kepadanya yang bertelanjang dada, aku menggertak keras saat ia menendang pria paruh baya yang ingin berbincang denganku.

“Tidak sopan, tidak baik,” aku mengingatkan. 

Lelaki itu tak acuh.  

Di kejauhan, kulihat sekeliling bangsal sepi. Tidak ada teriakan-teriakan yang biasa kudengar. Orang menyanyi, bersahutan saling memanggil dengan bangsal di seberang, atau suara orang mengaji keras-keras. Di depan bangsal hanya ada dua pegawai kebersihan yang baru kukenal sehari sebelumnya. Firasatku benar. Aku terlambat. Di rumah sakit, klien yang mengunjungi instalasi rehabilitas minimal 4 kali dan menunjukkan perubahan signifikan selama upaya pemulihan diizinkan untuk pulang. Aku menghitung berapa kali aku menemuinya di instalasi rehabilitas. Saat dia main bola, saat dia menyanyi, saat dia main bola, saat dia menyanyi, saat senam pagi, saat dia main bola …

“Baru saja pulang,” kata perawat laki-laki yang kuakrabi sebagai pemegang kunci bangsal. Ia menekankan intonasi pada kata baru saja. Seolah-olah mencibir bahwa aku terlalu lambat. Perawat itu keluar. Aku mengikutinya, berjalan bersisian. 

Aku ingin bertanya pada perawat tentang seseorang yang ingin kutemui. Apakah dia telah membaik? Maksudku, dia terlihat sangat kokoh di luar dan rapuh dengan hati seperti spons yang berlubang di bagian dalam. Itu yang kupelajari dari orang-orang skizofrenia. Orang dengan skizofrenia merespons dengan caranya sendiri yang tak seperti cara yang ditempuh oleh kebanyakan. Itulah mengapa kata tak waras menjadi sematan. Tapi, berada di dekat mereka membuatku seperti sebenar-benar manusia. Aku belajar berbicara dengan hati, belajar menangkap setiap emosi, belajar berempati. Kurasa, dalam hal ini aku memang melibatkan emosi terlalu banyak.

“Kau dari psikologi? Bisa baca pikiranku?” Aku mengulum pertanyaanku saat perawat di sampingku mengajak bicara.

“Kau pasti sedang berpikir apa aku bisa benar-benar membaca pikiranmu,” kataku sekenanya.

Kami tertawa. Dia menebak-nebak apakah aku sarjana atau telah profesi. Aku menanyakan apakah perawat itu yang sedang menempuh profesi ners dan dia terbahak. Jika profesi, kepalanya akan meledak, katanya. Kami membayangkan jika hari-hari di bangsal tak akan sama lagi. Klasik. Kepergian tentu saja akibat dari pertemuan. Tapi ia seringkali tidak menyenangkan. Seseorang telah hilang. Atau, apakah aku yang terlalu kehilangan? Bukankah seharusnya aku merasa senang? Tidak, dia tidak hilang. Justru, dia telah kembali. Keyakinan, tanpa diragukan lagi, adalah hal yang membuatmu pulang

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar