Merayakan Kesepian

By Zulfa Rahmatina - 10:50 PM



Akhir tahun, Solo mulai lengang. Sepanjang jalan, lampu-lampu kos yang biasanya benderang mulai padam. Pemuda-pemuda pergerakan yang biasanya berbincang hingga malam tampak menghilang. Mungkin mereka sedang kembali ke kampung masing-masing. Atau jika tidak, lebih memilih membuat janji dengan teman daripada memutuskan untuk pulang. Maklumlah, ini hari tenang. Dan hari yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga di libur yang panjang.

Dua perempuan yang rasanya sulit sekali mendapati kondisi seperti di atas, memutuskan menghabiskan senja di Karanganyar. Saya, bersama seorang kakak tingkat di lembaga penelitian. Saya tidak bertanya alasan kenapa ia memutuskan untuk tetap tinggal. Yang saya tahu, libur semester nanti, dia menahan saya untuk melakukan hal yang sama sembari mengurus beberapa deadline dan laporan.

Jika diibaratkan dalam tokoh fiksi, ia duplikat dari seorang Amaretta dalam novel Rinai—tapi tentu saja saya bukan Rinai. Amaretta adalah mahasiswi Psikologi, gadis cerdas, cekatan, dekat—disayang—dengan dosen, asisten praktikum, dan ia memiliki kepribadian yang ... ah, sudahlah. Kalian perlu tahu, spoiler itu tidak pernah baik untuk kesehatan. Yang jelas, mereka benar-benar bagai belahan pinang. Ia yang tahu saya tidak—belum—pulang, meminta untuk dibersamai di suatu kajian dengan pembicara seorang hafidz muda yang sedang menempuh Pendidikan Dokter di UII. Saya pikir itu bukan ide buruk.

Setelah jenuh dengan buku-buku Komunikasi yang sempat membuat saya seperti mengalami krisis identitas hanya karena pertanyaan bodoh yang muncul karena tugas Psikologi Perkembangan yaitu mengumpulkan kenangan yang berserak—maksud saya membuat kliping dari berita di koran—dan tugas Teknik Komunikasi yang membuat saya berkutat dengan banyak buku-buku teori Komunikasi Massa beserta efeknya, “Sebenarnya saya ini mahasiswi Psikologi atau Komunikasi?” saya memutuskan menyudahi pikiran aneh itu dan pergi bersamanya.

Menjadi Pemuda Inspiratif menjadi tajuk kajian di Masjid Agung Karanganyar tersebut. Ada satu hal yang membekas, pertanyaan kepada pembicara, “Bagaimana menjadi inspirator, tapi menghindarkan diri dari riya? Bagaimana mensyukuri nikmattahadduts bin ni'mah, tetapi jauh dari rasa ujub?” Bagaimana? Ah, saya pikir, itu ujian keimanan yang sungguh, memang sulit sekali. Saya ingat saat Abi berkisah tentang penduduk bumi yang namanya dikenal oleh seluruh penduduk langit, Uwais Al-Qarni. Kita tentu masih sangat jauh sekali dari zuhud, wara, dan ikhlasnya Uwais yang bahkan Umar Ibn Khaththab dan Ali Ibn Abi Thalib pun meminta ia memanjatkan doa untuk mereka.

Kami pulang tepat ketika para lansia menandai sandal mereka usai jamaah maghrib. Saya pamit dan kembali ke kontrakan. Kontrakan sepi. Hanya satu, dua orang dan saya sendiri yang tidak bisa diandalkan untuk menjadi teman berbincang yang menyenangkan. Jangan berharap kami akan membicarakan diskon besar di mall ini, atau film apa yang baru saja rilis. Kami adalah tipe orang yang sibuk dengan imajinasi masing-masing yang hanya memilih mengamati keadaan, lalu diam. Kami hanya orang yang berbeda jika dipersandingkan dengan satu keadaaan. Kami hanya orang yang tidak mengenali diri kami masing-masing ketika bersama. Begitulah keadaan sebenarnya. Keadaan yang membuat masing-masing kami memilih mencari sebanyak-banyak kegiatan di luar.

Bosan, saya kembali menyalakan motor. Menuntaskan beberapa urusan di kantor. Mencari fotokopi yang buka, sebab barangkali saya pikir akan menyenangkan jika menemukan orang-orang serupa di sana—lebih memilih menyelesaikan kewajiban daripada harus menundanya karena alasan liburan. Tetapi rupanya saya begitu naif. Bodoh. Mana ada fotokopi buka di malam tahun baru? Semua orang sibuk membuat pesta, memenuhi tangki bensinnya, menyalakan petasan, menyiapkan bakaran, merayakan pertemuan-pertemuan. Dan saya sibuk dengan tugas-tugas. Dengan kertas-kertas. Dengan rentetan kalimat panjang yang menjenuhkan.

Tetapi, malam ini tidak begitu buruk ketika kotak masuk WhatsApp ramai oleh ocehan keluarga yang baru menyelesaikan liburan dari Malang. Menyelesaikan serangkaian acara wisuda tahfidz di asramanya. Mengabarkan betapa panjang liburan pesantren. Dendang-dendang nasyid yang dirangkum voice note panjang. Juga seseorang yang membersamai membincangkan rencana masa depan. Terlebih, hatiku begitu kembang ketika terus mengingat tentang sepupu yang akan membuka lembar pertama tahun baru dengan menanggalkan status lajang. Barakallah.

Akhirnya, di penghujung ini, meminjam kalimat Masgun, “Terima kasih untuk siapa pun yang garis hidupnya (telah dan akan) bersinggungan dengan garis hidupku.” Terima kasih!

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar