Merayakan Kepedihan

By Zulfa Rahmatina - 6:41 PM

source: favim.com
“Tepung hunkwe 2 bungkus, susu, gula pasir, santan kelapa,” pemuda usia akhir dua puluhan yang kujumpai di Instalasi Rehabilitas terus memaparkan resep membuat es krim yang dijualnya tiap Kamis. Keringat masih mengalir usai kami melakukan senam pagi bersama-sama. Aku pun sesekali mengibas jilbab dan mengutuk diriku sendiri mengapa terlalu antusias mengikuti senam pinguin bersama orang-orang dengan gangguan jiwa itu padahal sedang memakai almamater panas dan jilbab yang tebal. Tetapi rupanya hal itu tidak menyurutkan keseruan perbincangan. Kami tertawa saat pemuda tadi salah melafalkan kelapa menjadi kepala, “dicampur jadi satu, habis itu diputar manual kira-kira dua jam. Jangan lupa beli, Mbak,” tuturnya. Ada bangga yang terbesit dalam intonasinya. 

Aku mengangguk, menunjukkan ketertarikan pada ceritanya yang menggebu saat melanjutkan obrolan cara dia membuat telur asin yang juga dijual di rumah sakit jiwa tersebut, sesekali melirik sebelah kiriku. Seorang pemuda lain yang kemudian kutahu berusia dua puluh dua tahun, memperhatikan kami. “Duduk sini, Mas,” kataku sambil menepuk-nepuk lantai sebelah kiri.

Dia tersenyum, menuruti kata-kataku. Tanpa bertanya nama, pemuda itu sontak meminta nomor teleponku. “Buat apa? Memang kamu bawa handphone?” tanyaku.

“Ya nanti kalau keluar, buat berteman lah Mbak,”

“Kalau dimarahin suamiku?” aku pura-pura mengernyit.

Dia tidak langsung menjawab, mengamati raut mukaku. “Sudah punya suami?”

Aku mengangguk—agar tidak terjadi sesuatu yang mungkin tidak diinginkan, dosen pembimbing meminta kami melakukan demikian. Cepat-cepat aku mengalihkan perhatiannya. Sebab aku rasa, tidak mudah berbohong untuk sesuatu yang besar. Temanku ditanya oleh orang dengan gangguan jiwa lainnya tentang siapa nama ‘suami’ dan dia dengan lancar menyebutkan nama lengkap kekasihnya. Aku? Tentu saja tidak bisa. Aku bahkan tidak mengerti dengan perasaanku sendiri.

“Sudah lama di sini?”

Pemuda itu menyebutkan tanggal dan bulan. Ia lantas menceritakan perilakunya yang memukul lurah di kampungnya sehingga dirinya dilarikan ke rumah sakit jiwa.

“Apakah dia menyebalkan?” aku kembali bertanya, menggali perasaannya kala itu.

Ia menggeleng. “Tidak,” sahutnya. “Aku hanya emosi, lalu berkelahi.”

Sebelum perbincangan tersebut selepas diskusi kelompok, seorang pria paruh baya menceritakan di antara teman-teman dari bangsal yang beragam tentang alasan dia menempati rumah sakit jiwa tempat kami magang. Ia mewanti-wanti kami sebelumnya perihal jika gejala skizofrenianya kembali tampak, itu artinya ia berhenti minum obat karena nafasnya sesak. Menurut lelaki itu, kondisi ekonomi yang terpuruk menjadi andil terbesar yang membuat jiwanya terguncang. “Apa namanya, Mbak, kalau saya di Jakarta dan istri saya di Wonogiri?”

Long distance marriage?

“Terpisah,” jawabnya sendiri, tanpa menungguku mengutarakan kata-kata yang barangkali dipahaminya. “saya tidak sanggup.” Ada yang menggenang di sudut pelupuknya. Kutanyakan, di Jakarta mana ia menetap saat episode tersulit di hidupnya itu. Pria paruh baya itu dengan lirih menyebutkan Tanah Abang. Ingatanku memutar saat aku berdesak-desakan di stasiun Tanah Abang di suatu senja. Aku lantas membayangkan betapa pria tersebut menghabiskan malam demi malam yang gigil di Tanah Abang penuh dengan rindu yang mengembang. Jika terik, mungkin saja ia mengusap peluhnya berkali-kali sembari membisik doa agar disegerakan dalam jumpa, dilapangkan kesempitannya. Jika hari hujan, barangkali lelaki itu bahagia karena ia memiliki teman untuk menangis dalam tempias yang memenuhi jendela kaca. Di purnama ke tujuh belas, mungkin lelaki itu duduk di beranda, membayangkan gemintang melukiskan wajah yang dicinta. 

Tanpa kusadari, hari ini kami telah merayakan kepedihan bersama-sama.


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar