“Aku serius mau move on,” celetuk seorang
teman, membuat mataku yang masih terkatup erat meski dalam gelombang delta
tiba-tiba terbuka lebar. Aku bahkan mengubah posisi rebahku menjadi duduk.
“Dia suka kakak tingkatnya,” ada nada kecewa saat ia
mengatakannya. Pasalnya, beberapa waktu yang lalu, temanku ini juga mengatakan
bahwa lelaki yang disukainya—dan di awal sepertinya juga
menyukainya—ternyata lebih memilih karibnya sendiri.
Buaya! Temanku yang lain
berseru mendengar percakapan kami.
Aku masih memperhatikannya.
“Aku mau move on,” katanya lagi, terlihat
sungguh-sungguh.
“Hmm … move on, ya?”
Dia mengangguk.
“Bagaimana kalau move up saja?” kataku, lebih
kepada hatiku sendiri.
“Move up?”
“Um,” aku menatapnya. “Move on itu, kamu
berpindah dari satu hati ke hati yang lain. Kemungkinan kau merasa perih,
merasa sakit, itu masih ada. Semakin mengakrabi seseorang, bukankah semakin
kita mengetahui aib dan kekurangannya? Semakin banyak kita kecewa jika harapan
yang tinggi terhadapnya tidak tercapai?” aku mengamati raut mukanya yang
seperti meraba-raba arah pembicaraanku. “Berbeda dengan move up, kau
berpindah dari satu hati, kepada penggenggam seluruh hati. Pemilik sepenuhnya
seluruh hati. Bahkan hatimu, hatiku. Bukankah ia tidak sepenuhnya milik kita? Jika
kau mempercayakan seluruhnya kepada-Nya, kau tidak akan pernah merasa sakit
hati seperti ini. Kita masih percaya jika skenario-Nya tetap yang terbaik,
bukan? Mengakrabi-Nya, semakin pula kita mengakrabi kesempurnaan-Nya.”
“Tapi seharusnya aku tidak dipertemukan dengannya
saja, tidak usah pula masuk di organisasi yang sama.”
Tidak. Tidak seperti itu.
“Kau mungkin … hanya belum mengetahui sepenuhnya tentang hikmah dari patah hati
ini,” ucapku lirih, dulu aku pernah berpikir seperti itu.
“Lalu untuk apa semua perhatian itu? Untuk apa ia
menceritakan dirinya terhadapku? Untuk apa—“
Untuk apa ia mengizinkanku mengenali kebiasaan-kebiasaannya,
untuk apa aku ingin ia orang yang pertama kali tahu apa yang baru saja kualami,
untuk apa aku menahan lebih kuat pandanganku agar tidak sepuasnya menikmati
bola matanya, untuk apa aku menulis tulisan yang semua mengarah padanya dan
merasa harus melonjak saat tahu dia membaca tulisanku, untuk apa aku merasa
bahagia saat mengetahui bahwa ia baik-baik saja dalam gambar dan
goresan-goresan yang ia upload di akun instagramnya, untuk apa di setiap pagi
aku ingin mengetahui bagaimana kabarnya, apa yang sedang dia lakukan, apakah ia
minum air putih dengan cukup … untuk apa hatiku berdebar saat bahkan
teman-temanku hanya sekadar menyebut namanya? Aku melanjutkan
pertanyaan temanku terhadap diriku sendiri. Untuk apa aku melakukan itu semua?
“Aku tidak akan sepercaya diri seperti kemarin kalau
dia tidak seperti itu kepadaku. Tidak menyapaku lebih dahulu daripada teman
yang lain—“
Tidak mencoba mengajakku berbincang dan mengatakan
kata-kata lucu, tidak membuatku seperti terasa istimewa karena ia sering
menceritakan sebuah rahasia—tentang dirinya, dan tentang diriku sendiri dari
sudut pandangnya, tentang orang-orang di sekeliling kita—, tidak mencuri
kesempatan agar kita bisa hanya sekadar beriringan bersama di jalan setapak,
tidak membanggakanku di hadapan yang lainnya, tidak memintaku lebih berani
mengutarakan dan mengusahakan mimpi-mimpiku, tidak mengajakku membincangkan
masa depan, tidak mendukung setiap hal yang ingin kulakukan, tidak membalas
dengan cepat segala hal yang kuungkapkan, tidak menatapku dengan tatapan yang
berbeda, tidak … bagaimanalah ini? Aku merasa setiap
keluhan temanku adalah suara hatiku sendiri.
“Bagaimana jika dia jodohmu?” beberapa
teman yang lain pernah bertanya.
“Kalian terlihat mirip. Kepribadiannya, cita-cita,
hobi, bahkan … wajah. Kata orang itu jodoh.”
Pipiku bersemu, meski hatiku menolaknya.
“Bagaimana jika dia jodohmu?”
“Bagaimana?” aku malah balik
bertanya.
“Apa yang kauragukan lagi? Dia memperhatikanmu,”
“Aku tahu.”
“Tapi?”
“Tapi—“
“Kau menginginkan yang lebih? Dia tidak seperti yang
kau bayangkan? Apa setelah semua yang dia lakukan padamu kali ini belum cukup?
Perhatian itu, segala bentuk hal yang dia usahakan agar bisa membuatmu lebih
bersinar—“
“Aku tidak mengatakan hal itu,” sungutku
kesal. “Hanya saja—“
“Ayolah, dear. Kau hanya membohongi perasaanmu sendiri.
Hatimu.”
“Tidak, aku tidak pernah meragukan hatiku sendiri.
Aku hanya, meragukannya.”
“Yang tidak memberimu sepenuhnya bukti? Jadi kau
akan menyerah begitu saja jika ada lelaki lain yang lebih dahulu menawarkan
bukti padamu? Kenapa tidak kau saja yang memulainya? Tidak, ini tidak gila.”
“Aaah, jadi aku move up saja, ya?” pertanyaan
temanku tadi membuyarkan seluruh lamunanku tentang percakapan bersama karibku
yang lain. “Tapi apa yang harus kulakukan dengan semua kenangan itu?”
Aku berhenti sejenak. Memikirkan apa yang harus
kukatakan karena aku pun tidak semudah itu melupakan seluruh kenanganku
bersamanya. “Kau bisa memilih, mengemasinya dan menyimpannya di tempat yang
rapat, atau melepaskannya. Tidak semua masa lalu itu buruk. Dan kau kadang
memang harus memperbaiki masa lalumu terlebih dahulu untuk masa depan yang kau
inginkan. Ah, bagaimana aku harus mengatakannya?”
“Artinya tak masalah jika aku tetap menyimpan
kenangan itu? Meski tidak berguna?”
“Tapi untuk apa?” aku balik bertanya. “Maksudku jika
itu tidak berguna, bukankah sebaiknya dibuang saja?”
“Untuk pengingatku, agar aku lebih hati-hati …”
“Hmm … kita memang tidak akan pernah bisa mengulang
kenangan.”
“Tapi kita bisa mengenang kebahagiaannya, bahkan
mengulangnya. Begitukah?”
“Tepatnya … aku tidak tahu. Dan aku benci aku tidak
tahu.”
Aku menatap layar smartphone. Kenangan-kenangan
bersamanya dalam berpuluh potret senyum yang sama, juga pendar bola mata yang
sama. Sepertinya aku akan mulai mengemasi satu persatu kenangan ini. Jika Tuhan
mengizinkan, menggoreskan lebih banyak lagi kenangan bersamanya mungkin
bukanlah suatu kemustahilan. Percaya saja, Allah penggenggam setiap do’a. J
0 komentar