Kali
pertama kita memenangkan perlombaan, barangkali bahagia seperti hanya milik
kita. Gegap gempita menyesaki dada, seolah-olah usaha hari lalu, demikian
cemerlangnya.
Kali
pertama kita masuk perguruan tinggi, dan lantas menuntaskan pendidikannya,
barangkali euforia yang dirasa tak habis-habisnya, susah payah saat menyusun
skripsi tak ada artinya. Terbayar sudah segala lara, kontan dengan seremonial
wisuda. Ucapan selamat tak henti-henti, kado-kado bertubi-tubi. Betapa gembira!
Kali
pertama kita jatuh cinta, barangkali pengap rasanya. Dada seperti disesaki
ribuan bunga. Pipi merona, mata berbinar-binar begitu terangnya. Hari-hari
lebih bergairah, tentu saja jika dengan iring senyumnya.
Pun kali
pertama kekecewaan menyapa, barangkali rasa gagal sebesar gunung ikut menerpa. Hati
sungguh patah tiada terkira. Linangan air di sudut pelupuk mata tak kering jua.
Betapa nelangsa. Diri menjadi merasa yang paling kurang usaha, yang paling kurang doanya, kurang amalnya.
Kali
pertama kita diterima bekerja, kali pertama kita menikah, kali pertama kita
menjadi orang tua, kali pertama kita menjalani peran-peran baru, kali pertama
peristiwa demi peristiwa tiba mewarnai episode perjalanan hidup kita. Barangkali,
rasanya, tiada duanya.
Tapi,
kita tidak akan pernah menjadi yang pertama bahagia. Kita tidak akan pernah menjadi yang pertama
nestapa. Ada yang lebih banyak memiliki jalan hidup bergelimang suka, ada pula yang lebih banyak diuji duka. Kita tidak pernah menjadi yang pertama kali dalam hidup ini. Tapi,
selalu ada kali pertama dalam hidup kita. Kali pertama dada kita berdebar entah
mengapa, kali pertama kita tenggelam dalam sujud, begitu lamanya …
Menco,
06/11.
0 komentar