Ketika Aku Mengaku Rindu

By Zulfa Rahmatina - 10:21 PM


            Aku tidak tahu kenapa rasa takut kehilanganmu ini cukup membuat dadaku terasa begitu sesak. Meski seringkali, jika kau hadir, jika aku berada di sisimu, aku lebih sering acuh. Memilih tidak peduli, dan meneruskan aktivitas duniawiku yang begitu melenakan.
            Ah, yang seperti itu… apakah bisa disebut cinta? Aku tidak yakin terhadap rasaku sendiri. Meski demi membuktikan bahwa itu cinta, dua bulan yang lalu, juga bulan-bulan sebelumnya, aku terus merapal doa, agar kiranya Allah sudi mempertemukan kita.
            Dan Tuhan kita benar-benar sungguh Maha Baik. Ia kabulkan doa itu, dan Ia perkenankan kita untuk bertemu. Boleh aku bertanya? Bagaimana kabarmu? Ah, aku tahu ini pertanyaan bodoh. Kabarmu, tentu saja selalu baik, bukan? Imankulah yang seringkali sakit.
            Kau tahu? Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, aromamu selalu membuat candu bagiku. Hampir sebulan kau membersamaiku dengan damai dan begitu banyak janji manismu. Tapi, lagi-lagi, meski aku tahu kau tidak pernah berbohong dengan semua yang kau janjikan itu, aku lebih memilih berlama-lama di dalam kamar, menyalakan gadget dengan kuota yang telah banyak terisi, tanpa menyertakan keindahanmu dalam setiap lakuku.
            Aku lebih memilih membaca portal-portal berita yang berkisah tentang kelucuan negeri kita atau menghabiskan waktu dalam level-level permainan yang panjang. Tak jarang, aku hanya mengisi waktuku dengan menonton drama-drama yang tak ada habisnya. Duh! Aku jadi sangsi. Benarkah ini cinta? Benarkah ini rindu?
            Beberapa hari yang lalu, saat aku masih juga tidak menyibukkan diri dengan amalan-amalan indah, seperti yang berulang kau sarankan, kau mengabarkan pada kami suatu berita yang mengejutkan. Di tanah suci yang bermil-mil jauhnya dari negeri kita yang tercinta ini, para bekantan dengan lambang heksagram, juga kera-kera albino dengan wajah membosankan itu mulai berulah.
            Tak segan mereka menunjukkan hasil ‘kreativitas’ mereka sehingga di laman facebook dan twitterku, terserak gambar yang begitu memilukan. Saat itu, aku hanya mampu menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Aku kembali mengingatmu yang juga membersamai para jundi-jundi kecil yang banyak menjemput syahid di hari-hari suci ini.
            Bagaimana keadaan mereka? Apakah ifthar mereka, terhidang berbagai macam masakan seperti yang ada di meja makanku? Apakah mereka, juga malas bangun sahur seperti kami di sini? Lalu, apa mushaf-mushaf mereka juga tergeletak begitu saja karena mereka terlalu sibuk menyelamatkan diri dari gempur rudal dan tank-tank serta bulldozer busuk itu?
            Lagi-lagi, aku dibuatnya malu. Bahkan meski air bersih pun sudah sulit mereka dapatkan, kudengar, mereka terus melantunkan Al Anfaal, atau surah-surah yang lain. Lalu, meski malam-malam mereka tak ubahnya senja sebab begitu bersinarnya langit karena nuklir yang meledak dari arah selatan maupun utara langit, mereka tetap membersamaimu mengisi malam-malam yang penuh rahmat.
            Di sini, aku mengaku cinta. Di sini, aku mengaku rindu. Tapi nyatanya, itu hanya pemanis bibir saja. Aku masih terus mengacuhkanmu dan tidak menyibukkanku dengan amalan-amalan yang membuatmu semakin mencintaiku.
            Duhai… sekarang, saat kita hanya diberi sedikit saja waktu untuk masih terus bersama, aku baru menyesal. Kenapa tidak kugunakan kesempatan bersamamu dengan sebaik-baiknya? Rasa yang berbulan-bulan lalu kurasakan itu kembali muncul. Akan harap, takut dan cemasku jika tak lagi bisa menjumpai dirimu dengan pesona khas yang membuat fajar-fajar kami, dhuha, juga malam-malam kami penuh dengan nur dari syurga.
            Ramadhan, kami masih dalam pelukmu, tapi hati ini telah begitu merindu… harapku, semoga kita masih dipertemukan, di tahun-tahun yang berjalan.


            Kendal, di penghujung Ramadhan 1435 H

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar