Hari
terakhir internship. Aku ingin
menikmatinya dengan berkunjung ke bangsal yang beberapa kali kusambangi ketika
kepenatan menyeruak. Beberapa penghuni yang kukenal di bangsal tersebut sudah
pulang ke rumahnya masing-masing, menunjukkan perubahan ke arah perbaikan yang signifikan. Beberapa
yang lain masih harus berkunjung satu-dua kali ke instalasi rehabilitas untuk
mendapatkan status BLPL, atau boleh pulang. Sengaja aku memilih jalan yang
berbeda. Mengamati berbagai macam instalasi yang terdapat di klinik hingga ke instalasi laundry. Menyadari
perdu-perdu yang terpangkas rapi di kanan kiri koridor ini pasti suatu saat
akan sangat kurindukan.
Belum
sempat sampai ke bangsal yang kutuju, langkah pendek-pendekku terhenti saat
pria paruh baya yang berjalan dari arah berbeda menyambutku dengan kata
tanya, “Mbak dari Psikologi, kan?”
Aku
mengobservasinya sekilas, membuang pandanganku jauh ke arah teralis bangsal. Mencari-cari
sosok yang barangkali kukenal—entah perawat atau klien yang mulai kuakrabi. Otakku
seperti memberi instruksi waspada, semacam berjaga-jaga mencari pertolongan
jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Tapi aku kembali ke pria paruh baya
tadi, mengangguk.
“Ya, benar. Saya dari Psikologi,” secara otomatis, dia membimbingku duduk di depan bangsal. Seperti
sebuah gazebo rindang dengan keramik, tempat keluarga menjenguk klien psikotik
di klinik ini.
Sambil
memandangi co-card yang tergantung di dadaku, pria paruh baya itu langsung
menghujaniku dengan kisah tentang keponakannya. Memintaku memberikan konseling
dan berbangga bahwa keponakannya pernah dijadikan jejak kasus oleh seorang
residen. Menawarkanku hal yang sama, apakah aku ingin ‘memakainya’. Ia menekankan
bahwa keponakannya adalah pribadi yang baik, lelaki menjelang usia akhir tiga
puluhan, seniman, belum menikah dan … buta. Ya, malangnya, keponakan itu
terenggut penglihatannya saat sedang duduk di tahun kedua bidang studi teknik
mesin.
Aku
menggeser tubuhku hingga pria paruh baya tadi terhindar dari melihat kartu
pengenalku. Saat itu aku lantas teringat jika suatu hari, seorang penderita
skizofrenia mengeja namaku diam-diam dan berkata, “Nama yang bagus.” Ucapannya
sungguh mengembangkan dadaku. Tidak mudah membuat penderita skizofrenia
tertarik akan sesuatu yang jauh bagi pengalaman realita dan khayalannya. Apalagi
aku adalah orang asing yang tiba-tiba ingin tahu tentang hidupnya. Tentang masa
lalunya. Tentang kelekatannya dengan keluarga. Tentang luka-luka yang belum
tersembuhkan. Hingga, mendapat respon seperti itu membuat hatiku gembira tak
terperi. Aku mengucapkan terima kasih dan dia tersenyum.
“Saya
tidak mau memasukkannya ke rumah sakit jiwa, dia cuma butuh wejangan dari
psikologi,” pria paruh baya tadi membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya malang. Sayang
sekali, aku bukan mahasiswa profesi. Belum memiliki kompetensi. Tidak memiliki
wewenang. Sudah kujelaskan jika aku bukan orang yang tepat untuk dimintai
bantuan. Aku juga tidak butuh kasus. Kurekomendasikan
beberapa biro yang kutahu di kota ini. Salah satunya milik kampus kami. Kutawarkan
beberapa psikolog yang kukenali, tapi pria itu mengelak.
“Saya
cuma nawarin Mbak,” pria itu ngotot, setengah memaksa. Apa maksudnya?
Kutanyakan
pekerjaannya di klinik. Ia mengaku menjadi petugas kebersihan salah satu
bangsal. Bangsal yang berdekatan dengan bangsal yang ingin kukunjungi. Kusebutkan
sebuah nama dengan hati-hati. Beberapa minggu terakhir, aku tahu nama ini
populer di antara penghuni bangsal, petugas medis maupun petugas kebersihan dan
pengantar makanan. Pria itu mengangguk, tanda mengenalinya. “Dia subjekku. Kami
menggambar bersama-sama,” ucapku. Aku berkata jujur. Kuharap, dia tidak lagi memaksaku.
Kutangkap gurat kecewa di mukanya. Apa boleh
buat, tugasku tidak sejauh itu. Pria itu mencoba membuatku menyelami
perasaannya. Ia bercerita tentang stigma. Klinik di matanya berubah menjadi
suatu kutukan yang teramat mengerikan. Jika kau pernah memasukinya, kau lantas
keluar sebagai manusia tak kasat mata. Dikucilkan tetangga, ditolak tempat
kerja, dikembalikan hajat lamarannya. Jika tak kuat, kau akan kembali ke
klinik. Mendekam beberapa lama, keluar. Dan seluruh rentetan peristiwa itu
lantas berulang menjadi seperti lingkaran setan. Stigma. Ya, stigma. Adakah yang lebih
luka darinya?
Walau
tidak ingin setuju dengan pernyataannya, aku membenarkan kalimat-kalimat yang
meluncur dari mulut pria paruh baya itu. Masyarakat kita memang sangat kurang
akan edukasi terlebih terhadap penderita gangguan jiwa. Bagaimana memperlakukan
mereka, bagaimana memahami emosinya, bagaimana mengerti jika mereka terkadang
kesulitan membedakan antara sesuatu yang nyata dan tiada. Terkadang, aku
bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Mampukah aku, jika suatu saat orang-orang
yang paling penting untukku menderita gangguan jiwa? Berbuat sekehendak yang
diyakininya. Tak mengerti khayalan dan realita. Atau, bagaimana jika tiba-tiba
aku menjadi penderita gangguan jiwa? Mengonsumsi obat sepanjang hidup, dan
diasingkan oleh sesama karena kesalahpahaman belaka. Bagaimana? Apakah kita akan tetap saling menguatkan, atau malah saling menyepuh luka.
0 komentar