Akan kuatkah, kaki yang
melangkah
bila disapa duri yang
menanti
akan kaburkah mata yang
menatap
pada debu yang pasti
kan hinggap …
Kalau kamu familiar
dengan munsyid Malaysia, atau kamu kelahiran 90-an (wah, ketahuan!) kamu pasti
tidak akan asing dengan lirik di atas, kan? Ya, itu penggalan nasyid Sekeping
Hati yang dibawakan oleh Saujana. Kenapa menjadi pembuka? Entah, tiba-tiba
ingat saja. Jadi sesuai judul, tulisan ini akan membahas perkara bagaimana
penyusunan skripsiku. Tadinya, aku ingin mengabadikan proses itu dengan menulis
setiap progresnya, tapi kok ternyata berat sekali ya. Bahkan ada saat di mana
aku takut buka laptop! Haha—kalau sempat lah, aku bakal nulis ini juga.
Sebagaimana yang pernah
aku ceritakan, di Psikologi UMS kami harus menempuh mata kuliah Teknik
Penyusunan Skripsi (TPS) sebagai satu prasyarat untuk mengambil skripsi—selain
jumlah sks yang sudah ditempuh. Maka dengan nekat, walau IP di semester limaku hancur-hancuran karena
aku sedang sibuk-sibuknya jadi pimred dan dapat musibah di nilai praktikum—ah,
ini alasan saja sih—yang walau sudah kuperjuangkan keadilannya tapi tetap tidak
ada hasil, aku memberanikan diri mengambil TPS, yang mengantarkanku pada pengalaman menjadi satu-satunya angkatan 2015 di dalam kelas, satu-satunya yang belum punya judul penelitian
(karena teman sekelas yang lain kebanyakan anak-anak yang mengulang mata
kuliah), satu-satunya yang tidak punya teman—kenal sih, beberapa kakak
tingkat yang juga aktif di mentoring. Ah, tapi, mereka laki-laki. Keleluasaanku
terbatas. Apalagi, aku sering tidak percaya jika harus bertanya urusan kuliah
pada laki-laki, wkwk. Maka beruntunglah kalian beberapa laki-laki yang aku
kejar dengan urusan-urusan kuliah ya, hahaha.
Di kelas TPS, karena
tekadku yang kuat dan ghirohku sedang tinggi-tingginya (apalagi aku habis
pulang dari magang di RSJ—salah satu episode hidup yang aku mimpi-mimpikan)
saat ditanya dosen pengampu, aku pede sekali menawarkan konsep transpersonal
untuk Orang dengan Skizofrenia, atau caregiver—karena aku begitu miris ketika pasien-pasien (yang belakangan
kami menjadi teman) di RSJ mengeluhkan efek samping obat yang mereka
konsumsi berikut ketergantungannya. Sebagai ‘anak bawang’ di hadapan dosenku yang beraliran psikologi positif, aku tentu berharap judulku diterima. Saat
mengutarakan konsep itu, dosen pengampu memintaku membicarakannya dengan dosen
pembimbing informal, dan di akhir, kedua dosenku tersebut berkata, “Terlalu
berat, Zulfa,” sedihlah aku tiada terkira (lebay). Aku bahkan sudah menghubungi
supervisorku di RSJ untuk meminta izin penelitian di RSJ loh! Saat itu aku tertarik
untuk ikut program Family Gathering milik instalasi Psikologi Eksekutif, yakni pertemuan antara psikolog, pasien rawat jalan, berikut keluarganya.
Begitu ide pertamaku
ditolak, keinginanku terhadap peminatan Klinis masih membara. Saat itu
di mading fakultas dipasang pengumuman penelitian payung oleh dosen yang juga pengampuku di
mata kuliah TPS. Tak banyak pikir, mendaftarlah aku di penelitian dengan tema
terapi membatik, membatik di sini tidak sekadar corak lengkung atau
bunga-bunga, tapi dengan kaligrafi, jadi selain mendapat sisi indigenous,
beliau menawarkan konsep-konsep Islami, keren sekali bukan? Singkat cerita,
penelitian itu tidak berlanjut, dan mau tidak mau, judulku harus kembali ganti.
Dosen pembimbing akademikku kemudian menyarankan aku mengubah intervensi, tidak lagi
terapi batik, tetapi dengan seni. Sedikit mirip, tapi jauh berbeda. Maksudnya?
Ya begitu lah. Aku mati-matian mempelajari handbook yang direkomendasikan, menghubungi
kakak tingkat yang baru menyelesaikan tesisnya di Magister Psikologi Profesi UGM—topik tesisnya juga mengangkat terapi seni. Aku membaca banyak jurnal, sampai kembali mempelajari metode eksperimen. Satu-satunya mata kuliah dimana
aku mendapat nilai BC! (nilai yang kupertanyakan keadilannya tadi).
Berkat kesungguhan dan
bantuan dari banyak pihak tadi, selesailah proposal skripsiku dengan judul
Intervensi Terapi Seni terhadap Regulasi Emosi Mahasiswa. Aku mempresentasikan
proposalku dan mendapat tanggapan serta nilai yang cukup memuaskan, sudah bisa
langsung ambil data, kata dosenku. Kembanglah hatiku, tetapi hanya sesaat. Saat itu, tentu aku sudah melakukan hitung-hitungan
waktu, dan biaya—masalah terbesarku di judul itu karena dengan metode
eksperimen, aku harus mengadakan beberapa kali sesi terapi, menghadirkan
terapis, dan memanipulasi kelas eksperimen sekaligus kelas kontrol. Tidak
ketinggalan, tentu juga memikirkan pencarian subjek dan kesejahteraan! Beberapa kawan menawarkan
bantuan tanpa kuminta, alhamdulillaah. Tetapi masuk ke semester 7, qadarullah aku
diharuskan mengganti dosen pembimbing dan dosbing baruku ingin aku menawarkan
penelitian lain.
Jeda liburan semester
saat itu sungguh membuatku bingung. Kabar penelitianku, juga kabar-kabar lain
yang saat itu menjadi perbincangan di fakultas kami semenjak sebelum Ramadhan datang, membuatku harus memutar
otak. Beberapa kakak tingkat memberi saran-saran bijak, teman-teman
menyemangati. Tapi aku tetap saja bingung. Aku sungguh di posisi sulit dan
tidak mudah—terlebih ketika aku mendapat suatu tawaran baru—yang teman-teman
pasti tahu apa itu. Akhirnya dengan berat hati, aku melepaskan judul penelitian
sebelumnya, meski aku belum memiliki judul yang baru.
Setelah menyelesaikan
proyek penelitian bersama Single Father Parenting dengan teman-teman CIIP, dosen PA-ku menantang untuk mengirim
paper ke ajang Inter Islamic University Conference on Psychology (IIUCP) yang
diadakan di Malang. Saat itu ada beberapa tema yang ditawarkan dan entah
mengapa aku mengambil peminatan Industri dan Organisasi—sesuatu yang sangat jauh dari bahkan real dan ideal self Zulfa saat itu, mungkin hingga nanti,
haha. Di tengah penelitian industri tersebut, saat skripsiku bahkan belum mulai halaman
cover, aku masih disibukkan dalam kepanitiaan seminar nasional milik fakultas
yang juga bertema Industri dan Organisasi (sudah pernah sedikit aku singgung di
tulisan resensi buku I Am Sarahza). Bersama skripsi, aku juga masih mengambil mata kuliah lain sejumlah 11 sks. Akhirnya setelah bermusyawarah dengan tim, kami sepakat
mengangkat Entrepreneurship in Islamic Value, kami mengirimkan abstrak,
mengambil data (aku suka proses ini, karena bakal bertemu orang-orang baru dan
pelajaran baru), menyusun jurnal, mengirimkannya, dan lolos.
Tibalah saat hari
presentasi. Waktu itu Sabtu, 10 Oktober 2018 di Malang. Mengejutkannya, di
sana, aku juga mendapat peran lain yang diberikan oleh dekan yang membersamai
kami. Dadakan. Yaitu menjadi moderator yang posisi tersebut biasa diisi oleh dosen-dosen.
Lebih-lebih ini ajang internasional. Zulfa keluar dari zona nyaman!
Alhamdulillah, proses itu terlewati dengan baik, meski tidak sempurna. Setelahnya, aku
masih memikirkan apakah akan melanjutkan jurnal ini menjadi judul penelitian
skripsiku. Tetapi, ada tawaran lain.
Jeda liburan semester
lalu, Astried menghubungiku untuk mengajakku mengikuti Olimpiade Psikologi di
Lampung. Ia menawarkan kompetisi cabang paper. Setelah memperlihatkanku brosur dan
mengajakku berdiskusi, kami sepakat mengambil tema Generasi Millennial, harapan
dan tantangan. Saat itu, entah kenapa aku tiba-tiba teringat dengan majalah
edisi terakhir ketika aku masih menjadi pemimpin redaksi majalah kala itu.
Majalah kedua kami mengangkat tema Seks dan Anak, spesifiknya, kami menyoroti
bagaimana seksualitas telah berkelindan sedemikian rupa dengan anak. Maka aku
mengajukan kepada Astried untuk mengangkat tema pelecehan seksual, yang
kemudian aku ajukan pula kepada dosbingku untuk kuangkat sebagai topik utama
penelitian skripsiku.
Alhamdulillaah, 13
November 2018, kami terbang ke Lampung. Kami memilih pesawat yang berbeda
dengan dosen kami—padahal dosen kami menawarkan pesawat yang sama. Tetapi
karena pertimbangan lain, kami berpisah. Pesawat yang kami tumpangi rupanya
delay parah. Sampai di Lampung, aku mengenali beberapa delegasi yang datang
karena kami pernah mengikuti ajang yang sama di Gresik, Jawa Timur. Aku menyapa
laki-laki dari Sidoarjo yang rupanya juga tengah sibuk menyusun skripsi—untuk
sesaat, di tengah-tengah keriuhan teman-teman baru di Lampung yang
merekomendasikanku untuk mencicipi keripik pisang cokelat Lampung, aku kembali
teringat skripsiku.
Kami
kembali ke Solo dengan memboyong piala, alhamdulillaah. Menaiki maskapai yang roda depannya
rusak dan membuat kami tiba di Jakarta begitu larut. Perjalanan yang teramat
melelahkan dan aku tidak membawa buku untuk menemani perjalanan. Lelahku tidak hanya
fisik, tapi juga mental. Lelah yang bertambah-tambah. Di tengah lelah itu,
Astried dan dosenku sempat-sempatnya menawari ajang lain, di UGM, tepatnya. Aku lekas-lekas
menggeleng. Bagaimana nanti kabar skripsiku?
Maka dua minggu setelah
dari Lampung, aku menyelesaikan pengambilan dataku baik dari penyebaran
kuesioner maupun pendalaman melalui wawancara kepada beberapa responden. Oh iya, data paper
ke Lampung merupakan data awal skripsiku. Setelah proses pengambilan data,
tentu saja aku langsung melakukan transkrip—bahasa anak psikologinya verbatim, aku
melakukan analisa dan kategorisasi, rajin bimbingan dan berkonsultasi tentang
perkembangan skripsiku, melakukan member check, menyelesaikan bab penutup
dan saran, serta membuat naskah publikasi. Syukurku melangit, tanggal 6 Februari 2019 aku melakukan sidang
skripsi dengan hasil yang memuaskan, alhamdulillaah.
Rupanya, tantangan
tidak serta merta selesai. Tantangan terberat adalah masa-masa revisi dan
pemberkasan. Lebih-lebih untukku yang jarak dari sidang dan batas terakhir pemberkasan hanya
10 hari—belum drama dosen susah ditemui. 2 hari setelah sidang, aku sama sekali
tidak membuka laptop. Seorang kakak tingkat tertawa karena ia juga merasakan
hal yang sama. Akhirnya 3 hari setelah sidang dan seusai aku menyelesaikan revisian, aku
ambruk. Dadaku sakit sekali (apalagi jika malam dan Solo saat itu mulai dingin). Suaraku parau. Demamku naik turun sementara saat
itu akhir pekan. Teman-teman dekatku pulang. Aku memacu motor sendiri ke klinik milik sebuah pesantren di dekat kampus kami, sebelum akhirnya aku merasa seperti sedang sekarat. Senja itu, sekujur tubuhku terasa
dingin. Buket bunga mawar pemberian teman-temanku mulai layu. Tetapi justru saat itu, aku merasa Allaah benar-benar Maha Baik, dan
aku merasa sangat kecil dan lemah.
Aku berpikir, bagaimana
jika aku tetap melanjutkan penelitian eksperimenku? Pertahananku justru akan
hancur! Sesi terapi tidak bisa dilakukan satu kali, itu yang berkali-kali
dikatakan dosenku dan setelah aku mempelajari modul terapi seni. Terlebih, beberapa
terapis yang kutemukan berdomisili di luar kota. Tak terbayang aku harus menghadirkan dan menyesuaikan jadwal dengan meraka. Allaah benar-benar memberi
sesuatu sesuai kesanggupan hamba-Nya. Barangkali, jika judulku tidak berulang
kali ganti, aku juga tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mengukir kenangan baik di Malang, Lampung, dan kesempatan-kesempatan lain, kan?
Segala puji bagi
Allaah, yang atas segala nikmat-Nya, segala kebaikan menjadi sempurna.
mengharap senang dalam
berjuang
bagai merindu rembulan
di tengah siang
jalannya tak seindah
sentuhan mata
pangkalnya jauh,
ujungnya belum tiba …
Tapi jalan kebenaran,
tak akan, selamanya
sunyi …
ada ujian yang datang
melanda
ada perangkap, menunggu
mangsa
2 komentar
Bagus...seperti yang saya alami, klo anda disibukan dengan organisasi dan olimpiade2, nah aku ... Sibuk dengan ekspedisi alam dan tuntutan menjadi relawan kemanusiaan yang tak kunjung usai, pun saat ini sudah tiga kali judul skripsi ditolak oleh dosen PA. Lumayan lah tulisannya bisa bikin semangat 😁
ReplyDeleteHalo, terima kasih sudah berkenan membaca. Semangat untuk skripsinya, semoga kamu memiliki hari yang menyenangkan :)
Delete