Sekeping Skripsi

By Zulfa Rahmatina - 5:27 PM




Akan kuatkah, kaki yang melangkah
bila disapa duri yang menanti
akan kaburkah mata yang menatap
pada debu yang pasti kan hinggap …

Kalau kamu familiar dengan munsyid Malaysia, atau kamu kelahiran 90-an (wah, ketahuan!) kamu pasti tidak akan asing dengan lirik di atas, kan? Ya, itu penggalan nasyid Sekeping Hati yang dibawakan oleh Saujana. Kenapa menjadi pembuka? Entah, tiba-tiba ingat saja. Jadi sesuai judul, tulisan ini akan membahas perkara bagaimana penyusunan skripsiku. Tadinya, aku ingin mengabadikan proses itu dengan menulis setiap progresnya, tapi kok ternyata berat sekali ya. Bahkan ada saat di mana aku takut buka laptop! Haha—kalau sempat lah, aku bakal nulis ini juga. 

Sebagaimana yang pernah aku ceritakan, di Psikologi UMS kami harus menempuh mata kuliah Teknik Penyusunan Skripsi (TPS) sebagai satu prasyarat untuk mengambil skripsi—selain jumlah sks yang sudah ditempuh. Maka dengan nekat, walau IP di semester limaku hancur-hancuran karena aku sedang sibuk-sibuknya jadi pimred dan dapat musibah di nilai praktikum—ah, ini alasan saja sih—yang walau sudah kuperjuangkan keadilannya tapi tetap tidak ada hasil, aku memberanikan diri mengambil TPS, yang mengantarkanku pada pengalaman menjadi satu-satunya angkatan 2015 di dalam kelas, satu-satunya yang belum punya judul penelitian (karena teman sekelas yang lain kebanyakan anak-anak yang mengulang mata kuliah), satu-satunya yang tidak punya teman—kenal sih, beberapa kakak tingkat yang juga aktif di mentoring. Ah, tapi, mereka laki-laki. Keleluasaanku terbatas. Apalagi, aku sering tidak percaya jika harus bertanya urusan kuliah pada laki-laki, wkwk. Maka beruntunglah kalian beberapa laki-laki yang aku kejar dengan urusan-urusan kuliah ya, hahaha.

Di kelas TPS, karena tekadku yang kuat dan ghirohku sedang tinggi-tingginya (apalagi aku habis pulang dari magang di RSJ—salah satu episode hidup yang aku mimpi-mimpikan) saat ditanya dosen pengampu, aku pede sekali menawarkan konsep transpersonal untuk Orang dengan Skizofrenia, atau caregiver—karena aku begitu miris ketika pasien-pasien (yang belakangan kami menjadi teman) di RSJ mengeluhkan efek samping obat yang mereka konsumsi berikut ketergantungannya. Sebagai ‘anak bawang’ di hadapan dosenku yang beraliran psikologi positif, aku tentu berharap judulku diterima. Saat mengutarakan konsep itu, dosen pengampu memintaku membicarakannya dengan dosen pembimbing informal, dan di akhir, kedua dosenku tersebut berkata, “Terlalu berat, Zulfa,” sedihlah aku tiada terkira (lebay). Aku bahkan sudah menghubungi supervisorku di RSJ untuk meminta izin penelitian di RSJ loh! Saat itu aku tertarik untuk ikut program Family Gathering milik instalasi Psikologi Eksekutif, yakni pertemuan antara psikolog, pasien rawat jalan, berikut keluarganya.

Begitu ide pertamaku ditolak, keinginanku terhadap peminatan Klinis masih membara. Saat itu di mading fakultas dipasang pengumuman penelitian payung oleh dosen yang juga pengampuku di mata kuliah TPS. Tak banyak pikir, mendaftarlah aku di penelitian dengan tema terapi membatik, membatik di sini tidak sekadar corak lengkung atau bunga-bunga, tapi dengan kaligrafi, jadi selain mendapat sisi indigenous, beliau menawarkan konsep-konsep Islami, keren sekali bukan? Singkat cerita, penelitian itu tidak berlanjut, dan mau tidak mau, judulku harus kembali ganti. Dosen pembimbing akademikku kemudian menyarankan aku mengubah intervensi, tidak lagi terapi batik, tetapi dengan seni. Sedikit mirip, tapi jauh berbeda. Maksudnya? Ya begitu lah. Aku mati-matian mempelajari handbook yang direkomendasikan, menghubungi kakak tingkat yang baru menyelesaikan tesisnya di Magister Psikologi Profesi UGM—topik tesisnya juga mengangkat terapi seni. Aku membaca banyak jurnal, sampai kembali mempelajari metode eksperimen. Satu-satunya mata kuliah dimana aku mendapat nilai BC! (nilai yang kupertanyakan keadilannya tadi).

Berkat kesungguhan dan bantuan dari banyak pihak tadi, selesailah proposal skripsiku dengan judul Intervensi Terapi Seni terhadap Regulasi Emosi Mahasiswa. Aku mempresentasikan proposalku dan mendapat tanggapan serta nilai yang cukup memuaskan, sudah bisa langsung ambil data, kata dosenku. Kembanglah hatiku, tetapi hanya sesaat. Saat itu, tentu aku sudah melakukan hitung-hitungan waktu, dan biaya—masalah terbesarku di judul itu karena dengan metode eksperimen, aku harus mengadakan beberapa kali sesi terapi, menghadirkan terapis, dan memanipulasi kelas eksperimen sekaligus kelas kontrol. Tidak ketinggalan, tentu juga memikirkan pencarian subjek dan kesejahteraan! Beberapa kawan menawarkan bantuan tanpa kuminta, alhamdulillaah. Tetapi masuk ke semester 7, qadarullah aku diharuskan mengganti dosen pembimbing dan dosbing baruku ingin aku menawarkan penelitian lain.

Jeda liburan semester saat itu sungguh membuatku bingung. Kabar penelitianku, juga kabar-kabar lain yang saat itu menjadi perbincangan di fakultas kami semenjak sebelum Ramadhan datang, membuatku harus memutar otak. Beberapa kakak tingkat memberi saran-saran bijak, teman-teman menyemangati. Tapi aku tetap saja bingung. Aku sungguh di posisi sulit dan tidak mudah—terlebih ketika aku mendapat suatu tawaran baru—yang teman-teman pasti tahu apa itu. Akhirnya dengan berat hati, aku melepaskan judul penelitian sebelumnya, meski aku belum memiliki judul yang baru.

Setelah menyelesaikan proyek penelitian bersama Single Father Parenting dengan teman-teman CIIP, dosen PA-ku menantang untuk mengirim paper ke ajang Inter Islamic University Conference on Psychology (IIUCP) yang diadakan di Malang. Saat itu ada beberapa tema yang ditawarkan dan entah mengapa aku mengambil peminatan Industri dan Organisasi—sesuatu yang sangat jauh dari bahkan real dan ideal self Zulfa saat itu, mungkin hingga nanti, haha. Di tengah penelitian industri tersebut, saat skripsiku bahkan belum mulai halaman cover, aku masih disibukkan dalam kepanitiaan seminar nasional milik fakultas yang juga bertema Industri dan Organisasi (sudah pernah sedikit aku singgung di tulisan resensi buku I Am Sarahza). Bersama skripsi, aku juga masih mengambil mata kuliah lain sejumlah 11 sks. Akhirnya setelah bermusyawarah dengan tim, kami sepakat mengangkat Entrepreneurship in Islamic Value, kami mengirimkan abstrak, mengambil data (aku suka proses ini, karena bakal bertemu orang-orang baru dan pelajaran baru), menyusun jurnal, mengirimkannya, dan lolos.

Tibalah saat hari presentasi. Waktu itu Sabtu, 10 Oktober 2018 di Malang. Mengejutkannya, di sana, aku juga mendapat peran lain yang diberikan oleh dekan yang membersamai kami. Dadakan. Yaitu menjadi moderator yang posisi tersebut biasa diisi oleh dosen-dosen. Lebih-lebih ini ajang internasional. Zulfa keluar dari zona nyaman! Alhamdulillah, proses itu terlewati dengan baik, meski tidak sempurna. Setelahnya, aku masih memikirkan apakah akan melanjutkan jurnal ini menjadi judul penelitian skripsiku. Tetapi, ada tawaran lain.

Jeda liburan semester lalu, Astried menghubungiku untuk mengajakku mengikuti Olimpiade Psikologi di Lampung. Ia menawarkan kompetisi cabang paper. Setelah memperlihatkanku brosur dan mengajakku berdiskusi, kami sepakat mengambil tema Generasi Millennial, harapan dan tantangan. Saat itu, entah kenapa aku tiba-tiba teringat dengan majalah edisi terakhir ketika aku masih menjadi pemimpin redaksi majalah kala itu. Majalah kedua kami mengangkat tema Seks dan Anak, spesifiknya, kami menyoroti bagaimana seksualitas telah berkelindan sedemikian rupa dengan anak. Maka aku mengajukan kepada Astried untuk mengangkat tema pelecehan seksual, yang kemudian aku ajukan pula kepada dosbingku untuk kuangkat sebagai topik utama penelitian skripsiku.

Alhamdulillaah, 13 November 2018, kami terbang ke Lampung. Kami memilih pesawat yang berbeda dengan dosen kami—padahal dosen kami menawarkan pesawat yang sama. Tetapi karena pertimbangan lain, kami berpisah. Pesawat yang kami tumpangi rupanya delay parah. Sampai di Lampung, aku mengenali beberapa delegasi yang datang karena kami pernah mengikuti ajang yang sama di Gresik, Jawa Timur. Aku menyapa laki-laki dari Sidoarjo yang rupanya juga tengah sibuk menyusun skripsi—untuk sesaat, di tengah-tengah keriuhan teman-teman baru di Lampung yang merekomendasikanku untuk mencicipi keripik pisang cokelat Lampung, aku kembali teringat skripsiku.

Kami kembali ke Solo dengan memboyong piala, alhamdulillaah. Menaiki maskapai yang roda depannya rusak dan membuat kami tiba di Jakarta begitu larut. Perjalanan yang teramat melelahkan dan aku tidak membawa buku untuk menemani perjalanan. Lelahku tidak hanya fisik, tapi juga mental. Lelah yang bertambah-tambah. Di tengah lelah itu, Astried dan dosenku sempat-sempatnya menawari ajang lain, di UGM, tepatnya. Aku lekas-lekas menggeleng. Bagaimana nanti kabar skripsiku?

Maka dua minggu setelah dari Lampung, aku menyelesaikan pengambilan dataku baik dari penyebaran kuesioner maupun pendalaman melalui wawancara kepada beberapa responden. Oh iya, data paper ke Lampung merupakan data awal skripsiku. Setelah proses pengambilan data, tentu saja aku langsung melakukan transkrip—bahasa anak psikologinya verbatim, aku melakukan analisa dan kategorisasi, rajin bimbingan dan berkonsultasi tentang perkembangan skripsiku, melakukan member check, menyelesaikan bab penutup dan saran, serta membuat naskah publikasi. Syukurku melangit, tanggal 6 Februari 2019 aku melakukan sidang skripsi dengan hasil yang memuaskan, alhamdulillaah.

Rupanya, tantangan tidak serta merta selesai. Tantangan terberat adalah masa-masa revisi dan pemberkasan. Lebih-lebih untukku yang jarak dari sidang dan batas terakhir pemberkasan hanya 10 hari—belum drama dosen susah ditemui. 2 hari setelah sidang, aku sama sekali tidak membuka laptop. Seorang kakak tingkat tertawa karena ia juga merasakan hal yang sama. Akhirnya 3 hari setelah sidang dan seusai aku menyelesaikan revisian, aku ambruk. Dadaku sakit sekali (apalagi jika malam dan Solo saat itu mulai dingin). Suaraku parau. Demamku naik turun sementara saat itu akhir pekan. Teman-teman dekatku pulang. Aku memacu motor sendiri ke klinik milik sebuah pesantren di dekat kampus kami, sebelum akhirnya aku merasa seperti sedang sekarat. Senja itu, sekujur tubuhku terasa dingin. Buket bunga mawar pemberian teman-temanku mulai layu. Tetapi justru saat itu, aku merasa Allaah benar-benar Maha Baik, dan aku merasa sangat kecil dan lemah.

Aku berpikir, bagaimana jika aku tetap melanjutkan penelitian eksperimenku? Pertahananku justru akan hancur! Sesi terapi tidak bisa dilakukan satu kali, itu yang berkali-kali dikatakan dosenku dan setelah aku mempelajari modul terapi seni. Terlebih, beberapa terapis yang kutemukan berdomisili di luar kota. Tak terbayang aku harus menghadirkan dan menyesuaikan jadwal dengan meraka. Allaah benar-benar memberi sesuatu sesuai kesanggupan hamba-Nya. Barangkali, jika judulku tidak berulang kali ganti, aku juga tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mengukir kenangan baik di Malang, Lampung, dan kesempatan-kesempatan lain, kan?

Segala puji bagi Allaah, yang atas segala nikmat-Nya, segala kebaikan menjadi sempurna.

Ada yang rela menembus hujan :')

Taraaa, bunga dan buntelan cintanya cantik sekali :)

mengharap senang dalam berjuang
bagai merindu rembulan di tengah siang
jalannya tak seindah sentuhan mata
pangkalnya jauh, ujungnya belum tiba …

Tapi jalan kebenaran,
tak akan, selamanya sunyi …
ada ujian yang datang melanda
ada perangkap, menunggu mangsa



  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. Bagus...seperti yang saya alami, klo anda disibukan dengan organisasi dan olimpiade2, nah aku ... Sibuk dengan ekspedisi alam dan tuntutan menjadi relawan kemanusiaan yang tak kunjung usai, pun saat ini sudah tiga kali judul skripsi ditolak oleh dosen PA. Lumayan lah tulisannya bisa bikin semangat 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, terima kasih sudah berkenan membaca. Semangat untuk skripsinya, semoga kamu memiliki hari yang menyenangkan :)

      Delete