Cinta yang Membuatmu Ada

By Zulfa Rahmatina - 10:57 PM

Tumblr
Apakah kamu pernah membaca otobiografi dari Helen Keller? 
Helen Keller yang buta tuli pernah bertanya pada guru Sallivan arti dari kata ‘cinta’.
“Apakah cinta itu seperti harum dari bunga ini?” katanya.
“Cinta bukanlah harum dari sebuah bunga,” itulah yang dikatakan guru Sallivan dan Helen pun berpikir, “Apakah cinta itu seperti kehangatan sang mentari?”

*
Hari ini aku mengunjunginya lagi. Pemuda-pemuda di bangsal yang mulai kuakrabi. Dua bilik bangsal yang Kamis lalu masih penuh, sekarang kosong. Kutanyakan kepada salah satunya, “Ke mana dia?”

“Sudah pulang, Mbak.”

Aku tidak menjawab. Untuk sesaat, jujur, aku merasa kehilangan. Masih kuingat pemuda yang usianya 3 tahun di atasku itu bercerita dengan senyum mengembang bahwa ia baru saja diwisuda, bahwa ia sudah memiliki rumah sendiri, bahwa ia akan mulai sungguh-sungguh bekerja. Lain waktu, dia mengeluh karena di dalam bangsal tidak memiliki Al Qur’an dan tidak bisa melaksanakan sholat Jum’at. Cepat-cepat kutepis bayangnya. Bukankah seharusnya aku bahagia? Itu artinya, kondisinya sudah membaik. Mungkin pula dia telah menyadari betapa penting minum obat secara teratur—dan tidak lagi membakarnya. Tidak masalah jika beberapa lembar HVS dan pensil HB yang sengaja kubawakan untuknya menjadi sia-sia belaka.

Pemuda dengan dalaman kaos di depanku lantas berkata, “Aku masuk dulu Mbak,” Aku mengingatnya sebagai pemuda yang terluka.

Aku mengangguk. Di rumah sakit jiwa, setelah makan siang dan minum obat, semua pasien masuk ke kamar masing-masing dengan teralis—atau kalau kau mau menyebutnya jeruji—dikunci dari luar. Aku lalu duduk di bangku dekat kamar mereka. Satu dua pemuda di balik teralis menyapaku. “Mbak, siapa namamu aku lupa, yang pintar Ar Rahman?” teriak salah satunya. Aku dan teman-temanku tertawa. Dia yang waktu itu kutantang menghafal Al Qur’an dan kukoreksi beberapa bagian yang dibacanya dengan serampangan. Karena hanya mengingat awal namaku dari huruf ‘Z’, sepanjang pertemuan hari ini pemuda itu memanggilku ‘Mbak Ze’, terserah saja lah.

Suatu hari, kepada para pemuda itu kutanyakan tentang cinta. Cinta itu, kata salah satunya, adalah pembuktian lewat menikah. Cinta itu adalah gadis berjilbab di sebuah warung yang selalu dilewatinya saat menjajakan telur asin. Aku ingin bertanya apakah cinta pula yang membuat mereka menjadi salah satu penghuni rumah sakit jiwa. Tapi kata tanya itu tersendat. Aku lebih menikmati senyum sipu pemuda yang kugoda kenapa dia tidak menjajakan pula telur asin di warung sang gadis dan berkenalan dengannya, daripada mengungkit-ungkit tentang penyebab patah di hatinya, lalu luka itu kembali nganga. Jika Freud berada bersamaku saat itu, mungkin aku akan dihujatnya. Tapi jika Maslow dan Rogers, aku berani bertaruh jika mereka berlaku sebaliknya—mendukungku dan mendengarkan cerita pemuda itu bersama-sama. Dari mereka, aku semakin yakin jika cinta lebih dari kata kerja. Cinta adalah sesuatu yang membuat kita ada. Cinta membuat kita tertawa, membuat kita mengukir kenangan untuk banyak hal, melukis peristiwa, atau bahkan menangis tak henti-hentinya.

Ketika tahu ditempatkan di rumah sakit jiwa, bayangan awal adalah, aku ditugaskan di bangsal-bangsal. Setiap harinya bertemu dengan orang yang memiliki gangguan jiwa. Tetapi rupanya tidak. Dari gedung Instalasi Psikologi yang terletak di bagian paling ujung rumah sakit, kami harus menuruni jalanan curam dan melewati koridor-koridor panjang jika ingin berkunjung ke bangsal. Sebelum masuk bangsal, kami harus menunjukkan surat dari diklat sebagai pengantar bebas masuk bangsal. Hari ini pun ada peraturan baru yang tidak kami dapatkan sebelumnya yaitu kami tidak diperbolehkan mengunjungi bangsal selepas dzuhur, itu artinya kunjungan kami ke bangsal dipastikan sangat kurang sekali intensitasnya atau bahkan mungkin tidak akan ada sama sekali karena pagi adalah saat di mana Instalasi Psikologi sangat sibuk dan memiliki banyak klien.   

Kunjungan ke bangsal bagiku kini tidak lagi dengan orientasi mencari kasus psikotik yang dapat membantu laporanku nanti. Lebih dari itu, aku merasa berkunjung ke bangsal menjadi kebutuhan di tengah penat melakukan psikotes atau skoring. Setiap keluar dari bangsal, ada bagian dari diriku yang berbeda. Penghuni bangsal membuatku belajar banyak hal terutama tentang sudut pandangku terhadap kehidupan. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang tulus.  

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar