source: favim.com |
“Tepung
hunkwe 2 bungkus, susu, gula pasir, santan kelapa,” pemuda usia akhir dua
puluhan yang kujumpai di Instalasi Rehabilitas terus memaparkan resep membuat es krim
yang dijualnya tiap Kamis. Keringat masih mengalir usai kami melakukan senam pagi bersama-sama. Aku pun sesekali mengibas jilbab dan mengutuk diriku sendiri mengapa terlalu antusias mengikuti senam pinguin bersama orang-orang dengan gangguan jiwa itu padahal sedang memakai almamater panas dan jilbab yang tebal. Tetapi rupanya hal itu tidak menyurutkan keseruan perbincangan. Kami tertawa saat pemuda tadi salah melafalkan kelapa
menjadi kepala, “dicampur jadi satu, habis itu diputar manual kira-kira dua jam. Jangan
lupa beli, Mbak,” tuturnya. Ada bangga yang terbesit dalam intonasinya.
Aku
mengangguk, menunjukkan ketertarikan pada ceritanya yang menggebu saat
melanjutkan obrolan cara dia membuat telur asin yang juga dijual di rumah sakit
jiwa tersebut, sesekali melirik sebelah kiriku. Seorang pemuda lain yang kemudian kutahu berusia dua puluh dua tahun, memperhatikan kami. “Duduk sini, Mas,” kataku sambil menepuk-nepuk lantai
sebelah kiri.
Dia
tersenyum, menuruti kata-kataku. Tanpa bertanya nama, pemuda itu sontak meminta nomor
teleponku. “Buat apa? Memang kamu bawa handphone?” tanyaku.
“Ya
nanti kalau keluar, buat berteman lah Mbak,”
“Kalau dimarahin suamiku?” aku pura-pura mengernyit.
Dia tidak langsung menjawab, mengamati raut mukaku. “Sudah punya suami?”
Aku mengangguk—agar tidak terjadi sesuatu yang mungkin tidak diinginkan, dosen pembimbing meminta kami melakukan demikian. Cepat-cepat aku mengalihkan perhatiannya. Sebab aku rasa, tidak mudah berbohong untuk sesuatu yang besar. Temanku ditanya oleh orang dengan gangguan jiwa lainnya tentang siapa nama ‘suami’ dan dia dengan lancar menyebutkan nama lengkap kekasihnya. Aku? Tentu saja tidak bisa. Aku bahkan tidak mengerti dengan perasaanku sendiri.
“Sudah
lama di sini?”
Pemuda
itu menyebutkan tanggal dan bulan. Ia lantas menceritakan perilakunya yang
memukul lurah di kampungnya sehingga dirinya dilarikan ke rumah sakit jiwa.
“Apakah dia menyebalkan?” aku kembali bertanya, menggali perasaannya kala itu.
Ia menggeleng. “Tidak,”
sahutnya. “Aku hanya emosi, lalu berkelahi.”
Sebelum
perbincangan tersebut selepas diskusi kelompok, seorang pria paruh baya menceritakan di antara
teman-teman dari bangsal yang beragam tentang alasan dia menempati rumah
sakit jiwa tempat kami magang. Ia mewanti-wanti kami sebelumnya perihal jika gejala skizofrenianya kembali tampak, itu artinya ia berhenti minum obat karena nafasnya sesak. Menurut lelaki itu, kondisi ekonomi yang terpuruk
menjadi andil terbesar yang membuat jiwanya terguncang. “Apa namanya, Mbak, kalau
saya di Jakarta dan istri saya di Wonogiri?”
Long distance marriage?
“Terpisah,”
jawabnya sendiri, tanpa menungguku mengutarakan kata-kata yang barangkali
dipahaminya. “saya tidak sanggup.” Ada yang menggenang di sudut pelupuknya. Kutanyakan,
di Jakarta mana ia menetap saat episode tersulit di hidupnya itu. Pria paruh
baya itu dengan lirih menyebutkan Tanah Abang. Ingatanku memutar saat aku berdesak-desakan di stasiun Tanah Abang di suatu senja. Aku lantas membayangkan betapa pria
tersebut menghabiskan malam demi malam yang gigil di Tanah Abang penuh dengan rindu yang
mengembang. Jika terik, mungkin saja ia mengusap peluhnya berkali-kali sembari
membisik doa agar disegerakan dalam jumpa, dilapangkan kesempitannya. Jika hari hujan, barangkali lelaki itu bahagia karena ia memiliki teman untuk menangis dalam tempias yang memenuhi jendela kaca. Di purnama ke tujuh belas, mungkin
lelaki itu duduk di beranda, membayangkan gemintang melukiskan wajah yang
dicinta.
Tanpa kusadari, hari ini kami telah merayakan kepedihan bersama-sama.
Tanpa kusadari, hari ini kami telah merayakan kepedihan bersama-sama.
0 komentar