Siang itu, di lobby depan fakultas seperti yang dijanjikan dalam pesan pendek di kotak masuk ponsel, kami bertemu.
Baru beberapa jam saya menghubunginya, rekomendasi dari seorang dosen yang mengakrabi saya dengan baik, untuk membuat suatu kesepakatan bersama. Setelah perbincangan tentang kesepakatan kami selesai, dia bercerita. Begitu banyak. Tentang liku perjalanannya. Tentang mimpi-mimpinya. Dan meski jauh bilangan usia kami terpaut, kami berbincang dengan cukup menyenangkan.
Saya lebih pantas menjadi putrinya yang seharusnya menawarkan teh manis hangat selepas ia bekerja daripada menjadi rekan berbincangnya siang itu. Tapi peduli apa? Usia hanyalah lintasan angka-angka. Terlebih ketika ia mulai bercerita tentang langkah-langkah yang ia jejakkan, asa yang ia pupuk juga perjanjian dengan hati yang harus ia tuntaskan, lintasan angka itu meremaja dan membuat saya merasa menjadi makhluk dengan hati paling sempit di dunia.
Teman berbincang yang saya diperjalankan oleh takdir untuk bersua dengannya kali ini adalah mahasiswa magister yang sebentar lagi akan menyelesaikan thesisnya. Usianya hampir menyentuh jumlah separuh abad, hal yang tidak saya sadari ketika menatap parasnya yang masih tampak begitu muda. Ia memaparkan variabel penelitian yang ia lakukan. Lalu mulai bercerita. Tentang pendidikan sarjananya. Tentang pernikahan. Tentang anak-anak. Tentang pekerjaannya. Tentang perasaan dari separuh hatinya. Tentang mimpi yang tertunda. Tentang luka-luka. Tentang cita-cita yang belum tercapai tetapi terus diusahakannya.
Apa yang saya lakukan? Mendengar semua tutur itu, saya begitu malu terhadap apa yang saya lakukan pada diri saya sendiri. Sesekali, saya masih menatap jejak saya dengan mata tak terima. Saya mendengar bebisik suara yang terngiang dengan hati sesak. Ada begitu banyak dengung di luar sana tentang langkah yang saya pilih. Lalu saya mulai mempedulikan itu semua dan tidak menghargai diri saya sendiri.
Siang itu, saya benar-benar benci dan terus mencari jawaban tentang apa yang sedang coba saya lakukan. Saya muda dan sehat. Saya mempergunakan waktu dengan melakukan apa yang dulu saya ingin dan tidak bisa lakukan. Saya bertemu dengan orang-orang menyenangkan. Saya dapat bebas membincangkan sesuatu yang ingin saya utarakan. Bukankah alasan-alasan itu seharusnya membuat saya lebih bersyukur dengan keadaan?
Terlepas, bagi sebagian orang, pilihan-pilihan yang saya putuskan hingga episode hidup saya yang ke sekian adalah sesuatu yang ganjil dan sangat disayangkan. Terlepas, begitu banyak juga yang mengamini apa yang sedang saya perjuangkan, tetapi tertutup oleh hati saya yang sesak. Siang itu, saya belajar begitu banyak. Pertemuan memang selalu mengajarkan sudut pandang yang baru tentang segala hal.
Dan hari itu selain keyakinan utuh yang terus saya upayakan, saya merasa mulai harus mengenali sebenar-benar perjanjian dengan hati. Teman berbincang di hadapan saya sudah melakukannya. Meski berat, meski tertatih. Perjanjian dengan hatinya sendiri yang ia lakukan dengan baik membuat ia mampu menerima apa yang terjadi padanya dengan hati yang lapang. Ia bahkan masih memperjuangkan mimpinya di usianya yang tidak lagi muda. Lalu pada titik ini saya sadar, saya tidak seharusnya menyesali apa pun.
Gonilan, suatu pagi yang dingin.
Zulfa yang telah berjanji.
0 komentar