Dua perempuan
yang rasanya sulit sekali mendapati kondisi seperti di atas, memutuskan
menghabiskan senja di Karanganyar. Saya, bersama seorang kakak tingkat di lembaga
penelitian. Saya tidak bertanya alasan kenapa ia memutuskan untuk tetap
tinggal. Yang saya tahu, libur semester nanti, dia menahan saya untuk melakukan
hal yang sama sembari mengurus beberapa deadline dan laporan.
Jika diibaratkan
dalam tokoh fiksi, ia duplikat dari seorang Amaretta dalam novel Rinai—tapi
tentu saja saya bukan Rinai. Amaretta adalah mahasiswi Psikologi, gadis cerdas,
cekatan, dekat—disayang—dengan dosen, asisten praktikum, dan ia memiliki
kepribadian yang ... ah, sudahlah. Kalian perlu tahu, spoiler itu tidak pernah baik untuk kesehatan. Yang jelas, mereka
benar-benar bagai belahan pinang. Ia yang tahu saya tidak—belum—pulang, meminta
untuk dibersamai di suatu kajian dengan pembicara seorang hafidz muda yang
sedang menempuh Pendidikan Dokter di UII. Saya pikir itu bukan ide buruk.
Setelah jenuh
dengan buku-buku Komunikasi yang sempat membuat saya seperti mengalami krisis
identitas hanya karena pertanyaan bodoh yang muncul karena tugas Psikologi
Perkembangan yaitu mengumpulkan kenangan yang berserak—maksud saya membuat
kliping dari berita di koran—dan tugas Teknik Komunikasi yang membuat saya
berkutat dengan banyak buku-buku teori Komunikasi Massa beserta efeknya,
“Sebenarnya saya ini mahasiswi Psikologi atau Komunikasi?” saya memutuskan
menyudahi pikiran aneh itu dan pergi bersamanya.
Menjadi Pemuda
Inspiratif menjadi tajuk kajian di Masjid Agung Karanganyar tersebut. Ada satu
hal yang membekas, pertanyaan kepada pembicara, “Bagaimana menjadi inspirator,
tapi menghindarkan diri dari riya? Bagaimana mensyukuri nikmat—tahadduts bin ni'mah, tetapi jauh
dari rasa ujub?” Bagaimana? Ah, saya pikir, itu ujian keimanan yang sungguh,
memang sulit sekali. Saya ingat saat Abi berkisah tentang penduduk bumi yang
namanya dikenal oleh seluruh penduduk langit, Uwais Al-Qarni. Kita tentu masih
sangat jauh sekali dari zuhud, wara, dan ikhlasnya Uwais yang bahkan Umar Ibn
Khaththab dan Ali Ibn Abi Thalib pun meminta ia memanjatkan doa untuk mereka.
Kami pulang
tepat ketika para lansia menandai sandal mereka usai jamaah maghrib. Saya pamit
dan kembali ke kontrakan. Kontrakan sepi. Hanya satu, dua orang dan saya sendiri yang
tidak bisa diandalkan untuk menjadi teman berbincang yang menyenangkan. Jangan
berharap kami akan membicarakan diskon besar di mall ini, atau film apa yang
baru saja rilis. Kami adalah tipe orang yang sibuk dengan imajinasi
masing-masing yang hanya memilih mengamati keadaan, lalu diam. Kami hanya orang
yang berbeda jika dipersandingkan dengan satu keadaaan. Kami hanya orang yang
tidak mengenali diri kami masing-masing ketika bersama. Begitulah keadaan
sebenarnya. Keadaan yang membuat masing-masing kami memilih mencari
sebanyak-banyak kegiatan di luar.
Bosan, saya kembali
menyalakan motor. Menuntaskan beberapa urusan di kantor. Mencari fotokopi yang
buka, sebab barangkali saya pikir akan menyenangkan jika menemukan orang-orang
serupa di sana—lebih memilih menyelesaikan kewajiban daripada harus menundanya
karena alasan liburan. Tetapi rupanya saya begitu naif. Bodoh. Mana ada
fotokopi buka di malam tahun baru? Semua orang sibuk membuat pesta, memenuhi
tangki bensinnya, menyalakan petasan, menyiapkan bakaran, merayakan
pertemuan-pertemuan. Dan saya sibuk dengan tugas-tugas. Dengan kertas-kertas.
Dengan rentetan kalimat panjang yang menjenuhkan.
Tetapi, malam
ini tidak begitu buruk ketika kotak masuk WhatsApp ramai oleh ocehan keluarga
yang baru menyelesaikan liburan dari Malang. Menyelesaikan serangkaian acara
wisuda tahfidz di asramanya. Mengabarkan betapa panjang liburan pesantren.
Dendang-dendang nasyid yang dirangkum voice
note panjang. Juga seseorang yang membersamai membincangkan rencana masa
depan. Terlebih, hatiku begitu kembang ketika terus mengingat tentang sepupu
yang akan membuka lembar pertama tahun baru dengan menanggalkan status lajang. Barakallah.
Akhirnya, di
penghujung ini, meminjam kalimat Masgun, “Terima
kasih untuk siapa pun yang garis hidupnya (telah dan akan) bersinggungan dengan
garis hidupku.” Terima kasih!
0 komentar