Hello, World!

By Zulfa Rahmatina - 11:21 PM

Halo! Eh, maaf. Ya, Maaf. Sepertinya itu kata yang paling tepat untuk saat ini. Maaf telah membiarkan blog ini tidak lagi terisi untuk waktu yang cukup lama meski sebenarnya tidak ada yang benar-benar peduli.

Aku khawatir kau bertanya-tanya apakah aku masih hidup? Maksudku, masih menjadi bagian dari perputaran dunia ini? Hmm, kabar baiknya, detik ini aku masih bernapas. Tapi aku tidak benar-benar paham apakah aku ini masih hidup atau tidak. Untuk itulah kali ini aku kembali menyempatkan menulis. Kuharap setelah menulis, aku sadar jika aku masih hidup.

Seorang sahabatku—ah lagi-lagi aku salah memilih kata. Baiklah, kurasa, aku hanya bersahabat dengan dia. Sebut saja Jasmine—tentu bukan nama yang sebenarnya. Jasmine… aku dan jasmine berteman dengan banyak orang. Tetapi aku hanya bersahabat dengannya. Begitu juga dengan dia—aku akan menggorok leherku kalau perkataanku ini salah.

Aku tahu semua tentangnya bahkan sampai hal-hal detail seperti ia yang sangat suka kecap—sementara aku tidak—dan ia yang begitu membenci wortel dan terasi—sementara aku menggemarinya. Atau saat ia menyukai minuman dingin—kali ini kami sama. Dan ia yang berkacamata—lagi-lagi sama. Dan banyak lagi.

Apa yang istimewa selain kami yang memiliki banyak kesamaan? Persahabatan kami saat ini hanya diisi dengan banyak keluhannya tentu lebih sering aku yang mengeluh yang sering kali berakhir tanpa penyelesaian yang baik. Kadang saat bosan mengeluh, masing-masing kami mulai membelokkan pembicaraan ke hal-hal yang menyenangkan seperti membincangkan movie, atau sebagainya. Dan tidak ada pihak yang keberatan dengan itu.

Dan rasanya seperti seabad meski sebenarnya dua minggu pun bahkan belum ada ketika aku tidak lagi mendapat keluhan dari Jasmine—ketika aku tidak tahu lagi mau mengeluh dengan siapa.

Liburan musim panas ini Jasmine menghabiskannya ke sebuah tempat yang dipenuhi banyak keberkahan untuk menambah hapalannya—ah, aku begitu iri pada orang-orang yang bisa menggunakan masa mudanya dengan baik. Praktis, karena aku tidak punya sahabat lagi—karena ia tidak mengaktifkan ponsel pintarnya agar bisa berkonsentrasi penuh—aku menjadi seperti orang linglung.

Awalnya aku tidak mempermasalahkan kepergiannya. Bahkan saat ia berpamitan dengan menyertakan emotikon menangis, rasa-rasanya aku merasa sangat geli. Oh, ayolah. Dia terlalu berlebihan. Saat aku tidak bisa berkomunikasi dengannya, aku masih bisa menghabiskan waktuku dengan menulis. Begitu yang terus kupikirkan. Aaah, sayangnya mataku tidak kuat menatap lama-lama layar laptop jika aku tidak memakai kacamata. Benar-benar payah! Lagi pula, kenapa lensa kacamataku minta ganti, sih. Padahal bulan ini kan banyak buku-buku bagus. Hemp, dan kenapa pula ganti lensa di sini berkali-kali lipat lebih mahal daripada di Solo hingga kacamataku bisa terdampar ke sana dan tak pulang-pulang? Pulanglah, Sayang. Esok raya. Esok lebaran.

Dan sungguh aku benci mengatakan ini ternyata aku merindukan Jasmine. Merindukan keluhannya, merindu untuk mengeluh. Rasanya dadaku akhir-akhir ini sering sekali terasa seperti terhimpit sesuatu.  Hufh… tapi baiklah, ia tidak akan kembali dalam waktu dekat ini.

Si manis Kyuu pernah mengatakan kata-kata yang kini menempel lekat-lekat di hatiku. “Human beings can’t do anything by themselves. That’s why they need friends.” Maka, maaf mengatakan ini. Apakah aku bisa memintamu untuk menjadi sahabatku? Oh, tidak. Bukan sebagai pelarian. Mulai sekarang aku ingin berusaha membuat lebih banyak lagi sahabat. Hanya saja, sepertinya kau memang harus berpikir ulang untuk menjadi sahabatku. Aku bukan orang yang baik setelah semua yang terjadi.

Aku harap kau berkenan memberiku kesempatan belajar untuk itu. Sebentar, ada yang ingin kutanyakan. Semoga kau menjawabnya dengan jujur. Apakah… selama aku tidak menulis… kau merindukanku? Maksudku, merindukan tulisanku? Jujur aku ingin sekali mendengar kau mengatakan tidak—bahkan tidak apa-apa untuk berpura-pura. Karena yang terjadi, hingga lembar ini aku bahkan tidak sekali pun membuatkanmu sajak-sajak indah. Maaf, aku tidak bisa. Kurasa aku tidak pandai bersajak. Aku hanya pandai mengeluh.

Hei, bagaimana harimu? Apakah kau mau menceritakannya? Apakah hari ini kau bahagia? Apa kau menikmati makan malammu? Apakah kau sehat? Baik baik saja? Merindukanku?

Ini sudah terlalu larut, sebaiknya kau tidur. Aku juga akan mencoba memejamkan mataku meski itu sangat sulit. Terima kasih untuk sampai pada kalimat terakhir ini. Semoga besok aku bisa mendengar ceritamu. Oh, iya, jangan lupa bahagia! 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar