Kau menyapa, dengan sapa tanya yang selalu sama. Selalu
begitu.
Tapi tidak dengan jawaban yang aku beri.
Ahh ya… pasti kau tak asing dengan kata para pemuka.
Iman itu, yazid. Dan yanqus.
Iman itu, di lapis hati-hati yang rentan. Di segumpal
darah yang lemah.
Saat semua terasa sulit. Saat semua seakan
menyesakkan dan membuatku benar-benar terhimpit.
Saat merasa sebaiknya, aku akhiri saja perjuangan
ini. Aku tinggalkan saja apa yang sudah kita usahakan, kau mengernyit.
Apa mauku? Kau meminta penjelasan. Dan di mana
semangat senja kemarin? Di mana ghoyah yang kugaungkan saat bahkan semua orang
tidak peduli dengan apa yang sedang kita usahakan?
Kau merepotkan. Kau terlalu banyak bertanya tentang
segala hal, yang tidak bisa kujawab. Pertanyaanmu, retoris. Ah, bukan. Jawaban itu,
yang harus keluar dari mulutku, terlalu menyakitkan. Potret diriku yang menyedihkan.
Lalu, aku tinggalkan dirimu, perlahan. Melakukan apa
yang kuinginkan. Mengerjakan hal-hal yang kusuka. Menutup telinga dari sapa
yang sesekali masih terucap. Dan akhirnya, kau sama sekali memutus kontak kita.
Hingga tiba masanya, aku menyerah. Ah, tepatnya,
hatiku.
Dia begitu merindu. Merindu sapa itu. Merindu kau bertanya
kabar dan memanggil namaku.
Ini menyakitkan.
Setelah kita sudah saling memutuskan dan
mengikhlaskan. Tentang hati-hati yang harus sesegera mungkin kembali dimurnikan.
Kepada hati kukatakan. Ini memang bukan sesuatu yang
mudah. Rasanya menyesakkan, lagi memilukan.
Tapi, bukankah ujian iman itu selalu datang?
Perjuangan ini tanpamu, di awal mesti berat, masih
bisa dilanjutkan. Terlalu banyak tangan-tangan yang bersedia membersamai jalan
panjang. Bertebar bahu-bahu yang lebih pantas untuk dijadikan tempat bersandar.
Meski segala sesuatunya, berbeda… jika dibandingkan denganmu.
Kepada hati kukatakan, segala yang indah…
seringkali, tidak diraih dengan sesuatu yang mudah, bukan?
Lebih baik, kehilangan sesuatu karena Allah. Daripada,
kehilangan Allah karena sesuatu. Berulang kata itu dilantunkan. Memantul dalam
gendang telinga, menggetarkan dinding-dinding hati.
Sejatinya, semua kita sedang dalam penantian, bukan?
Sejauh apapun jarak, sedahsyat apapun uji. Jika telah
disuratkan, jika telah tertuliskan.
Maka sebenarnya, semua itu bukanlah beban, Sayang…
Masa itu pasti datang. Gundah itu akan hilang.
Maka selalulah, jaga hatimu. Sebagaimana sesosok di
belahan bumi yang lainnya, berpayah-payah menjaga hatinya.
Perindah imanmu, sebagaimana… tak kurang usahanya
untuk memperelok imannya.
Masa-masa itu… masa-masa saat bersama kita merasakan
teguk telaga syurga, in syaa Allah. Akan tiba pada akhirnya.
Meski kini, terasa hingga hatimu perih, menahan
rindu.
Sampai berkidung doa, menguntai tangga, menjamah
langit.
Meski lelah, dan menyakitkan.
Meski penantian, dirasa teramat panjang, lagi
menjemukan.
Cinta bukanlah ketergesaan.
Ia tertabir dengan sesuatu yang suci. Terlingkup dalam
bingkai yang jernih.
Seringkali, ia adalah kata yang ditakdirkan, sebagai
uji dan penguat iman.
*) Sebuah renungan di jalan perjuangan. Menyepi di
sudut kamar kos, menyemesta bersama mimpi.
Jakarta Selatan, November.
2 komentar
Terenyuh membaca ini :)
ReplyDeleteTerima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca gores sederhana ini :')
Delete