source: weheartit.com |
Saya tertantang sekali saat Mbak Mar bilang kalau dia hanya butuh waktu 10 menit untuk jalan dari kos ke kampus (padahal, saya yang lebih sering jalan kaki dari jarak yang sama biasa menghabiskan waktu 15 menit). Menurut Mbak Mardh itu karena kaki saya pendek-pendek. Jadi hari ini saya memutuskan jalan kaki, dan (rupanya walau sudah gegas) waktu tempuhnya masih sama, 15 menit. Ya mungkin memang kaki saya saja yang pendek. Pernah menjadi warga metropolitan beberapa purnama, soal jalan kaki ini memang berbeda sekali. Di Jakarta, butuh jalan sedikit saja sudah sampai halte, bisa menunggu busway, kopaja, mikrolet, metromini. Di Solo bagian UMS, saya butuh sampai gerbang wacana dulu untuk menujunya.
Di Jakarta, kota besar yang katanya keras itu, saya yang buta arah ini mudah sekali mengingat jalan dan nomor-nomor angkot dalam waktu singkat (mungkin karena faktor kewaspadaan dan kekhawatiran kalau-kalau saya nyasar lalu masuk berita di koran-koran), di Solo, yang hampir 4 tahun ini, jalan ke Slamet Riyadi pun saya bisa mencapainya tapi tidak bisa pulang. Di Jakarta zaman saya di sana dulu, pejalan kaki dimuliakan sekali (maksudnya enggak dipepet motor), benar mungkin kata Sapardi, Jakarta itu kasih sayang. Sedang di Solo, hanya di jalanan Menco, saya perlu jalan dengan mlipir tipis-tipis. Jalan rusak dan pengendara motor enggak mau ngalah!
Ada banyak ukuran-ukuran yang tidak bisa ditempatkan dalam kesempatan yang berbeda. Seperti setiap karakter, setiap tempat memiliki keunikannya masing-masing, kenangannya masing-masing. Kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Membandingkan keduanya kadang menjadi hal yang sia-sia jika saja tujuannya hanya untuk mencari mana yang lebih baik. Jakarta mungkin memiliki pagi yang sibuk, tetapi Solo memiliki senja yang sunyi di Stasiun Balapan. Di suatu peron di mana sebuah pertemuan dan awal sebuah kisah bermula bagi sepasang manusia. Jakarta mungkin seperti orang tua yang bekerja keras dengan saksi cucur peluh demi keluarga, dan Solo seperti pasangan sepuh yang siap memeluk riuh tawa seorang cucu yang barangkali mengunjungi keduanya akhir pekan nanti.
Hidup, rupa-rupanya hanya tentang memilih pilihan-pilihan. Memilih mengimani setiap ketentuan baik dan buruk, atau mengingkarinya. Memilih bermanfaat, atau merugikan. Memilih menabur, atau menuai ketidakpastian. Memilih menjadi pahlawan, atau pecundang. Memilih untuk memilih, atau membiarkan pilihan-pilihan memilih kita. Tapi hidup, seperti kata Chairil Anwar, “Sekali berarti, sudah itu mati,”. Maka amat disayangkan, jika tidak mencetak sesuatu yang besar. Untuk hati, untuk diri, untuk generasi ummat ini nanti …
Surakarta, 14 September 2018
Jum'ah mubarak :)
0 komentar