Selepas lulus SMA, semenjak banyak hal baru yang kemudian menghampiri, saya mencoba memahami konsep ini baik-baik. Meski lebih sering, saya belum mampu memahami kehendak Allaah dengan baik. Saya terlalu sering (bahkan sampai sekarang) mempertanyakan mengapa saya harus melewati jalan ini terlebih dahulu, kemudian memutar jalan, atau bahkan memulai kembali langkah demi langkah dari awal. Saya suka menduga-duga banyak hal, mereka-reka banyak kejadian, merangkai-rangkai kebetulan. Saya menjadi terlupa dengan konsep awal. Bahwa ini semua adalah kebaikan. Setiap urusan-urusan dan apa saja yang menimpa muslim adalah kebaikan. Jika dia bersyukur, jika dia bersabar.
Semakin memahami konsep itu, rasanya semakin mudah bagi saya untuk menerima setiap kejadian-kejadian yang telah dan akan menyapa saya. Meski terkadang masih mempertanyakan, saya lebih mencari hikmah apa lagi yang akan saya temui setelahnya. Konsep yang merupakan keniscayaan ini rupa-rupanya dengan perlahan membuat hari-hari saya berjalan dengan lebih tenang. Saya tidak terlalu gundah jika sesuatu yang saya inginkan belum tercapai, dan lebih memikirkan langkah lain yang bisa saya upayakan. Saya tidak bergembira dengan berlebihan ketika sadar esok mungkin saja saya akan menangis sesenggukan. Saya tidak akan risau jika teman-teman sudah melewati capaiannya masing-masing (wisuda, bekerja, menikah, berkeluarga), sementara saya belum. Ada tabir yang membatasi pengetahuan kita, sementara pengetahuan Allaah begitu luas. Ada banyak tafsiran-tafsiran kita terhadap sesuatu yang jauh dari tafsiran Allah. Seperti sesuatu yang menurut kita adalah kebaikan, boleh jadi merupakan keburukan di mata Allah, dan sebaliknya.
Saya semakin tenang. Lebih tepatnya, berusaha menjadi lebih tenang dengan terus mengingat-ingat sebenar-benarnya tujuan akhir manusia setiap kali saya akan memulai sesuatu. Jika kita memahami makna menuju Allah, menuju keridhaan-nya, ibaratnya jika ada dua jalan yang sama-sama menuju-Nya, mengapa kita terlalu mempermasalahkan jika kita hanya berada di satu jalan, atau mengapa kita perlu merasa berada di jalan yang lebih benar ketika orang lain tidak melewati jalan yang sama dengan kita.
Maha suci Allaah yang telah mengatur peredaran waktu sedemikian rupa, yang menentukan perputaran masa, yang memberikan takdir terbaik bagi hamba-hambaNya. Seperti Ibrahim, semoga Engkau senantiasa melimpahkan kepada kami hikmah, agar tiada yang berlalu kecuali dalam bingkai iman dan taqwa. “Rabbanaa hablanaa hukman, wa alhiqnaa bish-shaalihiin,” Yaa Tuhan kami, berikanlah kami hikmah dan kumpulkanlah kami dalam golongan orang-orang yang shalih.
Salatiga, 6/9
Dalam perjalanan menuju Solo.
0 komentar