Mengemasi Kenangan

By Zulfa Rahmatina - 11:40 AM

“Aku serius mau move on,” celetuk seorang teman, membuat mataku yang masih terkatup erat meski dalam gelombang delta tiba-tiba terbuka lebar. Aku bahkan mengubah posisi rebahku menjadi duduk.

“Dia suka kakak tingkatnya,” ada nada kecewa saat ia mengatakannya. Pasalnya, beberapa waktu yang lalu, temanku ini juga mengatakan bahwa lelaki yang disukainya—dan di awal sepertinya juga menyukainya—ternyata lebih memilih karibnya sendiri.

Buaya! Temanku yang lain berseru mendengar percakapan kami.

Aku masih memperhatikannya.

“Aku mau move on,” katanya lagi, terlihat sungguh-sungguh.

“Hmm … move on, ya?”

Dia mengangguk.

“Bagaimana kalau move up saja?” kataku, lebih kepada hatiku sendiri.

Move up?”

“Um,” aku menatapnya. “Move on itu, kamu berpindah dari satu hati ke hati yang lain. Kemungkinan kau merasa perih, merasa sakit, itu masih ada. Semakin mengakrabi seseorang, bukankah semakin kita mengetahui aib dan kekurangannya? Semakin banyak kita kecewa jika harapan yang tinggi terhadapnya tidak tercapai?” aku mengamati raut mukanya yang seperti meraba-raba arah pembicaraanku. “Berbeda dengan move up, kau berpindah dari satu hati, kepada penggenggam seluruh hati. Pemilik sepenuhnya seluruh hati. Bahkan hatimu, hatiku. Bukankah ia tidak sepenuhnya milik kita? Jika kau mempercayakan seluruhnya kepada-Nya, kau tidak akan pernah merasa sakit hati seperti ini. Kita masih percaya jika skenario-Nya tetap yang terbaik, bukan? Mengakrabi-Nya, semakin pula kita mengakrabi kesempurnaan-Nya.”

“Tapi seharusnya aku tidak dipertemukan dengannya saja, tidak usah pula masuk di organisasi yang sama.”

Tidak. Tidak seperti itu. “Kau mungkin … hanya belum mengetahui sepenuhnya tentang hikmah dari patah hati ini,” ucapku lirih, dulu aku pernah berpikir seperti itu.

“Lalu untuk apa semua perhatian itu? Untuk apa ia menceritakan dirinya terhadapku? Untuk apa—“
Untuk apa ia mengizinkanku mengenali kebiasaan-kebiasaannya, untuk apa aku ingin ia orang yang pertama kali tahu apa yang baru saja kualami, untuk apa aku menahan lebih kuat pandanganku agar tidak sepuasnya menikmati bola matanya, untuk apa aku menulis tulisan yang semua mengarah padanya dan merasa harus melonjak saat tahu dia membaca tulisanku, untuk apa aku merasa bahagia saat mengetahui bahwa ia baik-baik saja dalam gambar dan goresan-goresan yang ia upload di akun instagramnya, untuk apa di setiap pagi aku ingin mengetahui bagaimana kabarnya, apa yang sedang dia lakukan, apakah ia minum air putih dengan cukup … untuk apa hatiku berdebar saat bahkan teman-temanku hanya sekadar menyebut namanya? Aku melanjutkan pertanyaan temanku terhadap diriku sendiri. Untuk apa aku melakukan itu semua?

“Aku tidak akan sepercaya diri seperti kemarin kalau dia tidak seperti itu kepadaku. Tidak menyapaku lebih dahulu daripada teman yang lain—“
Tidak mencoba mengajakku berbincang dan mengatakan kata-kata lucu, tidak membuatku seperti terasa istimewa karena ia sering menceritakan sebuah rahasia—tentang dirinya, dan tentang diriku sendiri dari sudut pandangnya, tentang orang-orang di sekeliling kita—, tidak mencuri kesempatan agar kita bisa hanya sekadar beriringan bersama di jalan setapak, tidak membanggakanku di hadapan yang lainnya, tidak memintaku lebih berani mengutarakan dan mengusahakan mimpi-mimpiku, tidak mengajakku membincangkan masa depan, tidak mendukung setiap hal yang ingin kulakukan, tidak membalas dengan cepat segala hal yang kuungkapkan, tidak menatapku dengan tatapan yang berbeda, tidak … bagaimanalah ini? Aku merasa setiap keluhan temanku adalah suara hatiku sendiri.

“Bagaimana jika dia jodohmu?” beberapa teman yang lain pernah bertanya.
“Kalian terlihat mirip. Kepribadiannya, cita-cita, hobi, bahkan … wajah. Kata orang itu jodoh.”
Pipiku bersemu, meski hatiku menolaknya.
“Bagaimana jika dia jodohmu?”
“Bagaimana?” aku malah balik bertanya.
“Apa yang kauragukan lagi? Dia memperhatikanmu,”
“Aku tahu.”
“Tapi?”
“Tapi—“
“Kau menginginkan yang lebih? Dia tidak seperti yang kau bayangkan? Apa setelah semua yang dia lakukan padamu kali ini belum cukup? Perhatian itu, segala bentuk hal yang dia usahakan agar bisa membuatmu lebih bersinar—“
“Aku tidak mengatakan hal itu,” sungutku kesal. “Hanya saja—“
“Ayolah, dear. Kau hanya membohongi perasaanmu sendiri. Hatimu.”
“Tidak, aku tidak pernah meragukan hatiku sendiri. Aku hanya, meragukannya.”
“Yang tidak memberimu sepenuhnya bukti? Jadi kau akan menyerah begitu saja jika ada lelaki lain yang lebih dahulu menawarkan bukti padamu? Kenapa tidak kau saja yang memulainya? Tidak, ini tidak gila.”

“Aaah, jadi aku move up saja, ya?” pertanyaan temanku tadi membuyarkan seluruh lamunanku tentang percakapan bersama karibku yang lain. “Tapi apa yang harus kulakukan dengan semua kenangan itu?”

Aku berhenti sejenak. Memikirkan apa yang harus kukatakan karena aku pun tidak semudah itu melupakan seluruh kenanganku bersamanya. “Kau bisa memilih, mengemasinya dan menyimpannya di tempat yang rapat, atau melepaskannya. Tidak semua masa lalu itu buruk. Dan kau kadang memang harus memperbaiki masa lalumu terlebih dahulu untuk masa depan yang kau inginkan. Ah, bagaimana aku harus mengatakannya?”

“Artinya tak masalah jika aku tetap menyimpan kenangan itu? Meski tidak berguna?”

“Tapi untuk apa?” aku balik bertanya. “Maksudku jika itu tidak berguna, bukankah sebaiknya dibuang saja?”

“Untuk pengingatku, agar aku lebih hati-hati …”

“Hmm … kita memang tidak akan pernah bisa mengulang kenangan.”

“Tapi kita bisa mengenang kebahagiaannya, bahkan mengulangnya. Begitukah?”

“Tepatnya … aku tidak tahu. Dan aku benci aku tidak tahu.”

Aku menatap layar smartphone. Kenangan-kenangan bersamanya dalam berpuluh potret senyum yang sama, juga pendar bola mata yang sama. Sepertinya aku akan mulai mengemasi satu persatu kenangan ini. Jika Tuhan mengizinkan, menggoreskan lebih banyak lagi kenangan bersamanya mungkin bukanlah suatu kemustahilan. Percaya saja, Allah penggenggam setiap do’a. J



  • Share:

You Might Also Like

0 komentar