Mengunci Ingatan

By Zulfa Rahmatina - 10:03 PM

dreamstime.com

Usianya kira-kira hanya bilangan pada jemari satu telapak tangan. Laki-laki. Ia meloncat ke atas dua undakan anak tangga menuju lantai dua, posisinya seperti ingin menangkap kunang-kunang yang berkelip-menyembul di semak belantara. Kepalanya lantas menoleh, diikuti gerakan memutar badannya, mengamati sekeliling. Dua detik ia menatap pada hanya satu wajah yang dikenalnya, selain itu asing. Tapi, senyumnya serta merta mengembang. Bukan, bukan bibirnya yang tersenyum—lebih tepat matanya. Sementara bibir tadi membentuk lekuk yang lebih menyerupai seringai nakal. Dia mengecipakkan—atau menghentakkan?—kakinya berulang, meracau. Seperti jika kubangan bekas hujan tidak mengerti tentang dirinya juga, lebih baik ia bermain bersama senja saja meski ia masih lama tiba.

Tiba-tiba aku merasa ada yang merambat tubuhku. Berat, tapi aku menggapainya. Menahan beban yang menyulitkanku bergerak itu tetap bergelayut di tubuh dan lenganku.

“Ceres, Eris, Charon,” dia makhluk. Sosok itu seperti mendesis dengan mengulang kata-kata yang membuatku merasa tidak pernah membersihkan lubang telinga.

“Hah?”

“Makemake, Luna,”

“Dia suka tata surya, Mbak. Hafal dia nama-nama planet sampai yang kecil-kecil itu,” aku menoleh ke sumber suara. Seorang ibu muda. Ibu itu tertawa.

Sekelilingku lalu menjadi putih. Sebelah kiri, kanan, depan, belakang, langit-langit. Sebuah ruangan. Dua sofa panjang berwarna hitam dan biru. Dua meja kaca—meja sebelah kiri memiliki vas bunga. Di sebelah kanan tepatnya ujung barat daya, ada tangga yang menghubungkan ke lantai dua. Sebelah kiri jika menghadap utara, pintu masuk ke bagian administrasi yang teleponnya sering berdering nyaring terus terbuka. Sebelah selatan terdapat pula pintu, tapi tertutup. Tidak selalu. Ruang itu milik seorang psikolog muda yang rambut sebahunya selalu tergerai. Di tengah-tengah kami ada koridor menuju ruang-ruang psikotes di belakang. Aku kembali di ruang Instalasi Psikologi.

“Yuk, yuk, lanjutkan tesnya,” bujukku, setengah memohon. Aku menekan emosiku yang pasti meluap jika saja aku tidak ingat sebab mengapa bisa berada di tempat itu. Aku tidak suka bermain kejar-kejaran dengan anak-anak. Aku tidak suka anak yang tidak sopan—seperti memanjat jendela yang membuatku serak dan tenagaku berkurang karena mengingatkan dan memaksanya turun sementara semua itu sia-sia, atau duduk di atas meja saat aku sedang menyajikan subtes demi subtes dengan telaten. Peduli apa soal temanku yang suatu saat berkata bahwa senyumku hanya tulus untuk anak-anak saja. Aku lebih suka melekatkan punggungku pada kasur atau menundukkan leherku lama-lama untuk membaca buku di akhir pekan—atau melakukan blogwalking. Aku tidak suka jika punggungku pegal karena hal ini.

“Katanya mau ke mall kan habis ini?!” kurasa suaraku mulai meninggi.

Anak itu menurut. Tapi hanya bertahan 1 menit saja. Singkat cerita, aku menyerah. Kupanggil ibunya masuk ke dalam ruang tes.

Tidak terduga, hari ini aku mengadministrasikan jenis tes intelegensi anak yang belum pernah kulakukan sebelumnya di fakultas. Banyak klien yang bertandang ke instalasi psikologi untuk keperluan yang berbeda-beda seperti seleksi panwaslu dan calon haji, juga beberapa klien yang meminta tes IQ guna keperluan mendaftar sekolah. Karena kesibukan tersebut di hari yang pendek ini, aku tidak berkesempatan mengunjungi bangsal dan mengurungkan niatku yang ingin berkunjung ke bangsal usai jam kerja karena pekerjaan hari ini ternyata cukup membuat lelah.

Banyak hal baru yang terjadi dalam hidup. Banyak keadaan saling berhimpit, banyak garis-garis kehidupan yang bersinggungan, begitu banyak pembelajaran. Ilmuwan asal Turki, Adnan Oktar, atau yang lebih dikenal dengan Harun Yahya berkata bahwa menerima kehidupan, berarti menerima kenyataan. Bahwa tak ada hal sekecil apa pun, terjadi karena sebuah kebetulan. Aku rasa banyak yang bersepakat jika kejadian demi kejadian adalah yang sesungguhnya membentuk diri kita. Seperti spektrum, tak habis-habis kita memahami mengapa semuanya saling berkait kecuali jika seluruhnya telah selesai. Bingkisan dari takdir dalam bentuk kebahagiaan selayaknya melambungkan syukur. Kejutan lain dalam rupa kepedihan atau kegagalan membuat keyakinan kita tumbuh bahwa terkadang, sesuatu tidak bisa kita capai bukan karena kita tidak mampu, melainkan karena itu bukan jalan kita.

Kita lalu menjadi perekam ingatan untuk kejadian-kejadian yang menimbulkan kesan mendalam. Entah itu luka-luka batin yang tidak tersembuhkan, atau perasaan yang mengembangkan dada hingga lapang. Jika Luis Bunuel mengatakan, “Anda harus mulai kehilangan ingatan, walaupun hanya sepotong-potong,” sepertinya aku lebih suka mengganti kalimatnya menjadi, “Anda harus lebih mengusahakan mengabadikan ingatan, merapikan kenangan-kenangan, walaupun hanya sepotong-potong, untuk menyadari bahwa ingatanlah yang membentuk kehidupan kita. Kehidupan tanpa ingatan adalah bukan kehidupan sama sekali … ingatan adalah pemahaman kita, alasan kita, perasaan kita, bahkan tindakan-tindakan kita. Tanpa itu, kita bukan apa-apa ….”
---------------

Surakarta, 26 Januari 2018

One day when you look back, to this day when you were young
you’ll feel nostalgic, I’m sure …


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar