Aku tidak tahu kenapa rasa takut
kehilanganmu ini cukup membuat dadaku terasa begitu sesak. Meski seringkali,
jika kau hadir, jika aku berada di sisimu, aku lebih sering acuh. Memilih tidak
peduli, dan meneruskan aktivitas duniawiku yang begitu melenakan.
Ah, yang seperti itu… apakah bisa
disebut cinta? Aku tidak yakin terhadap rasaku sendiri. Meski demi membuktikan
bahwa itu cinta, dua bulan yang lalu, juga bulan-bulan sebelumnya, aku terus
merapal doa, agar kiranya Allah sudi mempertemukan kita.
Dan Tuhan kita benar-benar sungguh
Maha Baik. Ia kabulkan doa itu, dan Ia perkenankan kita untuk bertemu. Boleh
aku bertanya? Bagaimana kabarmu? Ah, aku tahu ini pertanyaan bodoh. Kabarmu,
tentu saja selalu baik, bukan? Imankulah yang seringkali sakit.
Kau tahu? Sama seperti tahun-tahun
sebelumnya, aromamu selalu membuat candu bagiku. Hampir sebulan kau
membersamaiku dengan damai dan begitu banyak janji manismu. Tapi, lagi-lagi,
meski aku tahu kau tidak pernah berbohong dengan semua yang kau janjikan itu,
aku lebih memilih berlama-lama di dalam kamar, menyalakan gadget dengan kuota
yang telah banyak terisi, tanpa menyertakan keindahanmu dalam setiap lakuku.
Aku lebih memilih membaca
portal-portal berita yang berkisah tentang kelucuan negeri kita atau menghabiskan
waktu dalam level-level permainan yang panjang. Tak jarang, aku hanya mengisi
waktuku dengan menonton drama-drama yang tak ada habisnya. Duh! Aku jadi
sangsi. Benarkah ini cinta? Benarkah ini rindu?
Beberapa hari yang lalu, saat aku
masih juga tidak menyibukkan diri dengan amalan-amalan indah, seperti yang
berulang kau sarankan, kau mengabarkan pada kami suatu berita yang mengejutkan.
Di tanah suci yang bermil-mil jauhnya dari negeri kita yang tercinta ini, para
bekantan dengan lambang heksagram, juga kera-kera albino dengan wajah
membosankan itu mulai berulah.
Tak segan mereka menunjukkan hasil
‘kreativitas’ mereka sehingga di laman facebook dan twitterku, terserak gambar
yang begitu memilukan. Saat itu, aku hanya mampu menggigit bibir bawahku
kuat-kuat. Aku kembali mengingatmu yang juga membersamai para jundi-jundi kecil
yang banyak menjemput syahid di hari-hari suci ini.
Bagaimana keadaan mereka? Apakah
ifthar mereka, terhidang berbagai macam masakan seperti yang ada di meja
makanku? Apakah mereka, juga malas bangun sahur seperti kami di sini? Lalu, apa
mushaf-mushaf mereka juga tergeletak begitu saja karena mereka terlalu sibuk
menyelamatkan diri dari gempur rudal dan tank-tank serta bulldozer busuk itu?
Lagi-lagi, aku dibuatnya malu. Bahkan
meski air bersih pun sudah sulit mereka dapatkan, kudengar, mereka terus
melantunkan Al Anfaal, atau surah-surah yang lain. Lalu, meski malam-malam
mereka tak ubahnya senja sebab begitu bersinarnya langit karena nuklir yang
meledak dari arah selatan maupun utara langit, mereka tetap membersamaimu
mengisi malam-malam yang penuh rahmat.
Di sini, aku mengaku cinta. Di sini,
aku mengaku rindu. Tapi nyatanya, itu hanya pemanis bibir saja. Aku masih terus
mengacuhkanmu dan tidak menyibukkanku dengan amalan-amalan yang membuatmu
semakin mencintaiku.
Duhai… sekarang, saat kita hanya
diberi sedikit saja waktu untuk masih terus bersama, aku baru menyesal. Kenapa
tidak kugunakan kesempatan bersamamu dengan sebaik-baiknya? Rasa yang
berbulan-bulan lalu kurasakan itu kembali muncul. Akan harap, takut dan cemasku
jika tak lagi bisa menjumpai dirimu dengan pesona khas yang membuat fajar-fajar
kami, dhuha, juga malam-malam kami penuh dengan nur dari syurga.
Ramadhan, kami masih dalam pelukmu,
tapi hati ini telah begitu merindu… harapku, semoga kita masih dipertemukan, di
tahun-tahun yang berjalan.
Kendal, di penghujung Ramadhan 1435
H
0 komentar