Halo!
Eh, maaf. Ya, Maaf. Sepertinya itu kata yang paling tepat untuk saat ini. Maaf telah
membiarkan blog ini tidak lagi terisi untuk waktu yang cukup lama meski
sebenarnya tidak ada yang benar-benar peduli.
Aku
khawatir kau bertanya-tanya apakah aku masih hidup? Maksudku, masih menjadi
bagian dari perputaran dunia ini? Hmm, kabar baiknya, detik ini aku masih
bernapas. Tapi aku tidak benar-benar paham apakah aku ini masih hidup atau tidak. Untuk itulah
kali ini aku kembali menyempatkan menulis. Kuharap setelah menulis, aku
sadar jika aku masih hidup.
Seorang
sahabatku—ah lagi-lagi aku salah memilih kata. Baiklah, kurasa, aku hanya
bersahabat dengan dia. Sebut saja Jasmine—tentu bukan nama yang sebenarnya. Jasmine…
aku dan jasmine berteman dengan banyak orang. Tetapi aku hanya bersahabat
dengannya. Begitu juga dengan dia—aku akan menggorok leherku kalau perkataanku
ini salah.
Aku
tahu semua tentangnya bahkan sampai hal-hal detail seperti ia yang sangat suka
kecap—sementara aku tidak—dan ia yang begitu membenci wortel dan terasi—sementara
aku menggemarinya. Atau saat ia menyukai minuman dingin—kali ini kami sama. Dan
ia yang berkacamata—lagi-lagi sama. Dan banyak lagi.
Apa
yang istimewa selain kami yang memiliki banyak kesamaan? Persahabatan kami saat
ini hanya diisi dengan banyak keluhannya tentu lebih sering aku yang
mengeluh yang sering kali berakhir tanpa penyelesaian yang baik. Kadang saat bosan
mengeluh, masing-masing kami mulai membelokkan pembicaraan ke hal-hal yang
menyenangkan seperti membincangkan movie, atau sebagainya. Dan tidak ada pihak yang keberatan dengan itu.
Dan
rasanya seperti seabad meski sebenarnya dua minggu pun bahkan belum ada
ketika aku tidak lagi mendapat keluhan dari Jasmine—ketika aku tidak tahu lagi
mau mengeluh dengan siapa.
Liburan
musim panas ini Jasmine menghabiskannya ke sebuah tempat yang dipenuhi banyak
keberkahan untuk menambah hapalannya—ah, aku begitu iri pada orang-orang yang
bisa menggunakan masa mudanya dengan baik. Praktis, karena aku tidak punya
sahabat lagi—karena ia tidak mengaktifkan ponsel pintarnya agar bisa
berkonsentrasi penuh—aku menjadi seperti orang linglung.
Awalnya
aku tidak mempermasalahkan kepergiannya. Bahkan saat ia berpamitan dengan menyertakan emotikon
menangis, rasa-rasanya aku merasa sangat geli. Oh, ayolah. Dia terlalu
berlebihan. Saat aku tidak bisa berkomunikasi dengannya, aku masih bisa
menghabiskan waktuku dengan menulis. Begitu yang terus kupikirkan. Aaah,
sayangnya mataku tidak kuat menatap lama-lama layar laptop jika aku tidak
memakai kacamata. Benar-benar payah! Lagi pula, kenapa lensa kacamataku minta
ganti, sih. Padahal bulan ini kan
banyak buku-buku bagus. Hemp, dan kenapa pula ganti lensa di sini berkali-kali
lipat lebih mahal daripada di Solo hingga kacamataku bisa terdampar ke sana dan
tak pulang-pulang? Pulanglah, Sayang. Esok raya. Esok lebaran.
Dan
sungguh aku benci mengatakan ini ternyata aku merindukan Jasmine. Merindukan
keluhannya, merindu untuk mengeluh. Rasanya dadaku akhir-akhir ini sering
sekali terasa seperti terhimpit sesuatu. Hufh… tapi baiklah, ia tidak akan kembali
dalam waktu dekat ini.
Si
manis Kyuu pernah mengatakan kata-kata yang kini menempel lekat-lekat di
hatiku. “Human beings can’t do anything
by themselves. That’s why they need friends.” Maka, maaf mengatakan ini. Apakah
aku bisa memintamu untuk menjadi sahabatku? Oh, tidak. Bukan sebagai pelarian. Mulai
sekarang aku ingin berusaha membuat lebih banyak lagi sahabat. Hanya saja,
sepertinya kau memang harus berpikir ulang untuk menjadi sahabatku. Aku bukan
orang yang baik setelah semua yang terjadi.
Aku
harap kau berkenan memberiku kesempatan belajar untuk itu. Sebentar, ada yang
ingin kutanyakan. Semoga kau menjawabnya dengan jujur. Apakah… selama aku tidak
menulis… kau merindukanku? Maksudku, merindukan tulisanku? Jujur aku ingin
sekali mendengar kau mengatakan tidak—bahkan tidak apa-apa untuk berpura-pura. Karena
yang terjadi, hingga lembar ini aku bahkan tidak sekali pun membuatkanmu
sajak-sajak indah. Maaf, aku tidak bisa. Kurasa aku tidak pandai bersajak. Aku hanya
pandai mengeluh.
Hei,
bagaimana harimu? Apakah kau mau menceritakannya? Apakah hari ini kau bahagia? Apa kau menikmati makan malammu? Apakah
kau sehat? Baik baik saja? Merindukanku?
Ini
sudah terlalu larut, sebaiknya kau tidur. Aku juga akan mencoba memejamkan
mataku meski itu sangat sulit. Terima kasih untuk sampai pada kalimat terakhir
ini. Semoga besok aku bisa mendengar ceritamu. Oh, iya, jangan lupa bahagia!
0 komentar