Gerbong Maya

By Zulfa Rahmatina - 9:32 AM

Sosok itu masih membawa candu yang sama.
*
Stasiun ini sudah tidak beroperasi sejak kakek berhenti bekerja di pasar desa dan memutuskan untuk mengisi masa senjanya bersama kami. Aku bahkan masih ingat, jika masa itu, aku adalah gadis kecil dengan dua kepang melambai dan tebu panjang yang terus kusesap hingga rasanya berubah menjadi sepat.
Di sekeliling stasiun ini, hanya terhampar pematang sawah yang tidak terurus. Juga beberapa bangunan Belanda yang membuat adikku yang paling badung, merapal doa ketika Ummi menyuruhnya membeli beberapa bahan dapur yang membuatnya harus melewati stasiun itu daripada berpayah-payah melewati jalan yang lebih jauh.
Tapi sosok itu... mengenalkan padaku candu yang baru. Bukan, bukan seperti canduku pada aroma keringat Abah yang membuatku menciumi sarungnya berkali-kali saat rindu tanpa ampun menyergapku di rantau. Bukan itu.... Lebih dari itu, sosok itu mengenalkanku pada rasa yang baru. Rasa yang membuat ritme di dadaku menjadi debar yang tidak menentu.
*
“Kapan balik ke Jakarta?” Iffan, ketua remaja masjid yang sebaya denganku, menanyaiku saat aku sedang menata meja yang baru saja digunakan anak-anak untuk mengaji.
“Minggu depan. In syaa Allah,” sahutku, sambil terus memandangi jam tangan dengan gelisah. Jelas saja! Reyhan, sepupuku yang berjanji menjemputku dan menemaniku menyapa pemuda di stasiun desa itu, belum datang hingga senja telah merenta. Aku khawatir, aku khawatir... jika aku akan melewatkannya. Melewatkan sosok dengan kanvas dan alat-alat menggambar di bangku lapuk di bawah lonceng peron selatan.
Aku menarik ransel beratku dengan malas. Awas saja! Awas saja kau, Reyhan....
*
Malam ini aku tidak bisa tidur. Tumpukan buku yang biasanya menggoda untuk kubaca, sekarang bagai anai yang tidak berarti di mataku.
Sengaja aku tidak melewati stasiun itu saat pulang tadi. Bukan karena takut hantu seperti adikku. Tapi karena aku tahu, aku tidak akan mendapati candu itu.
*
Aku bangun dengan perasaan kesal saat kudengar suara Reyhan yang sedang tertawa dengan kakakku dengan suara yang keras. Apalagi? Mereka, kalau tidak membicarakan coding yang membuat telingaku berdenging karena tidak memahami satu pun dari kata mereka, pasti membicarakan karakter gadis di manga detektif yang selalu kujadikan bahan ejekan untuk keduanya. Hampir pecah perutku saat tahu dua ikhwan... ah, ralat. Dua cowok itu, lebih fokus pada gadis dengan ingatan fotografis daripada detektif lain yang tentunya, lebih kakkoi dan ikemen.
“Fa...!” Nada riang itu membuatku ingin muntah. “Akhwat apa jam segini baru bangun. Hati-hati nggak laku...”
 Aku tidak mempedulikan ocehan pedas Reyhan dan segera menarik cangkir berisi susu panas yang masih mengepul. Reyhan sampai menyingkirkan laptopnya demi melihat aku yang dengan kurang ajar merampas minumannya.
“Lo, belum minum ini, kan?” Cetusku, mengangkat cangkir di depan wajahku sambil duduk di sofa dekat kakakku dan melirik layar laptop Reyhan yang menyala.
Segera saja, sepupu sialan itu menjauhkan laptopnya dari pandanganku dan membuatku berdesis sengit.
“Gebetan di stasiun...”
Aku mendelik. Kulempar boneka monyet yang tidak jauh dari jangkauanku ke wajah Reyhan. Ya Tuhan... anak ini... padahal aku sudah membuat ultimatum dan mengatakan padanya jika ini adalah rahasia kita.
“Eh? Stasiun?” Tanpa perlu bertanya, aku tahu jika kakakku meminta penjelasan.
Aku meringis tidak jelas dan berjalan ke arah Reyhan sambil tidak lupa menginjak kakinya keras-keras.
*
“Gila?” Hampir saja aku tersedak saat mendengar penuturan Yuri, teman SMA-ku dulu, tentang sosok yang selalu kuintai itu. Kukulum kuah es buah yang sekarang sedang kami nikmati ini banyak-banyak.
“Dia mahasiswa sastra. Dari kota. Selalu datang ke stasiun itu jika senja. Apa tidak gila?”
Aku semakin terperangah. Jarak desa kami ke kampus pemuda itu dua jam! Pantas saja orang menyebutnya gila.
“Aku menunggu gerbong yang akan menjemputku,”
Tenggorokanku tercekat. “Dia... mengatakan itu?”
Yuri mengangguk. Ia memilah-milah potongan melon dan semangka di mangkuknya. Rasanya aku tidak sanggup berkata-kata lagi. Kurasakan peluh membasahi jilbab biru mudaku. Lesung Yuri tidak mampu membuatku tenang. Ia masih tersenyum melihatku yang berubah panik.
“Kau pasti bertanya, aku mengetahuinya dari mana, kan?” Aku diam. Tidak pula mengangguk. Mangkuk Yuri kini hanya menyisakan reremah buah. “Reyhan,” Yuri tersenyum lagi. “Sepertimu, sosok itu mengenalkanku pada candu yang baru. Bahkan hingga kini.”
Aku menelan ludah.
*
Reyhan tidak bisa dihubungi beberapa hari terakhir ini. Sementara lusa, aku sudah akan kembali ke Jakarta. Dan aku, berhenti mengunjungi stasiun itu sejak Yuri mengatakan hal-hal yang membuatku bergidik.
“Kau bukan sepupuku yang kukenal,”  dengan motornya, Reyhan tiba-tiba saja menjemputku dan berkata akan mempertemukanku dengan pemuda berbusana kasual dan berambut harajuku. Ia sedikit memiliki cambang, dan kurasa, tatapan tajamnya terlalu menusuk untuk dinikmati. Astaga... aku bahkan, memperhatikan, atau mengira? Sejauh itu!
“Tidak. Aku sibuk. Aku akan berkemas,” aku menolak ajakan Reyhan. Untuk apa? Lebih baik aku kembali menyiapkan otakku untuk menekuri diktat-diktat bertumpuk di perpustakaan kampus. Tapi tatap mata Reyhan yang mengejek membuatku tidak terima dan membuatku bergegas berpamitan pada Abah yang sedang asyik melihat pohon tin-nya yang berbuah di pekarangan rumah.
*
“Kubawa saudaraku yang ingin berkenalan denganmu.”
 Reyhan tiba-tiba saja mengatakan kata-kata yang membuat jantungku seperti hampir terlepas dari tempatnya. Pemuda itu tidak menoleh. Detik itu aku sangsi, jika candu yang kurasa ini adalah candu yang selalu kutunggu.
“Mungkin kau bisa bertanya tentang gerbong yang kau tunggu padanya.” Reyhan menyentak sepatu ketsku dengan pelan, tetapi cukup mampu membuatku melonjak. “Bicaralah!” dia menggigit bibirnya dengan geram.
Aku bersungut kesal padanya. Andai dia tahu apa yang sedang terjadi di dalam dadaku… “Ah. Hai. Aku... sepupu Reyhan. Aku suka kereta juga. Sama sepertimu, kan? Mmm... aku mahasiswi psikologi, yahh... walaupun orang-orang menertawaiku dan mengatakan jika kelak jadi psikolog nanti, pasien pertama adalah diriku sendiri.” Aku tertawa garing. Reyhan nyengir lebar. Ingin sekali kupatahkan syaraf usil dari dalam tubuh sepupuku ini.
“Gerbong itu, aku menantinya...”
Ah! Dia merespon! Kutarik jaket Reyhan. Maksudnya, agar dia berbicara. Tapi Reyhan malah diam saja dan ini membuatku begitu gemas.
“Siapa namamu?” Terbata, aku kembali membuka percakapan.
“Namamu?”
“Eh? Namaku?” Aku menunjuk diriku sendiri. Konyol. Pemuda itu pasti tidak melihatnya. Dia membelakangi kami sejak tadi. “A! Namaku... Fanny.” Ada desir yang aneh saat aku menyebut namaku sendiri. “Namamu?” Aku tidak terima. Aku harus mengetahui namanya sebelum permainan ini dimenangkan salah satu pihak.
Tapi, tidak ada jawaban setelah beberapa menit berlalu. Hanya angin aneh yang melingkupi stasiun tua ini. Aku merasa jengah dengan keadaan seperti ini.
 “Kau bodoh? Di sini tidak akan ada kereta lewat! Jalur ini bahkan sudah lama tidak dilintasi.” Aku tidak sabar. Aku benar-benar marah jika lawan bicaraku tidak mempedulikanku. Pemuda itu masih diam dan membuat sebalku menjadi bertambah-tambah. Dia sibuk menggores sesuatu di kanvasnya dan aku mulai tidak peduli. “Gerbong, gerbong... hah. Maksudmu gerbong apa? Kau sebaiknya pergi ke pasar malam. Naik bianglala, beli gula-gula. Agar hidupmu tidak menyedihkan seperti ini!” Aku muntab. “Berhenti mengatakan hal-hal aneh! Gerbong apa yang kau maksud? Hah?!”
Aku terperanjat saat akhirnya pemuda itu beranjak, dan memutar tubuhnya, berjalan ke arahku dengan pelan. Mataku membulat melihat wajahnya jauh dari kata menyedihkan yang biasa kubayangkan. Aku melihat cahaya itu. Aku melihat pendar itu padanya. Aku tidak menyangsikan lagi. Itu cahaya wudhu.
Tanpa berkata-kata, ia menyerahkan kanvas itu padaku. Aku menerimanya dengan perasaan yang tidak bisa kutafsirkan. Dengan cepat, kulihat goresannya. Ada namaku di sana. Namaku... yang ditulisnya, di atas gambar nisan di atas gundukan tanah…
“Kau tidak menanti gerbong yang akan menjemputmu?”

~END~

----------------------------
Gomen ne. Gaje dan random gini...
I'm feel not good enough now.
*Langsung post. Ga ngecek typo. Afwan kalo bertebaran. Hutang lunas yaa... 😅
Oyasuminasai. Ii yume wo mite ne...


Ini tantangan dari teman-teman KIM (Komunitas Islam Menulis) LIPIA di grup whatsapp. Hope you enjoy!

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar