Sehari
setelah magang, selepas subuh tepatnya, Ummi menelepon. Dari sambungan, Ummi
tertawa-tawa saat kuceritakan bahwa aku dan dua temanku diminta membaca ayat 28
surat At Taubah rutin selama 5x sehari jika ingin bertambah cantik oleh seorang lelaki
tua yang memanggil melalui jeruji bangsal saat kami berjalan di koridor—pasien
lansia ini memiliki diagnosa medis skizofrenia dan masih berada di bangsal akut.
Setelahnya
Ummi bertanya apakah rumah sakit jiwa tidak menerapkan ruqyah sebagai salah satu bentuk terapi penyembuhan yang mereka gunakan. Pertanyaan ini normal saja, sebab awam
masih banyak yang beranggapan jika sakit mental adalah karena gangguan jin atau
kerasukan. Saat itu kukatakan (mungkin) tidak—karena aku baru sehari berada di
rumah sakit. Tetapi dalam jadwal di Instalasi Rehabilitas setiap Kamis rupanya ada terapi
agama yang dimulai sejak pukul Sembilan hingga mendekati dzuhur. Hanya saja hari ini,
klien—normal maupun psikotik—banyak berdatangan di poli sejak pagi hingga siang dan
membuatku tidak bisa berkunjung ke Instalasi Rehabilitas untuk mengikuti proses terapi
tersebut.
Pertanyaan
yang dilontarkan Ummi sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Dalam perspektif Psikologi Islam, orang-orang dengan gangguan mental adalah mereka yang imannya
lemah. Iman yang lemah tentu akan mudah mengalami gangguan, terutama dari
bangsa jin. Ruqyah, bagi sudut pandang ini lantas menjadi solusi penyembuhan
selain penguatan melalui peningkatan iman.
Seorang
remaja yang kuajak berbicara saat aku bertandang ke bangsalnya mengaku kafir
saat temanku bertanya apa agama yang dia anut.
“Kapan
mulai kafir?” Tanya temanku.
“Hari ini,” jawabnya.
Pasien ini sudah ketiga kalinya berada di rumah sakit dan dengan alasan yang sama, miras. Aku tidak paham apakah cara bicaranya yang sangat cepat dan meracau dikarenakan barang haram itu merusak syaraf-syarafnya atau karena memang begitulah dia berbicara. Yang pasti dari pengakuannya, ia menghabiskan 10 botol minuman keras di pesta perayaan tahun baru kemarin. Kugali pernyataannya tentang pengakuannya menjadi murtad. Remaja itu lalu mengaku lelah dengan Islam karena banyak ceramah dan dia tidak ingin mendengarkan. Itu sebabnya dia memilih Kristen.
“Apakah pendeta tidak berceramah?” aku bertanya lagi.
Tatapannya masih kosong. Seperti menelusuri air mukaku yang terus menatap tepat pada bola matanya, dia berkata, “Aku pindah Budha,” ia menerawang. “Tidak, tidak. Hindu saja.”
Hari
ini usai makan siang dan dengan menerjang hujan, aku kembali mengunjungi bangsalnya yang cukup jauh dari Instalasi Psikologi dan teman yang sebaya dengannya serta sangat vokal itu memberi tahuku jika remaja tadi menganut agama sesuai mood. “Tadi ini dia sholat sama aku. Ya namanya
juga orang gila, Mbak,” sambil mengelus-elus kepala temannya tadi dia tertawa. “Kalau
pagi dia kafir, siang Islam, sore Kristen, malam Hindu,” dia kembali
terbahak-bahak. Aku mengernyit.
Kepada pemuda yang tertawa tadi, ia menerima tantanganku untuk melafalkan
beberapa ayat Qur’an—pemuda ini mengaku hafal juz 25. Dia membaca beberapa ayat permulaan dari surat Al Mulk, An Naba, At Thariq, At Takatsur, Al Bayyinah dan masih
banyak lagi. Mengaku pernah di pesantren, pemuda ini menurut para perawat yang menjaga bangsal mengalami depresi karena ditinggal oleh pacarnya hanya karena dia tidak mempunyai motor. Lain
waktu pemuda ini bercerita bahwa ia memiliki usaha barbershop dan untung yang didapatnya membuat ia mampu membeli
Honda Jazz. Apakah dia membual?
Perawat
praktek yang berbincang denganku memintaku mendekat dan menunjuk beberapa orang
yang masuk karena alasan serupa: patah hati. Ia berkata bahwa kebanyakan mereka
lalu meluapkan emosinya dengan menyerang orang-orang di dekatnya. Itulah mengapa
bahkan ada yang dibawa ke rumah sakit jiwa dengan dikawal oleh 3 orang polisi.
Menyimak
kehidupan penghuni rumah sakit jiwa membuat syukurku seharusnya kian melambung.
Untuk nikmat iman, peluang-peluang menabur kebaikan, jatuh-bangun perjalanan,
kegagalan demi kegagalan dan berbagai hal yang menjadi peneguh kehidupan. Hari ini
di rumah sakit, banyak pengalaman yang kudapat seperti memberi rangkaian tes
pada orang dengan gangguan kejiwaan—ini tidak mudah. Klien dengan keperluan
meminta surat keterangan sehat jiwa juga memberi banyak pelajaran dalam caraku
melakukan skoring dan mengadministrasikan alat tes yang namanya tidak pernah
kudengar sebelumnya di fakultas. Kami mulai membiasakan diri bekerja dan
belajar menguasai alat tes dengan cepat lagi cermat. Sekali lagi, ini tidak
mudah. Tapi jika semua menjadi mudah, kapan kita belajar mengupayakan yang
terbaik?
---------------
*) Ini hari terakhir
teman-teman dari UNDIP magang. Satu-satunya pria di kelompok mereka berbesar
hati membelikan kami makan siang di kantin Faperta UNS dan itu enak, Man. Sungguh.
1 komentar
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete