Sosok
itu masih membawa candu yang sama.
*
Stasiun ini sudah tidak
beroperasi sejak kakek berhenti bekerja di pasar desa dan memutuskan untuk
mengisi masa senjanya bersama kami. Aku bahkan masih ingat, jika masa itu, aku
adalah gadis kecil dengan dua kepang melambai dan tebu panjang yang terus
kusesap hingga rasanya berubah menjadi sepat.
Di sekeliling stasiun ini, hanya
terhampar pematang sawah yang tidak terurus. Juga beberapa bangunan Belanda
yang membuat adikku yang paling badung, merapal doa ketika Ummi menyuruhnya
membeli beberapa bahan dapur yang membuatnya harus melewati stasiun itu
daripada berpayah-payah melewati jalan yang lebih jauh.
Tapi sosok itu... mengenalkan
padaku candu yang baru. Bukan, bukan seperti canduku pada aroma keringat Abah
yang membuatku menciumi sarungnya berkali-kali saat rindu tanpa ampun menyergapku
di rantau. Bukan itu.... Lebih dari itu, sosok itu mengenalkanku pada rasa yang
baru. Rasa yang membuat ritme di dadaku menjadi debar yang tidak menentu.
*
“Kapan balik ke Jakarta?” Iffan,
ketua remaja masjid yang sebaya denganku, menanyaiku saat aku sedang menata
meja yang baru saja digunakan anak-anak untuk mengaji.
“Minggu depan. In syaa Allah,”
sahutku, sambil terus memandangi jam tangan dengan gelisah. Jelas saja! Reyhan,
sepupuku yang berjanji menjemputku dan menemaniku menyapa pemuda di stasiun
desa itu, belum datang hingga senja telah merenta. Aku khawatir, aku
khawatir... jika aku akan melewatkannya. Melewatkan sosok dengan kanvas dan
alat-alat menggambar di bangku lapuk di bawah lonceng peron selatan.
Aku menarik ransel beratku dengan
malas. Awas saja! Awas saja kau, Reyhan....
*
Malam ini aku tidak bisa tidur.
Tumpukan buku yang biasanya menggoda untuk kubaca, sekarang bagai anai yang
tidak berarti di mataku.
Sengaja aku tidak melewati
stasiun itu saat pulang tadi. Bukan karena takut hantu seperti adikku. Tapi
karena aku tahu, aku tidak akan mendapati candu itu.
*
Aku bangun dengan perasaan kesal
saat kudengar suara Reyhan yang sedang tertawa dengan kakakku dengan suara yang
keras. Apalagi? Mereka, kalau tidak membicarakan coding yang membuat telingaku
berdenging karena tidak memahami satu pun dari kata mereka, pasti membicarakan
karakter gadis di manga detektif yang selalu kujadikan bahan ejekan untuk
keduanya. Hampir pecah perutku saat tahu dua ikhwan... ah, ralat. Dua cowok
itu, lebih fokus pada gadis dengan ingatan fotografis daripada detektif lain
yang tentunya, lebih kakkoi dan ikemen.
“Fa...!” Nada riang itu membuatku
ingin muntah. “Akhwat apa jam segini baru bangun. Hati-hati nggak laku...”
Aku tidak mempedulikan ocehan pedas Reyhan dan
segera menarik cangkir berisi susu panas yang masih mengepul. Reyhan sampai
menyingkirkan laptopnya demi melihat aku yang dengan kurang ajar merampas
minumannya.
“Lo, belum minum ini, kan?”
Cetusku, mengangkat cangkir di depan wajahku sambil duduk di sofa dekat kakakku
dan melirik layar laptop Reyhan yang menyala.
Segera saja, sepupu sialan itu
menjauhkan laptopnya dari pandanganku dan membuatku berdesis sengit.
“Gebetan di stasiun...”
Aku mendelik. Kulempar boneka
monyet yang tidak jauh dari jangkauanku ke wajah Reyhan. Ya Tuhan... anak
ini... padahal aku sudah membuat ultimatum dan mengatakan padanya jika ini
adalah rahasia kita.
“Eh? Stasiun?” Tanpa perlu
bertanya, aku tahu jika kakakku meminta penjelasan.
Aku meringis tidak jelas dan
berjalan ke arah Reyhan sambil tidak lupa menginjak kakinya keras-keras.
*
“Gila?” Hampir saja aku tersedak
saat mendengar penuturan Yuri, teman SMA-ku dulu, tentang sosok yang selalu
kuintai itu. Kukulum kuah es buah yang sekarang sedang kami nikmati ini
banyak-banyak.
“Dia mahasiswa sastra. Dari kota.
Selalu datang ke stasiun itu jika senja. Apa tidak gila?”
Aku semakin terperangah. Jarak
desa kami ke kampus pemuda itu dua jam! Pantas saja orang menyebutnya gila.
“Aku menunggu gerbong yang akan
menjemputku,”
Tenggorokanku tercekat. “Dia...
mengatakan itu?”
Yuri mengangguk. Ia memilah-milah
potongan melon dan semangka di mangkuknya. Rasanya aku tidak sanggup
berkata-kata lagi. Kurasakan peluh membasahi jilbab biru mudaku. Lesung Yuri
tidak mampu membuatku tenang. Ia masih tersenyum melihatku yang berubah panik.
“Kau pasti bertanya, aku
mengetahuinya dari mana, kan?” Aku diam. Tidak pula mengangguk. Mangkuk Yuri
kini hanya menyisakan reremah buah. “Reyhan,” Yuri tersenyum lagi. “Sepertimu,
sosok itu mengenalkanku pada candu yang baru. Bahkan hingga kini.”
