Menyepuh Luka

By Zulfa Rahmatina - 2:59 PM


Hari terakhir internship. Aku ingin menikmatinya dengan berkunjung ke bangsal yang beberapa kali kusambangi ketika kepenatan menyeruak. Beberapa penghuni yang kukenal di bangsal tersebut sudah pulang ke rumahnya masing-masing, menunjukkan perubahan ke arah perbaikan yang signifikan. Beberapa yang lain masih harus berkunjung satu-dua kali ke instalasi rehabilitas untuk mendapatkan status BLPL, atau boleh pulang. Sengaja aku memilih jalan yang berbeda. Mengamati berbagai macam instalasi yang terdapat di klinik hingga ke instalasi laundry. Menyadari perdu-perdu yang terpangkas rapi di kanan kiri koridor ini pasti suatu saat akan sangat kurindukan.

Belum sempat sampai ke bangsal yang kutuju, langkah pendek-pendekku terhenti saat pria paruh baya yang berjalan dari arah berbeda menyambutku dengan kata tanya, “Mbak dari Psikologi, kan?”

Aku mengobservasinya sekilas, membuang pandanganku jauh ke arah teralis bangsal. Mencari-cari sosok yang barangkali kukenal—entah perawat atau klien yang mulai kuakrabi. Otakku seperti memberi instruksi waspada, semacam berjaga-jaga mencari pertolongan jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Tapi aku kembali ke pria paruh baya tadi, mengangguk.

“Ya, benar. Saya dari Psikologi,” secara otomatis, dia membimbingku duduk di depan bangsal. Seperti sebuah gazebo rindang dengan keramik, tempat keluarga menjenguk klien psikotik di klinik ini.

Sambil memandangi co-card yang tergantung di dadaku, pria paruh baya itu langsung menghujaniku dengan kisah tentang keponakannya. Memintaku memberikan konseling dan berbangga bahwa keponakannya pernah dijadikan jejak kasus oleh seorang residen. Menawarkanku hal yang sama, apakah aku ingin ‘memakainya’. Ia menekankan bahwa keponakannya adalah pribadi yang baik, lelaki menjelang usia akhir tiga puluhan, seniman, belum menikah dan … buta. Ya, malangnya, keponakan itu terenggut penglihatannya saat sedang duduk di tahun kedua bidang studi teknik mesin.

Aku menggeser tubuhku hingga pria paruh baya tadi terhindar dari melihat kartu pengenalku. Saat itu aku lantas teringat jika suatu hari, seorang penderita skizofrenia mengeja namaku diam-diam dan berkata, “Nama yang bagus.” Ucapannya sungguh mengembangkan dadaku. Tidak mudah membuat penderita skizofrenia tertarik akan sesuatu yang jauh bagi pengalaman realita dan khayalannya. Apalagi aku adalah orang asing yang tiba-tiba ingin tahu tentang hidupnya. Tentang masa lalunya. Tentang kelekatannya dengan keluarga. Tentang luka-luka yang belum tersembuhkan. Hingga, mendapat respon seperti itu membuat hatiku gembira tak terperi. Aku mengucapkan terima kasih dan dia tersenyum.

“Saya tidak mau memasukkannya ke rumah sakit jiwa, dia cuma butuh wejangan dari psikologi,” pria paruh baya tadi membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya malang. Sayang sekali, aku bukan mahasiswa profesi. Belum memiliki kompetensi. Tidak memiliki wewenang. Sudah kujelaskan jika aku bukan orang yang tepat untuk dimintai bantuan. Aku juga tidak butuh kasus. Kurekomendasikan beberapa biro yang kutahu di kota ini. Salah satunya milik kampus kami. Kutawarkan beberapa psikolog yang kukenali, tapi pria itu mengelak.

“Saya cuma nawarin Mbak,” pria itu ngotot, setengah memaksa. Apa maksudnya?

Kutanyakan pekerjaannya di klinik. Ia mengaku menjadi petugas kebersihan salah satu bangsal. Bangsal yang berdekatan dengan bangsal yang ingin kukunjungi. Kusebutkan sebuah nama dengan hati-hati. Beberapa minggu terakhir, aku tahu nama ini populer di antara penghuni bangsal, petugas medis maupun petugas kebersihan dan pengantar makanan. Pria itu mengangguk, tanda mengenalinya. “Dia subjekku. Kami menggambar bersama-sama,” ucapku. Aku berkata jujur. Kuharap, dia tidak lagi memaksaku.

Kutangkap gurat kecewa di mukanya. Apa boleh buat, tugasku tidak sejauh itu. Pria itu mencoba membuatku menyelami perasaannya. Ia bercerita tentang stigma. Klinik di matanya berubah menjadi suatu kutukan yang teramat mengerikan. Jika kau pernah memasukinya, kau lantas keluar sebagai manusia tak kasat mata. Dikucilkan tetangga, ditolak tempat kerja, dikembalikan hajat lamarannya. Jika tak kuat, kau akan kembali ke klinik. Mendekam beberapa lama, keluar. Dan seluruh rentetan peristiwa itu lantas berulang menjadi seperti lingkaran setan. Stigma. Ya, stigma. Adakah yang lebih luka darinya?  

Walau tidak ingin setuju dengan pernyataannya, aku membenarkan kalimat-kalimat yang meluncur dari mulut pria paruh baya itu. Masyarakat kita memang sangat kurang akan edukasi terlebih terhadap penderita gangguan jiwa. Bagaimana memperlakukan mereka, bagaimana memahami emosinya, bagaimana mengerti jika mereka terkadang kesulitan membedakan antara sesuatu yang nyata dan tiada. Terkadang, aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Mampukah aku, jika suatu saat orang-orang yang paling penting untukku menderita gangguan jiwa? Berbuat sekehendak yang diyakininya. Tak mengerti khayalan dan realita. Atau, bagaimana jika tiba-tiba aku menjadi penderita gangguan jiwa? Mengonsumsi obat sepanjang hidup, dan diasingkan oleh sesama karena kesalahpahaman belaka. Bagaimana? Apakah kita akan tetap saling menguatkan, atau malah saling menyepuh luka.  

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar