that taint my soul
before my faith
and often I drown in the moment
when in the end they all
ephemera ...
-Letto
Proses ta’aruf
seorang kawan kandas karena keputusan sepihak yang menurutnya tidak bisa
diterima hatinya dengan baik. Saya rasa, saya mulai mengerti kenapa
disyariatkan agar sebaiknya kita menyembunyikan pinangan dan mengumumkan walimah. Hal ini
dianjurkan tentu untuk menjaga perasaan kedua belah pihak, terlebih menjaga
perasaan pihak perempuan jikalau sewaktu-waktu proses itu terpaksa harus
dihentikan.
Menyakitkan
memang. Sebelumnya, dengan berbunga hingga berbusa, dia sudah berkali
mewanti-wanti agar saya menyiapkan diri untuk datang dan memberinya sebingkis
doa di hari bahagianya kelak. Lalu apa yang harus saya lakukan ketika ia datang dan
mengadukan perihal retak-retak hatinya? Ah, bahkan pun saya tidak yakin apakah
saya bisa sanggup bertahan jika berada pada posisinya. Siapa pula yang tidak
patah? Ketika hari bahagia yang diidamkan, rupanya malah menjadi pencetus utama
hati yang remuk redam.
Kawan yang lain
nelangsa. Sosok gadis yang dibersamainya dalam sebuah operasi, didukungnya
tanpa henti, disekanya tangis yang mengaliri pipi, diabadikan namanya dalam lembar
persembahan skripsi, ternyata harus bersanding di pelaminan dengan tetangganya
sendiri. Jodoh, terkadang memang hanya selemparan buah mangga yang jatuh lalu
gelinding di sisi. Terlihat jauh rupanya dekat. Terlihat rumit, padahal begitu
mudah diraih.
Tidak jauh
berbeda dengan nasib seorang kawan yang hobi merangkai jalan cerita. Ia selalu
merasa, foto-foto instagram sosok idamannya tidak lain ditujukan untuk dia,
tulisan-tulisannya adalah representasi dari perasaan tulus kepadanya,
senyum-senyum itu hanya mengarah lurus ke arahnya. Tapi suatu ketika, sebuah
undangan pernikahan manis meruntuhkan istana indah yang ia bangun dengan
tekun, menjadi sebuah reremah dalam aliran pilu yang runtun.
Ada begitu
banyak pelajaran patah hati. Di sekeliling kita, atau yang kita rasakan
sendiri. Kita patah hati ketika segalanya tidak sesuai dengan yang dikira,
tidak mampu digapai sesuai yang diduga, sulit diraih bahkan meski kita memiliki
keyakinan yang kuat tentangnya. Siapa yang tidak suka memupuk harapan, ketika
harapan-harapan itu memang disiramkan dalam celah hati yang kerontang? Kita
memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kemudian. Kita lalu menjadi
pemungut aksara ketika begitu jatuh hatinya kita pada kata-kata. Kita menjadi
penikmat nada ketika suaranya berubah menjadi melodi penggetar hati. Kita
menjadi pengagum cahaya ketika bola matanya mulai memancarkan teduhnya. Kita
lalu menjadi orang yang paling sibuk mengeja perasaan diri sendiri.
“Kau perlu tahu, lelaki tidak suka
dibanding-bandingkan. Tidak suka jika kau membicarakan lelaki lain dengannya,”
pesan seorang kawan, ketika akhirnya saya dijuluki sebagai perempuan tidak peka
yang kebetulan berjumpa dengan seorang lelaki perasa. Bukankah hal itu berlaku
untuk semua? Perempuan pun, yang hatinya lebih mudah berlubang seperti mangkuk
plastik yang disiram jelaga panas. Ah, mungkin masing-masing kita adalah orang
yang tergesa-gesa.
Seseorang
datang, silih berganti. Ada yang bertahan, ada yang meninggalkan dengan
kenangan, ada pula yang ditinggal dengan sayat menyakitkan. Ada yang memberi
inspirasi, ada yang menjadi penguat jejak langkah mimpi-mimpi, ada yang
akhirnya menjadi pelengkap jemari, ada yang menjadi peneguh hati, atau ada yang
akhirnya memberikan sebuah hal yang berharga tentang pelajaran patah hati.
Segala yang ada, tidak pernah sia-sia. Kita tahu bahwa hikmah sejati tidak
selalu ditampakkan di awal pagi. Sebab itulah kita dianjurkan untuk menjaga
waktu pagi, selalu mengusahakan yang memang harus diperjuangkan, selalu
mendoakan yang terbaik bagi ragam pilihan-pilihan.
Perjalanan yang
kita tuntaskan masih sangat panjang. Kita masih harus memperjuangkan banyak
hal, belajar banyak hal. Seperti untuk terus mengenali masing-masing dengan
baik. Seperti untuk terus mengimani hikmah yang tidak selalu terungkap di awal
pagi. Seperti terus meyakini tabir tipis bahwa apa yang ditakdirkan untuk kita,
tidak akan pernah kita lewatkan. Yang pasti, percaya saja, ada Yang Maha
Penggenggam doa.
Solo, Januari
17.
Zulfa dan butiran perasaannya.
1 komentar
Manusia dalam bayang-bayang takdir.
ReplyDelete