Aku menelan ludah.
*
Reyhan tidak bisa dihubungi
beberapa hari terakhir ini. Sementara lusa, aku sudah akan kembali ke Jakarta. Dan
aku, berhenti mengunjungi stasiun itu sejak Yuri mengatakan hal-hal yang
membuatku bergidik.
“Kau bukan sepupuku yang kukenal,”
dengan motornya, Reyhan tiba-tiba saja
menjemputku dan berkata akan mempertemukanku dengan pemuda berbusana kasual dan
berambut harajuku. Ia sedikit memiliki cambang, dan kurasa, tatapan tajamnya
terlalu menusuk untuk dinikmati. Astaga... aku bahkan, memperhatikan, atau
mengira? Sejauh itu!
“Tidak. Aku sibuk. Aku akan
berkemas,” aku menolak ajakan Reyhan. Untuk apa? Lebih baik aku kembali
menyiapkan otakku untuk menekuri diktat-diktat bertumpuk di perpustakaan
kampus. Tapi tatap mata Reyhan yang mengejek membuatku tidak terima dan
membuatku bergegas berpamitan pada Abah yang sedang asyik melihat pohon tin-nya
yang berbuah di pekarangan rumah.
*
“Kubawa saudaraku yang ingin
berkenalan denganmu.”
Reyhan tiba-tiba saja mengatakan kata-kata
yang membuat jantungku seperti hampir terlepas dari tempatnya. Pemuda itu tidak
menoleh. Detik itu aku sangsi, jika candu yang kurasa ini adalah candu yang
selalu kutunggu.
“Mungkin kau bisa bertanya
tentang gerbong yang kau tunggu padanya.” Reyhan menyentak sepatu ketsku dengan
pelan, tetapi cukup mampu membuatku melonjak. “Bicaralah!” dia menggigit
bibirnya dengan geram.
Aku bersungut kesal padanya. Andai
dia tahu apa yang sedang terjadi di dalam dadaku… “Ah. Hai. Aku... sepupu
Reyhan. Aku suka kereta juga. Sama sepertimu, kan? Mmm... aku mahasiswi
psikologi, yahh... walaupun orang-orang menertawaiku dan mengatakan jika kelak
jadi psikolog nanti, pasien pertama adalah diriku sendiri.” Aku tertawa garing.
Reyhan nyengir lebar. Ingin sekali kupatahkan syaraf usil dari dalam tubuh
sepupuku ini.
“Gerbong itu, aku menantinya...”
Ah! Dia merespon! Kutarik jaket
Reyhan. Maksudnya, agar dia berbicara. Tapi Reyhan malah diam saja dan ini
membuatku begitu gemas.
“Siapa namamu?” Terbata, aku
kembali membuka percakapan.
“Namamu?”
“Eh? Namaku?” Aku menunjuk diriku
sendiri. Konyol. Pemuda itu pasti tidak melihatnya. Dia membelakangi kami sejak
tadi. “A! Namaku... Fanny.” Ada desir yang aneh saat aku menyebut namaku
sendiri. “Namamu?” Aku tidak terima. Aku harus mengetahui namanya sebelum
permainan ini dimenangkan salah satu pihak.
Tapi, tidak ada jawaban setelah
beberapa menit berlalu. Hanya angin aneh yang melingkupi stasiun tua ini. Aku merasa
jengah dengan keadaan seperti ini.
“Kau bodoh? Di sini tidak akan ada kereta
lewat! Jalur ini bahkan sudah lama tidak dilintasi.” Aku tidak sabar. Aku
benar-benar marah jika lawan bicaraku tidak mempedulikanku. Pemuda itu masih
diam dan membuat sebalku menjadi bertambah-tambah. Dia sibuk menggores sesuatu
di kanvasnya dan aku mulai tidak peduli. “Gerbong, gerbong... hah. Maksudmu
gerbong apa? Kau sebaiknya pergi ke pasar malam. Naik bianglala, beli
gula-gula. Agar hidupmu tidak menyedihkan seperti ini!” Aku muntab. “Berhenti
mengatakan hal-hal aneh! Gerbong apa yang kau maksud? Hah?!”
Aku terperanjat saat akhirnya
pemuda itu beranjak, dan memutar tubuhnya, berjalan ke arahku dengan pelan.
Mataku membulat melihat wajahnya jauh dari kata menyedihkan yang biasa
kubayangkan. Aku melihat cahaya itu. Aku melihat pendar itu padanya. Aku tidak
menyangsikan lagi. Itu cahaya wudhu.
Tanpa berkata-kata, ia
menyerahkan kanvas itu padaku. Aku menerimanya dengan perasaan yang tidak bisa
kutafsirkan. Dengan cepat, kulihat goresannya. Ada namaku di sana. Namaku...
yang ditulisnya, di atas gambar nisan di atas gundukan tanah…
“Kau tidak menanti gerbong yang
akan menjemputmu?”
~END~
----------------------------
Gomen ne. Gaje dan random gini...
I'm feel not good enough now.
*Langsung post. Ga ngecek typo. Afwan
kalo bertebaran. Hutang lunas yaa... 😅
Oyasuminasai. Ii yume wo mite
ne...
Ini tantangan dari teman-teman KIM
(Komunitas Islam Menulis) LIPIA di grup whatsapp. Hope you enjoy!
0 komentar