Pelajaran Patah Hati

By Zulfa Rahmatina - 11:38 AM


Far too many emotion
that taint my soul
before my faith
and often I drown in the moment
when in the end they all
ephemera ...
-Letto


Proses ta’aruf seorang kawan kandas karena keputusan sepihak yang menurutnya tidak bisa diterima hatinya dengan baik. Saya rasa, saya mulai mengerti kenapa disyariatkan agar sebaiknya kita menyembunyikan pinangan dan mengumumkan walimah. Hal ini dianjurkan tentu untuk menjaga perasaan kedua belah pihak, terlebih menjaga perasaan pihak perempuan jikalau sewaktu-waktu proses itu terpaksa harus dihentikan.

Menyakitkan memang. Sebelumnya, dengan berbunga hingga berbusa, dia sudah berkali mewanti-wanti agar saya menyiapkan diri untuk datang dan memberinya sebingkis doa di hari bahagianya kelak. Lalu apa yang harus saya lakukan ketika ia datang dan mengadukan perihal retak-retak hatinya? Ah, bahkan pun saya tidak yakin apakah saya bisa sanggup bertahan jika berada pada posisinya. Siapa pula yang tidak patah? Ketika hari bahagia yang diidamkan, rupanya malah menjadi pencetus utama hati yang remuk redam.

Kawan yang lain nelangsa. Sosok gadis yang dibersamainya dalam sebuah operasi, didukungnya tanpa henti, disekanya tangis yang mengaliri pipi, diabadikan namanya dalam lembar persembahan skripsi, ternyata harus bersanding di pelaminan dengan tetangganya sendiri. Jodoh, terkadang memang hanya selemparan buah mangga yang jatuh lalu gelinding di sisi. Terlihat jauh rupanya dekat. Terlihat rumit, padahal begitu mudah diraih.

Tidak jauh berbeda dengan nasib seorang kawan yang hobi merangkai jalan cerita. Ia selalu merasa, foto-foto instagram sosok idamannya tidak lain ditujukan untuk dia, tulisan-tulisannya adalah representasi dari perasaan tulus kepadanya, senyum-senyum itu hanya mengarah lurus ke arahnya. Tapi suatu ketika, sebuah undangan pernikahan manis meruntuhkan istana indah yang ia bangun dengan tekun, menjadi sebuah reremah dalam aliran pilu yang runtun.

Ada begitu banyak pelajaran patah hati. Di sekeliling kita, atau yang kita rasakan sendiri. Kita patah hati ketika segalanya tidak sesuai dengan yang dikira, tidak mampu digapai sesuai yang diduga, sulit diraih bahkan meski kita memiliki keyakinan yang kuat tentangnya. Siapa yang tidak suka memupuk harapan, ketika harapan-harapan itu memang disiramkan dalam celah hati yang kerontang? Kita memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kemudian. Kita lalu menjadi pemungut aksara ketika begitu jatuh hatinya kita pada kata-kata. Kita menjadi penikmat nada ketika suaranya berubah menjadi melodi penggetar hati. Kita menjadi pengagum cahaya ketika bola matanya mulai memancarkan teduhnya. Kita lalu menjadi orang yang paling sibuk mengeja perasaan diri sendiri.

“Kau perlu tahu, lelaki tidak suka dibanding-bandingkan. Tidak suka jika kau membicarakan lelaki lain dengannya,” pesan seorang kawan, ketika akhirnya saya dijuluki sebagai perempuan tidak peka yang kebetulan berjumpa dengan seorang lelaki perasa. Bukankah hal itu berlaku untuk semua? Perempuan pun, yang hatinya lebih mudah berlubang seperti mangkuk plastik yang disiram jelaga panas. Ah, mungkin masing-masing kita adalah orang yang tergesa-gesa.

Seseorang datang, silih berganti. Ada yang bertahan, ada yang meninggalkan dengan kenangan, ada pula yang ditinggal dengan sayat menyakitkan. Ada yang memberi inspirasi, ada yang menjadi penguat jejak langkah mimpi-mimpi, ada yang akhirnya menjadi pelengkap jemari, ada yang menjadi peneguh hati, atau ada yang akhirnya memberikan sebuah hal yang berharga tentang pelajaran patah hati. Segala yang ada, tidak pernah sia-sia. Kita tahu bahwa hikmah sejati tidak selalu ditampakkan di awal pagi. Sebab itulah kita dianjurkan untuk menjaga waktu pagi, selalu mengusahakan yang memang harus diperjuangkan, selalu mendoakan yang terbaik bagi ragam pilihan-pilihan.

Perjalanan yang kita tuntaskan masih sangat panjang. Kita masih harus memperjuangkan banyak hal, belajar banyak hal. Seperti untuk terus mengenali masing-masing dengan baik. Seperti untuk terus mengimani hikmah yang tidak selalu terungkap di awal pagi. Seperti terus meyakini tabir tipis bahwa apa yang ditakdirkan untuk kita, tidak akan pernah kita lewatkan. Yang pasti, percaya saja, ada Yang Maha Penggenggam doa.


Solo, Januari 17.
Zulfa dan butiran perasaannya.

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar