Ampas Kopi Hitam

By Zulfa Rahmatina - 5:27 AM

Saya lahir dari perah ampas kopi hitam, begitu yang saya pikir setelah menghidu kuat-kuat sisa ampas kopi hitam di dasar cangkir kaca. Selalu begitu.

Saat matahari beranjak, kepul itu lenyap, lesap. Lalu sisalah ampas kopi yang aromanya masih terlampau pekat. Memanjakan rongga paru dan mengembangkannya seperti helium yang disuntikkan pada balon gas.

Ampas kopi Abi. Bagaimana bisa tidak menjadi candu? Tiba-tiba,  di suatu pagi yang asing, seorang senior bertanya melalui sebuah pesan singkat, apakah saya pernah membenci Abi? Begitu kira-kira isinya. Saya tidak mencoba berpikir apa yang sedang dirasakannya ketika melontarkan pertanyaan itu. 

Yang saya tahu, saya mendiamkan pesan itu tak berbalas, cukup lama. Mengingat-ingat apakah saya pernah sungguh-sungguh membenci Abi, lelaki yang ketika masuk garasi setelah sekian lama tidak menapakkan kaki di kota kecil ini, tilawahnya sudah terdengar dan membuat saya berlari. Gegas meraih punggung telapaknya dan ... mendapat kecup di kedua pipi, seperti biasanya. Apakah saya sanggup membencinya? 

Suatu ketika, ponsel saya berdering. Kencang, berkali. Ricik air wudhu yang deras rupanya menulikan telinga saya dari instrumen Mozart penanda panggilan masuk. Menunda isya, saya mengangkat panggilan ke sekian. Lalu dari jauh, suara Abi lintas mengambang. Menanyakan kabar, memastikan apa saya sudah menikmati hidangan malam. Kemudian hening. Lelaki pendiam yang tidak pandai berkata-kata itu membiarkan udara menjadi sisa desah percakapan kita untuk sementara waktu sebelum ia memutus sambungan. Apa saya bisa membencinya?

Di metropolitan, ketika rindu begitu mencekik ingatan, saya meraih sarung, mencium aroma khasnya kuat-kuat hingga pelupuk saya menganak. Aroma yang begitu menjadi candu. Aroma khas lelaki yang selalu menjaga subuh dan lima waktunya, meski deras mengguyur pelataran dan petir bertandang di pepohonan. Apa saya harus membencinya?

Abi keras mengingatkan ketika bacaan Qur'an saya tanpa tajwid dan ngawur. Abi keras mendidik agar saya tidak manja, berusaha sekuatnya dan jika bisa menghindari dari merepotkan orang lain dalam urusan receh. Abi tidak mendiamkan ledak tangis saya karena gangguan teman dan lebih memilih menegarkan dengan mengajarkan hukum Qishas serta penekanan bahwa pemaaf lebih disayang. Abi mengikat tangan saya dengan tali tambang ketika saya dinilai terlampau nakal. Abi mengancam tidak menyekolahkan jika saya memilih sekolah negeri dan bukan madrasah yang direkomendasikannya. Abi memohon agar saya tidak lagi mengulang keluar rumah dengan keadaan terlampau wangi. Abi memilih meninggalkan rumah dan pergi ke masjid ketika suatu ketika ada teman lelaki yang datang dan membuatnya sungguh terluka. Apakah semua itu alasan yang cukup bagi saya untuk membencinya?

Lambat laun saya mengenalinya. Dengan diamnya, Abi mencoba membuat saya mengerti. Bahwa jalan penyelesaian masalah, tidak selalunya seperti yang selama ini saya pikirkan. Bahwa kecewanya, adalah bukti sayang. Dan diamnya bukanlah sebuah pembiaran dan pembenaran. Seluruh gerik Abi serupa pasukan ribath di perbatasan. Diam tetapi menjaga, samar tetapi peduli. 

"Saya pernah membencinya? Lebih tepat mungkin kecewa. Tapi itu tentu karena ego dan saya saja yang bangkang. Saya tahu maksud Abi selalu baik. Meski kadang mungkin tidak jadi yang terbaik pula menurut (nafsu dan hati)ku."

Usai menyeka sisa ampas kopi hitam di wastafel, saya membalas pesan senior tadi dengan hati-hati. Rasa-rasanya, saya sungguh tidak pantas membenci seorang lelaki dengan cinta sederhananya. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar