Helen Keller yang buta tuli pernah bertanya pada guru Sallivan
arti dari kata ‘cinta’.
“Apakah
cinta itu seperti harum dari bunga ini?” katanya.
“Cinta bukanlah harum dari
sebuah bunga,” itulah yang dikatakan guru Sallivan dan Helen pun berpikir,
“Apakah cinta itu seperti kehangatan sang mentari?”
*
Hari
ini aku mengunjunginya lagi. Pemuda-pemuda di bangsal yang mulai kuakrabi. Dua bilik
bangsal yang Kamis lalu masih penuh, sekarang kosong. Kutanyakan kepada salah
satunya, “Ke mana dia?”
“Sudah
pulang, Mbak.”
Aku
tidak menjawab. Untuk sesaat, jujur, aku merasa kehilangan. Masih kuingat
pemuda yang usianya 3 tahun di atasku itu bercerita dengan senyum mengembang bahwa
ia baru saja diwisuda, bahwa ia sudah memiliki rumah sendiri, bahwa ia akan
mulai sungguh-sungguh bekerja. Lain waktu, dia mengeluh karena di dalam bangsal
tidak memiliki Al Qur’an dan tidak bisa melaksanakan sholat Jum’at. Cepat-cepat
kutepis bayangnya. Bukankah seharusnya aku bahagia? Itu artinya, kondisinya
sudah membaik. Mungkin pula dia telah menyadari betapa penting minum obat
secara teratur—dan tidak lagi membakarnya. Tidak masalah jika beberapa lembar HVS dan pensil HB yang sengaja kubawakan untuknya menjadi sia-sia belaka.
Pemuda
dengan dalaman kaos di depanku lantas berkata, “Aku masuk dulu Mbak,” Aku
mengingatnya sebagai pemuda yang terluka.
Aku
mengangguk. Di rumah sakit jiwa, setelah makan siang dan minum obat, semua
pasien masuk ke kamar masing-masing dengan teralis—atau kalau kau mau
menyebutnya jeruji—dikunci dari luar. Aku lalu duduk di bangku dekat kamar
mereka. Satu dua pemuda di balik teralis menyapaku. “Mbak, siapa namamu aku
lupa, yang pintar Ar Rahman?” teriak salah satunya. Aku dan teman-temanku
tertawa. Dia yang waktu itu kutantang menghafal Al Qur’an dan kukoreksi beberapa
bagian yang dibacanya dengan serampangan. Karena hanya mengingat awal namaku
dari huruf ‘Z’, sepanjang pertemuan hari ini pemuda itu memanggilku ‘Mbak Ze’,
terserah saja lah.
Suatu
hari, kepada para pemuda itu kutanyakan tentang cinta. Cinta itu, kata salah
satunya, adalah pembuktian lewat menikah. Cinta itu adalah gadis berjilbab di
sebuah warung yang selalu dilewatinya saat menjajakan telur asin. Aku ingin
bertanya apakah cinta pula yang membuat mereka menjadi salah satu penghuni
rumah sakit jiwa. Tapi kata tanya itu tersendat. Aku lebih menikmati senyum
sipu pemuda yang kugoda kenapa dia tidak menjajakan pula telur asin di warung
sang gadis dan berkenalan dengannya, daripada mengungkit-ungkit tentang
penyebab patah di hatinya, lalu luka itu kembali nganga. Jika Freud berada
bersamaku saat itu, mungkin aku akan dihujatnya. Tapi jika Maslow dan Rogers, aku berani bertaruh jika mereka berlaku sebaliknya—mendukungku dan mendengarkan cerita pemuda itu bersama-sama.
Dari mereka, aku semakin yakin jika cinta lebih dari kata kerja. Cinta adalah
sesuatu yang membuat kita ada. Cinta membuat kita tertawa, membuat kita
mengukir kenangan untuk banyak hal, melukis peristiwa, atau bahkan menangis tak
henti-hentinya.
Ketika
tahu ditempatkan di rumah sakit jiwa, bayangan awal adalah, aku ditugaskan di
bangsal-bangsal. Setiap harinya bertemu dengan orang yang memiliki gangguan
jiwa. Tetapi rupanya tidak. Dari gedung Instalasi Psikologi yang terletak di bagian
paling ujung rumah sakit, kami harus menuruni jalanan curam dan melewati
koridor-koridor panjang jika ingin berkunjung ke bangsal. Sebelum masuk
bangsal, kami harus menunjukkan surat dari diklat sebagai pengantar bebas masuk
bangsal. Hari ini pun ada peraturan baru yang tidak kami dapatkan sebelumnya yaitu
kami tidak diperbolehkan mengunjungi bangsal selepas dzuhur, itu artinya
kunjungan kami ke bangsal dipastikan sangat kurang sekali intensitasnya atau
bahkan mungkin tidak akan ada sama sekali karena pagi adalah saat di mana
Instalasi Psikologi sangat sibuk dan memiliki banyak klien.
Kunjungan
ke bangsal bagiku kini tidak lagi dengan orientasi mencari kasus psikotik yang
dapat membantu laporanku nanti. Lebih dari itu, aku merasa berkunjung ke
bangsal menjadi kebutuhan di tengah penat melakukan psikotes atau skoring. Setiap
keluar dari bangsal, ada bagian dari diriku yang berbeda. Penghuni bangsal
membuatku belajar banyak hal terutama tentang sudut pandangku terhadap
kehidupan. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang tulus.
0 komentar