dreamstime.com |
Tiba-tiba
aku merasa ada yang merambat tubuhku. Berat, tapi aku menggapainya. Menahan beban
yang menyulitkanku bergerak itu tetap bergelayut di tubuh dan lenganku.
“Ceres,
Eris, Charon,” dia makhluk. Sosok itu seperti mendesis dengan mengulang
kata-kata yang membuatku merasa tidak pernah membersihkan lubang telinga.
“Hah?”
“Makemake,
Luna,”
“Dia
suka tata surya, Mbak. Hafal dia nama-nama planet sampai yang kecil-kecil itu,”
aku menoleh ke sumber suara. Seorang ibu muda. Ibu itu tertawa.
Sekelilingku
lalu menjadi putih. Sebelah kiri, kanan, depan, belakang, langit-langit. Sebuah
ruangan. Dua sofa panjang berwarna hitam dan biru. Dua meja kaca—meja sebelah
kiri memiliki vas bunga. Di sebelah kanan tepatnya ujung barat daya, ada tangga
yang menghubungkan ke lantai dua. Sebelah kiri jika menghadap utara, pintu
masuk ke bagian administrasi yang teleponnya sering berdering nyaring terus
terbuka. Sebelah selatan terdapat pula pintu, tapi tertutup. Tidak selalu. Ruang itu milik
seorang psikolog muda yang rambut sebahunya selalu tergerai. Di tengah-tengah
kami ada koridor menuju ruang-ruang psikotes di belakang. Aku kembali di ruang
Instalasi Psikologi.
“Yuk,
yuk, lanjutkan tesnya,” bujukku, setengah memohon. Aku menekan emosiku yang pasti
meluap jika saja aku tidak ingat sebab mengapa bisa berada di tempat itu. Aku tidak
suka bermain kejar-kejaran dengan anak-anak. Aku tidak suka anak yang tidak
sopan—seperti memanjat jendela yang membuatku serak dan tenagaku berkurang
karena mengingatkan dan memaksanya turun sementara semua itu sia-sia, atau
duduk di atas meja saat aku sedang menyajikan subtes demi subtes dengan telaten.
Peduli apa soal temanku yang suatu saat berkata bahwa senyumku hanya tulus
untuk anak-anak saja. Aku lebih suka melekatkan punggungku pada kasur atau
menundukkan leherku lama-lama untuk membaca buku di akhir pekan—atau melakukan
blogwalking. Aku tidak suka jika punggungku pegal karena hal ini.
“Katanya
mau ke mall kan habis ini?!” kurasa suaraku mulai meninggi.
Anak
itu menurut. Tapi hanya bertahan 1 menit saja. Singkat cerita, aku menyerah. Kupanggil
ibunya masuk ke dalam ruang tes.
Tidak
terduga, hari ini aku mengadministrasikan jenis tes intelegensi anak yang belum
pernah kulakukan sebelumnya di fakultas. Banyak klien yang bertandang ke
instalasi psikologi untuk keperluan yang berbeda-beda seperti seleksi panwaslu dan calon
haji, juga beberapa klien yang meminta tes IQ guna keperluan mendaftar sekolah. Karena
kesibukan tersebut di hari yang pendek ini, aku tidak berkesempatan mengunjungi
bangsal dan mengurungkan niatku yang ingin berkunjung ke bangsal usai jam kerja
karena pekerjaan hari ini ternyata cukup membuat lelah.
Banyak
hal baru yang terjadi dalam hidup. Banyak keadaan saling berhimpit, banyak
garis-garis kehidupan yang bersinggungan, begitu banyak pembelajaran. Ilmuwan
asal Turki, Adnan Oktar, atau yang lebih dikenal dengan Harun Yahya berkata
bahwa menerima kehidupan, berarti menerima kenyataan. Bahwa tak ada hal sekecil apa pun, terjadi karena sebuah kebetulan. Aku rasa banyak yang bersepakat jika kejadian
demi kejadian adalah yang sesungguhnya membentuk diri kita. Seperti spektrum,
tak habis-habis kita memahami mengapa semuanya saling berkait kecuali jika
seluruhnya telah selesai. Bingkisan dari takdir dalam bentuk kebahagiaan selayaknya
melambungkan syukur. Kejutan lain dalam rupa kepedihan atau kegagalan membuat
keyakinan kita tumbuh bahwa terkadang, sesuatu tidak bisa kita capai bukan
karena kita tidak mampu, melainkan karena itu bukan jalan kita.
Kita
lalu menjadi perekam ingatan untuk kejadian-kejadian yang menimbulkan kesan
mendalam. Entah itu luka-luka batin yang tidak tersembuhkan, atau perasaan yang
mengembangkan dada hingga lapang. Jika Luis Bunuel mengatakan, “Anda harus
mulai kehilangan ingatan, walaupun hanya sepotong-potong,” sepertinya aku lebih
suka mengganti kalimatnya menjadi, “Anda harus lebih mengusahakan mengabadikan
ingatan, merapikan kenangan-kenangan, walaupun hanya sepotong-potong, untuk
menyadari bahwa ingatanlah yang membentuk kehidupan kita. Kehidupan tanpa
ingatan adalah bukan kehidupan sama sekali … ingatan adalah pemahaman kita,
alasan kita, perasaan kita, bahkan tindakan-tindakan kita. Tanpa itu, kita
bukan apa-apa ….”
---------------
Surakarta,
26 Januari 2018
One day when you look back, to this day when you
were young
you’ll feel nostalgic, I’m sure …
0 komentar